Langsung ke konten utama

Ada Apa Dengan Bekasi?

Akhir pekan lalu, tagar #Bekasi di jejaring sosial Twitter muncul dalam daftar trending topics. Alih-alih sebagai penanda prestasi, kegaduhan di jagat maya tersebut justru sarat dengan kritikan bernada lelucon mengenai ‘Kota Patriot’.Netizen beramai-ramai mem-bully Kota Bekasi dengan beragam kalimat sarkastik dan meme.

Alasannya, Kota Bekasi dinilai memiliki jarak yang jauh dari Ibu Kota DKI Jakarta, dengan infrastruktur jalan yang tidak memadai dan tingkat kemacetan yang tidak dapat ditolerir lagi. Belum lagi, suhu panas yang dianggap jauh melebihi area penyangga Jakarta lainnya. Kota Bekasi pun menjadi bulan-bulanan di sejumlah media sosial.

Menanggapi fenomena itu, Wali Kota Rahmat Effendy angkat bicara. Menurutnya, Kota Bekasi sudah jauh berkembang menuju terbentuknya sebuah kota metropolitan. Kondisi itu ditandai dengan pertumbuhan sektor jasa dan perkembangan yang menjadi andalan Kota Patriot.

Peningkatan sektor itu, jelasnya, tentu didukung oleh peningkatan infrastruktur yang memadai dan tingkat kepercayaan investor yang semakin gencar berekspansi ke Kota Bekasi.

 “Untuk jasa dan perdagangan yang perlu dipersiapkan adalah bagaimana tata kelola infrastruktur dan bagaimana mendapatkan kepercayaan investasi para investor. Kalau sekarang ini banyak , itu karena ada banyak kepercayaan. Investor tidak mungkingambling,” tegasnya, Senin (13/10/2014).

Oleh karena itu, meski menilai kritik dan olok-olok sebagai bagian dari evaluasi perbaikan kinerja pemkot, Rahmat mengatakan reaksi netizen yang memojokkan Kota Bekasi terlalu berlebihan.

Dengan luas wilayah mencapai 21.000 hektare dan jumlah penduduk sekitar 2,6 juta jiwa, dia menyatakan permasalahan kemacetan tidak dapat terhindarkan sebagaimana dialami wilayah penyangga  lainnya. Apalagi, 60% warga Kota Bekasi merupakan komuter yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Ibu Kota Jakarta.

Peningkatan suhu, sambung Rahmat, pun menjadi fenomena umum di Jabodetabek, meskipun hingga saat ini luas ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bekasi baru mencapai 13%. Selain itu, Rahmat berdalih selama ini pemkot telah melaksanakan tata kota sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW).

Bukannya tanpa upaya. Terkait problem kemacetan, Pemkot Bekasi sebenarnya menargetkan dapat membenahi 19 titik kemacetan akut di wilayahnya dalam lima tahun ke depan guna memberikan akses yang lebih baik bagi mobilisasi komuter.

Pada 2014, sejumlah simpul-simpul kemacetan yang menjadi jalur utama para komuter tengah ditangani, antara lain pintu Tol Bekasi Barat dan Tol Bekasi Timur, Jalan Sultan Agung-Sudirman, area Caman atau Exit Tol Jatibening, serta area Sumber Artha.

Upaya penanggulangan 19 titik kemacetan itu juga didukung dengan perbaikan dan pelebaran jalan, serta pembuatan jalan alternatif. Pemkot menargetkan perbaikan 2.000 titik kerusakan hingga akhir tahun ini dari sekitar 3.300 titik kerusakan dengan  1500 titik pekerjaan di jalan-jalan Kota Bekasi.

Walaupun begitu, Kepala Dinas Bina Marga dan Tata Air Kota Bekasi Tri Adhianto menuturkan peningkatan kapasitas jalan menjadi pilihan utama bagi pemkot dengan pertumbuhan jumlah kendaraan yang tinggi.

“Kita tidak bisa hanya mengoptimalkan jalan yang ada, tetapi lebih meningkatkan kapasitas jalan. Namun, persoalan mendasarnya masih terkait pembebasan lahan,” ungkapnya.

Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai problem yang mengemuka tidak terlepas dari sejarah Kota Bekasi sebagai kota pilihan para pengembang properti.

Pengembangan perumahan berskala besar pada dekade-dekade lalu ternyata tidak didukung dengan pengembangan sarana transportasi publik yang memadai. Kondisi itu,ungkap Yayat, niscaya menghadirkan masalah mengingat posisi Kota Bekasi sebagai hinterland.

“Masalahnya, Kota Bekasi menjadi kota asrama sebab semua berorientasi ke Jakarta. Semua orang beli kendaraan pribadi, padahal aksesibilitas terbatas dan public transport, tidak sebaik Bogor dan Depok. Jadinya, Bekasi dekat dalam jarak, tetapi jauh dalam waktu tempuh,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Yayat menuturkan pertumbuhan penduduk yang signifikan juga menyebabkan semakin terbatasnya RTH. Tidak mengherankan peningkatan suhu di Kota Patriot semakin signifikan.

Alhasil, menurutnya, Kota Bekasi menjadi kota metropolitan yang gagap dalam perkembangannya. Pertumbuhan ekonomi masayarakat yang melesat ternyata tidak dapat diimbangi dengan kemampuan kota dalam memenuhi kebutuhan warganya.

“Tidak mengherankan media sosial yang adalah mainan kelas menengah, menjadi sarana untuk mengkritik pemkot. Rencana pemkot dan masyarakatnya tidak sejalan.”

Kendati begitu, Yayat menilai pada titik ini jugalah perubahan dalam penataan dan pengembangan Kota Bekasi ke arah kota metropolitan yang lebih baik mesti dimulai.

Tidak perlu menunggu upaya pemerintah, komunitas basis yang ada di masyarakat perlu menjadi ujung tombak dalam mendorong perubahan itu.

“Tidak hanya mengkritik, masyarakat mesti bergerak. Saatnya unsur-unsur  terkait kembali untuk bersinergi. Masyarakat jangan hanya mengeluh, tetapi bersumbangsih ide,” ujarnya.

Dengan demikian, upaya untuk membalas ejek-ejekan yang beredar di media sosial menjadi tidak perlu.  Langkah nyata menjadi pilihan pertama, ketimbang pembelaan diri dengan tagar #IniBekasiku.

Oktaviano Donald dalam http://jakarta.bisnis.com/read/20141014/383/264687/kota-bekasi-jadi-bulan-bulanan-netizen-kenapa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t