Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Turunkan Nabi Isa

T ak ada maksud untuk menistakan agama melalui judul di atas. Saya sekadar menuliskan ulang kalimat yang dicoretkan pada dinding di sebuah halte Transjakarta pascaaksi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020). Tangkapan layar dari pesan viral yang menunjukkan pendemo yang menolak pengesahan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) berpose di samping tulisan yang dicoretkan oknum ke dinding halte Trans Jakarta, Kamis (8/10/2022). Siapa yang menuliskannya? Itu pertanyaan pertama yang bercokol di benak saya ketika mendapatkan kiriman gambar terkait aksi vandalisme itu via sebuah grup di aplikasi pesan instan. Sekali lagi bukan lantaran perkara penistaan agama. Kalimat aspiratif itu syahdan menghantarkan ragam pertanyaan lain di benak saya. Apakah aspirasi ini masuk akal dan merupakan sebuah kritik sosial yang justru sangat mendasar? Saya memaknai kata imperatif ‘turunkan’ dalam kalimat itu seperti ‘menurunkan’ pemain kunci ketika sebuah tim sepakbola tengah terdesak dalam seb

Banal-isasi Kebohongan

Nama Hadi Pranoto sekonyong-konyong menjadi pusat perhatian publik dalam beberapa hari terakhir. Sosok yang disebut-sebut sebagai ‘dokter dan profesor’ ini tampil dengan sejumlah klaim kebenarannya terkait COVID-19.   Dalam sebuah video wawancara yang diunggah di kanal Youtube milik Musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji, Jumat (31/7/2020)—yang kemudian ditarik platform berbagi video tersebut Minggu (2/8/2020)—Hadi bahkan mengklaim telah berhasil menciptakan obat herbal ‘Antibodi COVID-19’ yang cukup efektif menyembuhkan dan mencegah wabah itu.   “Herbal kita sudah berhasil dan terbukti. Yang positif kita obati sembuh, yang menjelang terinfeksi kita obati sembuh semuanya,” ujarnya dalam wawancara tersebut.   Pernyataan itu pun diikuti sejumlah klaim Hadi terkait hasil temuannya atas virus tersebut. Termasuk informasi bahwa COVID-19 akan mati pada suhu di atas 350 derajat.   Video itu viral dan dibagikan ke berbagai platform digital, dari Facebook, Twitter, Instagram, hingga WhatsApp,

Hujan Bulan Juni

Ya , judul di atas mengacu pada puisi karya Sapardi Djoko Damono. Sajak catur larik tiga bait yang ditulis Sapardi pada 1989 itu tampak mengungkapkan kerinduan mendalam.   tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu   Demikian bait pertama kidung milik  sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 itu.   Dalam sebuah video wawancara yang diunggah akun Musik Kembara di Youtube, Sapardi mengatakan hujan menjadi kejadian luar biasa kala Juni yang di Indonesia umumnya menjadi bagian dari musim kemarau.   Saat musim kemarau, jelas dia, tanah rengkah dan pohon menjadi kering. Saat itu pula, tanah dan pohon merindukan hujan.   “Hujan itu menjadi penting, justru ketika musimnya tidak hujan,” jelasnya.   Penghayatan itu tak lepas dari pengalamannya menghabiskan masa remaja di sebuah desa di pinggiran Kota Solo. Pada Juni dan Juli, cuaca di wilayah itu berubah drastis pada siang dan malam hari.   Pada siang hari terik matahari terasa,

Tuhan Menghukum Kita!

Seruan di atas tak dikutip dari status media sosial masa kini. Bukan pula dari pesan berantai melalui aplikasi pesan instan.  Nukilan itu datang dari Pastor Paneloux yang mencoba menjelaskan makna wabah sampar yang meluluhlantakkan penduduk Oran.  Dia sekonyong-konyong menerangkan secara metafisik-religius makna bencana yang dikisahkan dalam novel La Peste (Sampar) karya filsuf dan sastrawan, Albert Camus.  Di tengah ancaman wabah itu, kekacauan merebak, pemerintah meminimalisir persoalan, media massa sibuk dengan urusannya sendiri, sedangkan rakyat kebanyakan justru tak mau tahu.  Roman yang perdana dirilis pada 1947 itu menyajikan sebuah kemenungan tentang eksistensi manusia di hadapan bencana, derita dan kematian. Sebuah alternatif refleksi pengingat manusia dalam bersikap di depan bencana, tak terkecuali situasi dunia saat ini yang dihadapkan pandemi virus corona (COVID - 19). Tak melulu lantaran ada keserupaan situasi yang tengah dihadapi umat manusia saat ini, novel yang kemudian