Langsung ke konten utama

Setelah Sekian Penaklukan

23 Oktober 2014
Semalam, setelah sempat terlelap lebih awal akibat padatnya aktivitas, saya larut dalam perbincangan dengan seorang kawan. Bukan kawan biasa, pasalnya bertahun-tahun dia terkenal di seantero kosan sebagai penakluk banyak wanita.

Sulit untuk menghitung atau pun sekedar mengingat wanita mana yang jadi pacarnya, saking banyaknya, sekali lagi banyak, yang diperkenalkan sebagai pacar.

Percakapan kami juga tidak seperti biasa. Tanpa suasana ceria penuh canda, obrolan pun bernada sendu dengan rasa mendayu-dayu.

Seringkali, setelah berbicara kawan satu ini bergeming beberapa saat. Tidak fokus. Perhatiannya teralihkan oleh rasa duka.

Ya, dia sedang berduka. Berduka karena mantan pacar utama-nya (atau 'provost', istilah ngetren di kosan untuk pacar no.1 atau yang utama. Yang lain? Entah lah) nampaknya akan segera menikah.

"Iya nal, aku lihat di FB-nya posting foto-foto pra-wedd," jelasnya dengan aksen Sumatera yang tegas.

Tepat jelang Lebaran tahun ini, kawan berdarah minang ini sempat berang. Provost minta hubungan kasih mereka diakhiri, setelah tiga tahun berpacaran.

Orang tua provost di Belitung, katanya, sudah punya pilihan lain. Namun, singkat cerita, setelah bertandang ke rumah provost, akhirnya kawan satu ini bisa menerima keputusan itu.

"Ah, yang penting dia bahagia Nal." Kata dia, "Masih banyak yang lain. Dan sepertinya aku bakal makin liar."

Tapi, semua nampak lain malam tadi. Tidak ada lagi suara tegar dari obrolannya. Galau tingkat dewa, kalau istilah masa kininya. Jangankan kerja, kata dia, aktivitas mendasar seperti makan dan minum saja terasa sulit untuk fokus.

Saya mencoba mereka-reka memori. "Pantas dalam beberapa hari belakangan aktivitas penaklukan kawan satu ini tidak kasat mata penghuni kos," pikir saya.

Setelah lama terdiam, kawan ini pun minta diputarkan sebuah lagu The Rain. Judulnya Terlatih Patah hati. "Aku baru denger di radio pagi ini," sambungnya.

Tangan saya bergerak cepat di atas gadget. Googling, download, dan segera memutarnya.

...Aku sudah mulai lupa, Saat pertama rasakan lara
Oleh harapan yang pupus, Hingga hati cedera serius
Terima kasih kalian, Barisan para mantan
Dan semua yang pergi, Tanpa sempat aku miliki
Tak satupun yang aku sesali, Hanya membuatku semakin terlatih
Begini rasanya terlatih patah hati, Hadapi getirnya terlatih disakiti
Bertepuk sebelah tangan (sudah biasa), Ditinggal tanpa alasan (sudah biasa)
Penuh luka itu pasti tapi aku tetap bernyanyi
Lama tak ku dengar tentangnya,Yang paling dalam tancapkan luka
Satu hal yang aku tahu, Terkadang dia juga rindu...

Setelah berulang kali lagu ini diputar. Kami pun bersepakat, kalimat terakhir pada lirik lagu itu terlalu miris.

"Itu dia Nal. Dia ngomong hanya terpaksa mengikuti permintaan orang tua," kata kawan itu sembari pamit untuk beristirahat.

Saya masih terdiam. Sedikit bingung dengan penakluk yang ternyata juga bisa ditaklukkan.

"Penuh luka itu pasti tapi tetaplah bernyanyi," celetuk saya dalam hati.

***

Untuk abang di kosan lama. Ditulis, saat bete nunggu ngurus passport di Imigrasi Jaksel, 2014.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t