Langsung ke konten utama

BUMD Kota Bekasi: Prioritas Pelayanan atau Pendapatan?


“Bagi saya PAD [sumbangsih bagi Pendapatan Asli Daerah] itu tidak penting. Yang lebih penting adalah kemampuan melakukan ekspansi dan menambah jangkauan pelayanan. Jika perlu, PAD-nya kami kembalikan sepuluh kali lipat untuk menambah jangkauan pelayanan.”

Di sela-sela perayaan hari jadi ke-8 PDAM Tirta Patriot, Agustus 2014, jawaban Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi tersebut terucap. Kalimat-kalimat itu diarahkan pada pertanyaan awak media terkait kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang disoal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam laporan keuangan 2013Pemerintah Kota Bekasi.

Dengan jawaban itu, Rahmat menegaskan prioritas utama pemkot dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui BUMD Kota Bekasi. Peningkatan PAD Kota Bekasi lantas menjadi tujuan berikutnya dari keterlibatan pemerintah dalam usaha di sector-sektor strategis yang ada.

Bahkan, Rahmat kembali menegaskan niat pemerintah daerah untuk segera mengakuisisi sepenuhnya PDAM Tirta Bhagasasi guna meningkatkan pelayanan air bersih bagi masyarakat Kota Bekasi.

Pasalnya, dia menjelaskan selama ini baik Tirta Bhagasasi maupun Tirta Patriot masih ragu untuk berekspansi. Dengan akuisisi sepenuhnya, lanjutnya, Pemkot Bekasi akan menyatukan kedua BUMD guna memfokuskan ekspansi cakupan pelayanan. "Lebih cepat lebih baik,” tegasnya.

Walaupun begitu, Rahmat menuturkan evaluasi tetap menjadi langkah yang wajib ditempuh pemkot terkait catatan atas kinerja BUMD. Namun, dia menegaskan keberhasilan BUMD tidak dapat diukur dalam rentang waktu singkat. Sebuah isyarat, bahwa pemkot akan memberikan waktu bagi BUMD dalam membuktikan kinerja bagi peningkatan kualitas pelayanan dan kuantitas sumbangsih bagi daerah.

Lengkah evaluasi yang ditempuh pemkot juga ditegaskan Rayendra Sukarmadji, Sekretaris Daerah Kota Bekasi. Menurutnya, setiap hasil audit atau pemeriksaan terkait kinerja pemerintah patut ditindaklanjuti. Dia menuturkan pihaknya tengah melakukan tindak lanjut atas catatan BPK mengenai kinerja BUMD Kota Bekasi.

“Intinya, setiap hasil audit, apalagi BPK selalu kami tindaklanjuti. Jika sifatnya merugikan negara akan kami kembalikan, tetapi bila bersifat perbaikan akan segera kami realisasikan dengan tahapan-tahapannya,” jelansya.

Rayendra mengakui selama ini ada BUMD yang belum bisa memberikan sumbangsih bagi penerimaan daerah. Namun, tidak sedikit pula sumbangsih yang telah diberikan oleh beberapa BUMD lainnya.

Terkait penanganan BUMD, dilema prioritas pilihan antara meningkatkan pelayanan masayarakat atau menggenjot sumbangsih bagi PAD ternyata sudah menjadi fenomena umum di setiap daerah.

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan kehadiran BUMD sejatinya diarahkan bagi pengelolaan sektor-sektor ekonomi strategis bagi hajat hidup masyarakat untuk menghindari praktek monopoli.

Dalam proses pembentukan dan perjalanan kinerja BUMD itu, lanjut Robert, pelayanan sosial dan keuntungan bagi daerah seharusnya menjadi orientasi yang berjalan seiring dan patut direalisasikan. Namun, jelasnya, tidak jarang dilema dalam prioritas pilihan bagi BUMD itu hadir.

“Apakah BUMD memang selama ini diarahkan profit oriented atau pelayanan?” katanya.

Robert menuturkan seringkali di sejumlah daerah pelayanan masyarakat menjadi prioritas BUMD. Namun, kondisi itu tidak menjadi legitimasi bagi BUMD untuk tidak bersumbangsih kepada daerah.

Dalam sejumlah kasus, lanjutnya, orientasi pelayanan sosial BUMD di sejumlah daerah bahkan menjadi dalih bagi praktek perburuan rente yang melibatkan pejabat eksekutif dan legislatif. Hal ini dimungkinkan karena sumber pendanaan BUMD bersumber dari keputusan politik di daerah. Implikasinya, sambung Robert, ada intervensi kepentingan politik dan ekonomi dalam kegiatan BUMD.

“Dalihnya pelayanan sosial, tapi membebani dan merugikan keuangan daerah. Bisa jadi lebih kepada kapasitas manajemenyang tidak professional, tapi juga bisa jadi praktek perburuan rente seringkali melibatkan legislatif, dinas dan bahkan kepala daerah,” ujarnya.

Oleh karena itu, Robert menilai idealnya BUMD semakin hari akan semakin mandiri tanpa mengandalkan penyertaan modal dari APBD. Dengan begitu, jelasnya, kinerja BUMD tidak akan rentan terhadap praktek perburuan rente.

Untuk merealisasikan tujuan itu, Robert menuturkan beberapa hal yang mesti diupayakan peerintah daerah. Pertama dengan melakukan restrutkturisasi BUMD. Dalam tahapan ini, pemerintah daerah mesti memilah sector-sektor mana yang akan diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta dan mana yang diberikan kepada BUMD. Selanjutnya, pemerintah daerah juga perlu menempatkan sumber daya manusia yang professional bagi pengembangan usaha dan pelayanan.

“Seringkali yang ada tidak professional, tapi karena kedekatan politik. Padahal, transparansi proses rekrutment itu penting, apalagi untuk masyarakat perkotaan yang menuntut profesionalitas,” ungkapnya.

Langkah lainnya yang mesti ditempuh pemda, ujar Robert, adalah dengan membangun kesadaran akan kontrol publik. Dengan begitu, jelasnya, tidak hanya kinerja keuangan yang akan diaudit oleh lembaga negara, tetapi juga kinerja pelayanan bagi masyarakat.

*Naskah ini disiapkan untuk Laporan Khusus di harian Bisnis Indonesia, Oktober 2014.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t