Langsung ke konten utama

Filsafat, Analisis-Sintesis



Sejak kemunculannya, 26 abad yang lalu, filsafat terus-menerus mengajak manusia untuk berpikir, mengagumi, mempertanyakan, berspekulasi dan untuk mengembangkan penalarannya, bahkan juga untuk berimaginasi. Sejalan dengan itu, berbagai macam definisi coba dikenakan padanya. Pengertian filsafat dapat dijelaskan antara lain;
Pertama, filsafat, secara etimologis, berasal dari kata bahasa Yunani: philein yang artinya “mencintai” dan sophia yang berarti “kebijaksanaan”. Seorang filsuf adalah seorang yang mencintai kebijak-sanaan—bukan berarti memiliki kebijaksanaan. Kebijaksanaan bukanlah hanya perolehan pengetahuaan mengenai fakta. Menjadi “bijaksana’ berarti memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk membuat suatu penilaian yang masak bagaimana menggunakan pengetahuannya dalam konteks kehidupan. Kebijaksanaan selalu “mengelak”, kalau terlalu diinginkan akan hilang, dan pada saat dibutuhkan tidak ada. Tetapi itulah yang harus dicari.
Kedua, sebagai suatu cabang ilmu, filsafat dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hal-hal secara mendasar dan menyeluruh. Berbeda dengan berbagai cabang ilmu lainnya, filsafat mengkaji segala sesuatu secara menyeluruh. Filsafat dalam hal ini juga terus-menerus mempertanyakan dan berupaya menjawab berbagai macam permasalahan yang tak dapat dijawab oleh cabang ilmu lainnya—dan juga pertanyaan-pertanyaan lintas ilmu—secara rasional dan bertanggung jawab. Di sini, filsafat tampil sebagai ilmu kritis, yang mengandaikan secara internal kemampuan kritis yang anti kemapanan.
Ketiga, filsafat sebagai suatu metode pemikiran yang bertanya mengenai sifat dasar dan hakiki dari realitas. Biasanya dikatakan bahwa filsafat bergerak dalam dua kegiatan: ANALISIS gagasan-gagasan kita, untuk mengetahui apakah kita benar-benar memahami apa yang kita anggap kita ketahui dan SINTESIS dari semua yang kita ketahui, agar kita mendapat gambaran yang menyeluruh. Filsafat Terkait dengan itu, Filsafat hadir dalam hakikatnya yang dialektis, yang selalu berada dalam hubungan dialogal, untuk berusaha menggali dalam-dalam dan terbang tinggi-tinggi untuk memecahkan masalah, untuk akhirnya memperoleh suatu ‘kebijaksanaan”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t