Langsung ke konten utama

Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi: Antara Bisnis dan Filantropi

Komposisi Pasar, Daya Tampung Perguruan Tinggi & Pengangguran


Tahun     Pendaftar SNMPTN                Kuota Penerimaan                PTN Penampung          Angka Pengangguran

[siswa]                                    [siswa]                             [Universitas]                                       [orang]
2008       378.054                                 83.490                                   57                                           626.202
2009       422.418                                  92,511                                     57                                           626.621
2010        447.201                                  88.401                                    57                                          820.020
2011        540.928                                 110.149                                   60                                            612.717
2012        618.804                                  106.363                                  61                                            541.955

Sumber: Kemendikbud & Berbagai Sumber Diolah


Seperti biasa, tahun akademik baru menjadi siklus perebutan pasar bagi kalangan pengelola pendidikan tinggi. Masa-masa ini kerap diwarnai perang promosi. Wajar saja. Dari potensi pasarnya, angkatan mahasiswa baru setiap tahun relatif pesat.

Buktinya, pendaftar seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) 2012 tumbuh 14,5%, dan tahun ini tumbuh 23,7%. Beberapa tahun terakhir, jumlah perguruan tinggi swasta [PTS] nasional te rus bertambah. Berdasarkan data, jika pada tahun 2008, untuk ukuran wilayah perdesaan, terdapat 2.596 desa maka jumlahnya pada 2011 telah menjadi 2.751 desa yang telah memiliki perguruan tinggi. Di kota-kota besar apalagi.

Beberapa tahun terakhir, sebagian menjadi semacam fenomena. Ada PTS yang mantap mewakili nama besar konglomerasi, ada pula yang mengembangkan idealisme tokoh tertentu. Merekabersaing menjaring calon mahasiswa yang tak lolos SNMPTN maupun
seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri [SBMPTN]. Apa motivasi dan keistimewaan mereka?

Rektor Universitas Sahid Toni Atyanto Dharoko menilai maraknya pertumbuhan PTS sebagai indikator positif dunia pendidikan tinggi. “PTS mencari dana sendiri. Kami sendiri, pemasukannya hanya dari Yayasan Sahid Jaya [yang didirikan pengusaha Sukamdani Sahid Gitosardjono] ini intinya tetap nirlaba. Ini dilema antara keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun biaya pendidikan memang tidak kecil. Jadi, solusinya harus elegan, menarik dana dari masyarakat, namun tidak lupa pada kualitas.”

Menurutnya, pihaknya menerapkan sistem pembayaran segmental dan subsidi silang dari kalangan yang mampu kepada yang kurang mampu. Universitas Sahid, ungkapnya, fokus mencetak sarjana siap pakai dan wirausahawan pencipta lapangan kerja baru dan pariwisata.

Saat ini kampus ini menyerap 3.500 mahasiswa aktif, sedangkan pertumbuhan jumlah mahasiswanya rerata antara 10%-15% per tahun. Sejalan dengan itu, biaya operasional penyelenggaraan pendidikannya juga mengikuti pertumbuhan jumlah mahasiswa, 10-15%.

Universitas Sahid menargetkan dapat menjaring 12.000 mahasiswa dalam 5-10 tahun ke depan menyusul penambahan jurusan dan ekspansi kampus ke kawasan Cimanggis, Jawa Barat.

Sementara itu, Sofia W. Alisjahbana, Rektor Universitas Bakrie, mengatakan dengan sarana dan prasarana memadai, serta dukungan finansial yang juga kuat maka sangat lumrah bagi grup-grup usaha mendirikan PTS dengan visi yang tinggi. “Kami sendiri memanfaatkan dana lebih dari perkuliahan untuk investasi pengembangan kampus, SDM dan fasilitas.”

Universitas yang ditransformasi Yayasan Pendidikan Bakrie milik pengusaha Nirwan Bakrie dari Bakrie School of Management pada 2006 ini menyasar pada siswa berprestasi yang kurang mampu. “Dengan status universitas, kami lebih [mudah] mencapai visi memperluas peran dalam peningkatan mutu pendidikan tinggi,” ujarnya, baru-baru ini.

Dari sisi pendanaan, Sofia memaparkan pada 2012, kelompok usaha Bakrie menggelontorkan dana sebesar Rp36 miliar, sementara tahun ini pihaknya menerima Rp30 miliar untuk bantuan sarana dan prasarana.

Universitas Bakrie mematok kisaran biaya kuliah antara Rp90 juta-Rp99 juta. Sementara saat ini kampus tersebut mengelola 2.700 mahasiswa. Sementara dari sisi pengeluaran total, kampus ini mengeluarkan biaya Rp29,98 miliar untuk 10 program studi termasuk untuk kegiatan kemahasiswaan, admisi dan promosi, administrasi, dan utilitas kantor hingga investasi sarana dan prasarana per tahun.

Tony Antonio, Rektor Universitas Ciputra, mengatakan pihaknya mengandalkan daya saing unik, mengemas mata kuliah wajib entrepreneurship di semua jurusan di PTS itu. “Dengan kurikulum ini kami ingin mencetak profil sarjana yang kompeten di bidangnya dengan entrepreneurial mindset.

Saat ini, paparnya, ada universitas yang didirikan pengusaha Ciputra di Surabaya ini sudah menjaring 2.400 mahasiswa. Adapun untuk tahun akademik baru, Agustus 2013, universitas ini menargetkan 3.000 mahasiswa dan 1.000 alumnus. “Saat ini, alumni kami berjumlah 700-an sarjana. Pada 2006, kami menerima 256 mahasiswa,” ujarnya.

Dia mengatakan pengelolaan universitas ini menggunakan pendekatan entrepreneur agar mandiri dan tidak terus-menerus meminta dana ke grup. “Kami banyak dibantu baik dalam infrastruktur maupun networking oleh yayasan kami, Yayasan Pendidikan Ciputra. Ini mengingat Grup Ciputra adalah nama besar yang bisa mem-backup kami,” ungkapnya.

Sherly Natalia, Humas Universitas Ciputra, menambahkan sekitar 80% alumnus Universitas Ciputra berwirausaha dengan omzet sekitar Rp20 miliar perbulan dengan membuka 3.000 lapangan kerja baru. “Beberapa ada juga yang direkrut untuk Grup Ciputra. Mereka yang tidak mampu dimodali, diutus ke pertemuan bisnis internasional untuk membangun network.”

Universitas Ciputra, misalnya, mematok biaya kuliah tahun pertama hingga selesai antara Rp75 juta–Rp150 juta secara bervariasi melalui jalur prestasi, jalur kedua dan ketiga. Manajemen mematok kenaikan biaya kuliah setiap 2 tahun sekali yang disesuaikan dengan tingkat inflasi dalam kisaran antara 6%–10%. Biaya kuliah ini untuk membiayai operasional, pengembangan infrastruktur hingga sumber daya manusia yaitu dosen pengajar. Sementara itu untuk membangun gedung, dibutuhkan investasi ratusan miliar.

Sugiarto Sutomo, Vice Rector of Academic & Student Affair Tanri Abeng University, mengatakan PTS diprakarsai tokoh manajemen Tanri Abeng melalui Yayasan nakkukang pada 2011 ini lebih menyasar siswa berprestasi yang akan dididik menjadi profesional di manajemen korporat dan birokrat. “Ke terampilan manajerial merupakan profesi yang sangat penting dan ini bisa diciptakan melalui pendidikan secara mendalam, penelitian dan publi kasi. Kami ingin menyalurkan orang-orang berbakat kepada dunia industri dan pemerintahan.”

Universitas yang menggunakan bahasa Inggris di seluruh pembelajarannya ini membiayai dosen pengajar yang 90% diantaranya merupakan lulusan universitas luar negeri.

Saat ini angkatan pertama Tanri Abeng University mencakup 11 mahasiswa yang diseleksi dari sekitar 300 pelamar. Sebagian memanfaatkan jalur beasiswa penuh. Sementara tahun ini kampus ini telah menyeleksi sekitar 400 pelamar dengan target menjaring 150 mahasiswa baru.

Dengan membebaskan biaya gedung, biaya perkuliahan di kampus ini hingga selesai mencapai Rp93 juta–Rp120 juta per mahasiswa. Dari sisi filantropi, Tanri Abeng University memburu pemuda berprestasi hingga Papua.

TRANSFORMASI
Lain halnya dengan Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) yang baru diluncurkan Putera Sampoerna Foundation pascatransformasi dari pendirian Sampoerna School of Business di tahun 2010.

Kampus yang me ngenakan rerata biaya kuliah total dari awal hingga selesai kuliah antara Rp46 juta-Rp200 juta [Bisnis, 9/6] ini mengemas strategi unik, dengan mengklaim sebagai kampus pertama yang memberikan US-accredited associate degree melalui kerja sama dengan Lone Star College, Texas, AS dan program tiga gelar dalam 4 tahun melalui USBI, International Pathway.

Syahrisa Syahrul, Senior Marketing & Student Recruitment USBI mengatakan pihaknya memilih fokus pada keunikan penggunaan bahasa Inggris dan program studi terkait teknologi informasi dan komunikasi.

Adapun manajemen Universitas Multimedia Nasional (UMN) yang didirikan Yakob Utama dari Grup Kompas Gramedia menampik jika pendirian PTS-nya sekadar bermotif keuntungan semata.

Wakil Pembantu Rektor II UMN Andrey Andoko menegaskan pendidikan tinggi merupakan bisnis non-profit, namun diakuinya PTS harus tetap untung agar dapat terus tumbuh dan berkembang. “Keuangannya harus dikelola dengan baik. Kalau tidak, rugi terus, ya tidak akan pernah bisa maju. Jadi tetap saja harus ada untung tetapi ini harus dikembalikan lagi untuk pengembangan pendidikan,” katanya.

Operasional UMN, ungkapnya, tidak sepenuhnya dipandang sebagai tanggung jawab sosial (CSR). “Kalau CSR kan tiap tahun kan dikasih dana terus. Tiap tahun harus membelanjakan uang.”

Menurutnya, pengelolaan dana dengan konsep CSR maka pengelolaan kampus tidak akan sehat sebaliknya pengelolaan keuangan yang sehat bisa menjadikannya sebagai institusi yang sehat.

Dari sisi kinerja saat ini, UMN belum mencapai target meskipun mereka sudah bisa mendanai operasional kegiatan kampus secara mandiri. Mengapa masih merah? Hal ini disebabkan keuntungan yang diperoleh UMN dipergunakan kembali untuk investasi pendidikan dalam bentuk pembelian alat, software, hardware dan pembangunan laboratorium yang dana investasi awalnya belum kembali seluruhnya. Adapun pemasukan dana UMN, 90% bersumber dari biaya kuliah mahasiswa reguler, dan sebagian dari profit sharing. “Investasi pengembangan sarana pendidikan merupakan yang terbesar, lebih dari Rp1 miliar per tahun.”

Anthony Budiawan, Rektor Kwik Kian Gie School of Business, mengatakan pengembangan pendidikan di pihaknya didasari kenyataan banyaknya teman pengusaha Kwik Kian Gie yang mengeluhkan kesulitannya dalam mendapatkan lulusan yang mengenal dan mengerti bisnis.

“Oleh karena itu, beliau [ekonom Kwik Kian Gie] mendirikan sekolah bisnis. [Namun] grup-grup usaha sebaik nya tidak membangun universitas dengan motif bisnis,” ujarnya kepada Bisnis.

Menurutnya, Kwik Kian Gie mendirikan sekolah bisnis dengan berlatarbelakang tuntutan nyata dari dunia usaha, yakni kesenjangan di antara perguruan tinggi dan kepentingan
dunia usaha.

Universitas Pelita Harapan, PTS yang didirikan konglomerat Grup Lippo James Riady pada 1994, kini juga menapaki masa-masa cerah. Dengan mengangkat teknologi informasi pendukung kegiatan perkuliahan, kampus yang mengklaim sebagai smart digital campus ini juga mencatat pertumbuhan mahasiswa baru.

Public Relations Section Head Lippo UPH Rosse Hutapea mengatakan kini UPH rata-rata mencatat pertumbuhan mahasiswa sekitar 10% per tahun.

Dari sisi aset, fasilitas yang dimiliki UPH juga berkembang. Jika saat awal beroperasi 250 mahasiswanya memanfaatkan fasilitas di gedung Lippo Bank, Kedoya, Jakarta Barat, dan pindah ke kampus di gedung Menara Asia, Lippo Karawaci, Tangerang maka pada 1995 PTS ini sudah pindah ke UPH Tower. Yayasan Pelita Harapan lalu melanjutkan ekspansi cabangnya di Jakarta, Tangerang hingga Surabaya. Di sisi lain, kenaikan biaya perkuliahan di kampus yang mengklaim sebagai smart digital campus dengan dukungan teknologi informasi ini juga tidak kecil. Kenaikan biaya kuliah per tahun, kata Rosse,
rata-rata mencapai 10%.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Djoko Santoso mengungkapkan tingginya angka pengangguran tersebut lebih disebabkan oleh tidak meratanya kualitas pendidikan tinggi. “Hanya beberapa universitas saja yang baik, yang keterserapan lulusannya di lapangan kerja mencapai 100%,” ujarnya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Dengan tantangan tersebut, maka jelas, penyelenggaraan pendidikan tinggi berkualitas menuntut keseimbangan dalam pengelolaan yang ditopang hitung-hitungan bisnis dengan tata kelola yang benar. Namun di sisi lain, negara masih membutuhkan peran filantropik
swasta untuk memeratakan ke sempatan bagi masyarakat luas untuk mengenyam
pendidikan tinggi.

Di sisi lain, laporan terbaru Boston Consulting Group (BCG) tentang Ketenagakerjaan di Indonesia bertajuk Growing Pains, Lasting Advantage: Tackling Indonesia’s Talent Challenges memprediksi kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan tenaga kerja berkualitas pada tingkat manajer menengah (middle management) di Indonesia yang diperkirakan semakin tinggi, seiring dengan pertumbuhan ekonomi (Bisnis, Rabu 29/5).

Menurut BCG, pada 2020, kesenjangan antara permintaan dan pasokan tenaga kerja berkualitas di level itu akan mencapai 56%. Sementara itu, pada 2011, kesenjangan itu tercatat sudah mencapai level 13%. Dengan asumsi itu, maka dalam kurun 7 tahun ke depan ada kekhawatiran, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia hanya mampu mengisi kurang dari setengah pekerja yang dibutuhkan pada tingkat manajemen menengah, terutama kandidat yang dinilai benar-benar berkualitas.

Bernd Waltermann, Senior Partner and Managing Director BCG Jakarta, mengingatkan kesulitan perusahaan untuk mencari tenaga berkualitas tidak hanya terjadi pada manajer tingkat menengah, tetapi juga pada tingkat pemula dan kepemimpinan di kalangan eksekutif senior.

Pada 2011, jumlah ketersediaan tenaga kerja di tingkat pemula (entry level) tercatat lebih tinggi 5% dibandingkan dengan kebutuhannya. Namun, pada 2020 kondisi berbalik karena tenaga kerja yang tersedia lebih kecil 17% dari permintaannya.

BCG juga menyoroti sistem pendidikan di Indonesia yang dalam mempersiapkan lulusan untuk menghadapi dunia kerja semakin lemah. “Hanya 22% dari populasi usia kuliah di Indonesia yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas. Presentase ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Brasil, Rusia, dan China.”

Pengelola pendidikan menjadi ranah partisipatif kepentingan sosial untuk menghasilkan sumber daya manusia yang diharapkan dunia kerja, dan di sisi lain pengelola PTS juga dituntut dapat menjalankan praktik bisnis yang sehat agar kompetitif. Prestasi pendidikan tinggi nasional dari inisiatif filantropi ini diharapkan tak kalah tenar dengan reputasi yang dibangun pendirinya, nama-nama besar pemilik modal dibaliknya. Semoga.

*Artikel ini ditulis bersama dengan Juliana B.R Situmorang, dan Roni Yunianto. Tayang di Laporan Khusus, Bisnis Indonesia, 18 Juni 2013.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t