Langsung ke konten utama

Politik: Penaklukan, Kebebasan atau Pemberdayaan?



Sepanjang sejarah filsafat politik, terdapat tiga macam alur (konsep) besar dalam politik. Konsep-konsep itu secara menyeluruh mencoba membangun suatu pemahaman tentang hakikat kebebasan dalam kehidupan bersama, prosedur-prosedur kehidupan dalam masyarakat majemuk dan cara-cara mengupayakan suatu perubahan dalam masyarakat politis. Atau dengan kata lain; konsep-konsep itu berupaya menyingkap arti politik dari setiap sudutnya.
Dalam penyingkapan tersebut, setiap konsep secara keseluruhan selalu menunjukkan korelasi antara ‘anggapan tentang pengikut’ (gambaran manusia/antropologi) dan ‘tindakan kepemimpinan' (politik)—termasuk model-model relasi politis—. Jika hendak mengubah taktik politik tertentu, pertama-tama kita harus mengubah anggapan-anggapan kita tentang para pengikut. Model atau bentuk korelasi ‘dua pihak’ dalam kehidupan politis itu merupakan konseptualisasi dari gambaran politik yang lazim dalam masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, kita akan melihat gambaran lazim dalam masyarakat kita tentang politik yang terutama dikonseptualisasikan oleh beberapa filsuf. Pertama-tama akan diberikan uraian argumentatif dari pandangan bebera filsuf sebagai representasi utama dari tiga posisi (konsep) politik yang ada, lalu akan diikuti dengan ulasan lebih lanjut yang berupa komentar dan pengembangan sebagai penjelasan posisi (perbedaan) ketiganya.
Posisi Satu
Posisi ini diwakili oleh filsuf Italy, Nicolo Machiavelli (1469-1527). Machiavelli nampaknya mendeskripsikan manusia dalam kecenderungan yang ‘buruk’; “Tentang manusia-manusia orang pada umumnya dapat berkata bahwa mereka itu tak tahu berterima kasih, plin-plan, sesat, pengecut bila menghadapi bahaya dan mau untungnya sendiri; selama engkau menyenangkan mereka, mereka pasrah kepadamu dan menyerahkan kepadamu…harta dan nyawa, hidup dan anak-anak mereka, bila bahaya itu jauh; namun kalau bahaya itu mendekat, mereka akan marah.”[2]
Machiavelli memandang rakyat sebagai manusia kebanyakan yang dalam kehidupannya senantiasa bersikap opurtunis dan juga membahayakan posisi kekuasaan. Rakyat yang ‘berkodrat buruk’ itu sekaligus menjadi sebagai obyek kuasa—kekuasaan itu tumbuh ketika objek kekuasaan terbuka untuk dimanipulasi—. Obyek kuasa itu bersikap pasif ketika merasa diuntungkan dan (sekaligus) menjadi ‘berbahaya’ ketika mengalami kerugian. Manusia yang opurtunis dan terbuka untuk dimanipulasi itu merupakan suatu himpunan individu yang secara psikis rentan atau massa.
Oleh karena itu, menurut Machiavelli, seorang penguasa (‘panggeran’) harus memakai taktik dan strategi manipulasi untuk membuat mereka tergantung pada kekuasaan sang penguasa.“Seorang panggeran harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas…Sang panggeran harus bisa memakai dua kodrat itu…yang satu tanpa yang lain tak dapat ada. Dan karena seorang panggeran harus mampu bermain sebagai binatang buas, dia harus mencontoh rubah dan singa; karena singa tak lepas dari jerat dan rubah tak bisa lolos dari srigala. Jadi, dia harus menjadi rubah untuk mengenali jerat, dan menjadi singa untuk menakut-nakuti srigala-srigala. Mereka yang hanya mencontoh singa tak tahu apa-apa. Seorang penguasa yang cerdik bisa dan karenanya juga tak harus menepati kata-katanya, jika hal itu merugikannya dan alasan-alasannya…mencolok. Andaikata semua manusia baik, nasihat ini kiranya tak ada artinya; tetapi karena mereka tak banyak faedahnya dan kata-kata mereka tak ditepati, untuk mereka, kau juga tak perlu menepatinya. Juga seorang pangeran jangan kehabisan alasan baik untuk memanis-maniskan pelanggaran janjinya.”[3]
Seorang penguasa harus bisa secara ‘tegas dan kuat’ melandaskan tindakan politisnya pada dua kodrat yang saling bertentangan itu: manusia dan bintang (buas). Dalam metamorfosis utama tersebut, penguasa juga harus ‘bermain dengan cerdik dan licik’; tindakan disesuaikan dengan situasi. Ia selalu waspada, bersikap tegas, ‘brutal’ dan disegani sekaligus pandai memikat hati. Penguasa harus lebih cenderung ditakuti daripada dicintai dan kikir daripada murah hati. Dengan demikian, kekuasaan akan dapat diperoleh dan berjalan dengan stabil.
Posisi Dua
Immanuel Kant (1724-1804), dalam posisi yang berbeda, mendeskripsikan manusia sebagai mahkluk yang paradoks; berciri sosial sekaligus asosial. Ia cenderung terarah pada bentuk kehidupan kolektif sekaligus membutuhkan jarak untuk menyendiri dengan individualitasnya. Dalam hal ini, manusia di satu sisi dilihat sebagai mahkluk egois yang “menghendaki segalanya sesuai dengan pikiran-pikirannya sendiri”; ‘egois rasional bukan emosional. “Pertentangan (FBH-ciri sosial yang asocial dari manusia) inilah yang sekarang membangkitkan kekuatan-kekuatan manusia dan mendorongnya untuk mengatasi kemalasannya dan—dengan didorong oleh nafsu untuk mencari hormat, kuasa atau harta—mendorongnya untuk mencari status di antara semua bakat lama-kelamaan dikembangkan, selera juga terbentuk dan bahkan lewat pencerahan terus-menerus dimulailah cara berpikir yang mengubah…kesatuan sosial yang dipaksakan secara patologis itu menjadi sebuah totalitas moral…Jadi, berterimakasihlah kepada alam karena dia mendukung pertentangan sosial, persaingan penuh iri hati, nafsu yang tak terpuaskan untuk memiliki atau bahkan untuk berkuasa! Tanpa semua ini kiranya semua kemampuan alamiah manusia yang istimewa akan tetap tertidur dan tak berkembang. Manusia menghendaki kerukunan; namun alam tahu lebih baik untuk spesiesnya: dia menghendaki pertentangan.”[4] Jadi, Kant melihat rakyat sebagai himpunan manusia-manusia ambisius. Namun, akumulasi ambisi mereka justru mendorong kompetisi bebas yang meningkatkan kompetensi-kompetensi mereka untuk berkontribusi bagi Negara. Selain ambisius, kebebasan juga ditekankan sebagai sifat dasariah manusia.
Tindakan Politis, oleh Kant, dalam tulisannya: “Masalah pendirian Negara—betapa kerasnya pun perkataan ini—dapat diselesaikan bahkan oleh sebuah bangsa setan-setan (jika mereka hanya memiliki akal). Problem itu dapat dirumuskan demikian: > untuk mengorganisir sejumlah mahkluk rasional yang bersama-sama menuntut hukum universal bagi kelangsungan hidup mereka, namun setiap individu secara diam-diam cenderung mengecualikan dirinya dari yang lain, haruslah konstitusi negara itu dirrancang sedemikian rupa, sehingga—meskipun para warganegara saling bertentangan satu sama lain dalam sikap-sikap pribadi mereka—pertentangan-pertentangan ini dapat dibatasi dengan cara sedemikian rupa sehingga prilaku publik para warganegara itu akan sama seakan-akan mereeka tidak mempunyai sikap-sikap jahat seperti itu <>[5]

Dalam hal tindakan politis, Kant mendeskripsikan secara imajiner ‘bangsa setan-setan’ yang hanya dengan tuntunan akal menjadi satu kesatuan. Dengan begitu ia menyoroti manusia-manusia yang senantiasa menyertakan pertimbangan moral yang (tiap-tiap orang) berbeda, sehingga sulit untuk dipertemukan. Tindakan politis cenderung pada pengaturan-pengaturan sistematis-rasional, namun tetap terarah pada suatu tujuan yang bersifat moral.Di samping itu, dalam tatanan politis Kant yang mengutamakan kesejahteraan umum seadil-adilnya dan menjunjung tinggi moralitas, tindakan politis haruslah memberi ruang kebebasan bagi kompetisi di dalam masyarakat dan tidak mengintervensi mereka, maka akan tercapai keseimbangan kekuatan di kemudian hari yang akan dinikmati bersama.

Posisi Tiga

Berbeda dengan dua posisi politik sebelumnya, dalam posisi ini anggapan tentang masyarakat menurut, Charles de Secondat de la Brede et de Montesquieu (1689-1755), menggambarkan manusia-manusia adalah mahkluk yang memiliki ketakutan dan ‘kesadaran akan ketakutan sendiri dan ketakutan tiap-tiap individu’. Rasa takut dan cemas ini dengan demikian merupakan kondisi alamiah bagi manusiauntuk berkooperasi. Kebutuhan akan teman yang menjadi dasar bagi kemampuan membangun komunitas pada akhirnya menghantar manusia untuk hidup bersama dalam masyarakat. Jadi, manusia-manusia (pemimpin dan rakyat) memiliki keterbatasan yang hanya dapat diatasi bersama-sama jika kedua pihak saling mendekat dan berkerja-sama. “Rasa takut, demikian penegasanku, kiranya menyebabkan manusia-manusia untuk saling menjauh satu sama lain. Akan tetapi mereka kiranya segera bergerak mendekat satu sama lain, bila mereka menerka dari gerak-gerik dan air muka orang lain bahwa rasa takut itu timbal-balik. Lagi pula pendekatan itu akan cepat menimbulkan rasa senang yang dirasakan oleh setiap mahkluk saat mendekati mahkluk lain dari spesies yang sama.”[6]

Hannah Arendt (1906-1975) menegaskan tindakan politis dalam posisi ini demikian: “Kekuasaan selalu merupakan potensi kekuasaan, dan bukanlah sesuatu yang tetap, terukur dan pasti seperti daya atau pun kekuatan. Kekuatan adalah apa yang dalam ukuran tertentu dipunyai oleh setiap manusia secara alamiah dan sungguh dapat dianggap sebagai miliknya; namun kekuasaan sesungguhnya tidak dimiliki oleh seorang pun. Kekuasaan terjadi di antara manusia-manusia, jika mereka bertindak bersama-sama, dan dia lenyap, begitu manusia-manusia itu bubar.”[7] Kekuasaan, menurut Arendt, terjadi dalam ruang privat (keluarga), dimana juga terdapat kekerasan, termasuk tidak adanya kebebasan. Kekuasaan bukan kemampuan untuk memanipulasi orang lain untuk tunduk pada penguasa. Kekuasaan itu ‘ada’ ketika orang berbicara dan bertindak “bersama”—adanya concern­ bersama untuk membela kepentingan publik—. Jadi, tindakan politis berkaitan dengan pembangunan komunitas-komunitas pemberdayaan yang dapat menolong diri mereka sendiri dan pertolongan bagi pihak-pihak yang tidak diuntungkan atau dipinggirkan oleh sistem yang berlaku.

Posisi Satu sebagai Politik Penaklukan (Birokratisme-Totalitarianisme)

Machiavelli memperlihatkan secara umum bahwa dalam suatu negara hanya ada relasi-penaklukan. Politik dimengerti sebagai manipulasi dan penaklukkan lewat siasat dan muslihat. Dan politikus adalah ‘maestro dalam metamorfosis’; seorang ahli yang piawai dalam melaksanakan semua cara yang efektif dan paling berguna serta memungkinkan stabilitas kekuasaan. Dengan demikian politik tereduksi hanya pada ‘pencarian kekuasaan’ dengan berbagai upaya-upaya untuk menaklukkan dan taktik lihai untuk memecah belah, serta penggunaan kekerasan dan terror untuk mendapatkan kepatuhan.

Dalam posisi ini, Kant memberikan gambaran mengenai sosok ‘moralis politis’ (politischer moralist)—yang terbedakan dengan ‘politikus bermoral’ (moral polician)—, yakni seorang manipulator total demi tujuan-tujuan strategis. Dia menciptakan sebuah moralitas untuk kemudian mencocokkannya dengan kepentingan penguasa. Dalam hal ini, ia menyatukan secara salah politik dan moralitas; mencari keuntungan dari hasrat alamiah manusia untuk melihat tujuan-tujuan para pemimpin dan dalam terang moral menciptakan sebuah etika yang melulu melayani tujuan segelintir penguasa.

Selain itu, gambaran politik dalam posisi ini memproyeksikan negara hanya sebagai sekedar sarana survival. Hal itu sesuai dengan anggapan Plato dalam Politeia bahwa negara terjadi semata-mata demi kebutuhan survival manusia, maka juga untuk kebutuhan survival belaka. Dalam pemikiran Hobbes, negara menjamin kepentingan diri dan pemeliharaan diri.

Pemahaman lazim tentang politik jenis ini disebut dengan ‘politik penaklukan’, penaklukaan merupakan stabilisasi kekuasaan atas suatu wilayah tertentu (dominasi). Dalam hal ini, politik merupakan suatu ‘upaya memperbesar ruang kebebasan alamiah pemegang kekuasaan’.

Aristoteles sudah lebih dini mencoba untuk mengatasi konsep politik penaklukan ini dengan memperlihatkan ciri ‘lebih’ dari politik dibandingkan kegiatan-kegiatan lain seperti ekonomi dan teknik. Aristoteles dalam politeia: “negara dalam arti tertentu telah mencapai batas autarki yang sempurna, pertama-tama terjadi demi kehidupan melulu, tapi lalu ada demi kehidupan yang sempurna”—yang lebih itu adalah ‘realisasi keutamaan-keutamaan hidup’—ada dimensi moral dalam bernegara yang akan menghindarkan manusia jatuh pada logika survival belaka. Namun, ‘yang lebih’ atau dimensi moral dalam politik kerap dilihat sebagai hal yang membatasi kebebasan dan otonomi.

Posisi Dua sebagai Politik Kebebasan (Liberalisme)

Politik kebebasan mencoba mengatasi pandangan politik penaklukan dengan menciptakan ruang kebebasan bagi pihak yang dikuasai (individu). Posisi ini denganberlandaskan ‘hak individu’ merumuskan politik sebagai perlindungan hak-hak dan kepentingan-kepentingan individu. Dalam hal ini, raison d’etre negara adalah untuk menjamin kebebasan individu. Untuk itu, perlu ada demarkasi jelas antara publik dan privat, dan hak milik pribadi merupakan institusi kebebasan individu itu.

Thomas Hobbes melihat; ‘kebebasan alamiah (right of nature) adalah dasar chaos (state of nature) sekaligus dasar cosmos (political order); kebebasan membentur kebebasan, dan dari benturan itu tercipta batas-batas yang menjamin kebebasan individu. Batas-batas itulah ‘political order’ kebebasan atau sistem pemeliharaan diri.

Kant merumuskan ‘political order’ ala Hobbes itu sebagai konsep hukum: “jadi, hukum adalaha saripati dari kondisi-kondisi yang memungkinkan kehendak bebas (Willkur) seseorang dipersatukan dengan kehendak bebas orang lain menurut hukum universal kebebasan”. Atau dengan kata lain, politik adalah penalaran kepentingan-kepentingan diri para individu ke dalam sebuah “sistem kebutuhan-kebutuhan”(lih. Kritik G.W.F Hegel). Politik kebebasan di sini dimengerti sebagai upaya-upaya memperluas ruang ‘kebebasan negatif’: individu lepas dari ikatan-ikatan kelompok. Namun, tidak memiliki batasan yang jelas antara negara dan pasar, politik dan ekonomi. Di samping itu, posisi ini hanya sekedar memuaskan self-preservation individu. Diperlukan sesuatu ‘yang lebih’ daripada sekedar management of self interest.

Posisi Tiga sebagai Politik Pemberdayaan (Republikansime)

Politik seharusnya tidak berupa dominasi manusia atas manusia lain dan juga bukan sekedar konservasi kebebasan negatif yang mengisolasi manusia satu dari manusia lain, melainkan suatu ‘proses penguatan kewargaan’. Dengan kata lain, politik dalam pengertiannya yang otentik (polis=autarki) adalah organisasi diri warga. Politik dalam arti organisasi diri warga tidak terdapat dalam tindakan manipulasi massa dan juga tidak semata-mata organisasi kepentingan diri, melainkan terdapat dalam ‘tindakan pemberdayaan (act of empowerment)’, seperti penggalangan solidaritas dan pembukaan jalur-jalur komunikasi politis dalam ruang publik. Kebebasan politik telah menguatkan individualitas individu dengan melepaskan individu berkepentingan diri dari kungkungan tradisi dan kelompoknya. Politik kebebasan sensitif terhadap berbagai bentuk tirani, kediktatoran, otoritarianisme dan totalitarianism. Tetapi ‘kebebasan negatif’ belaka hanya akan menggiring masyarakat ke dalam krisis motivasi dan relativisme nilai yang pada gilirannya membuka peluang bagi munculnya radikalisme dan fundamentalisme (bdk. Fromm, Escape from Freedom).

Politik pemberdayaan bertolak dari konsep kebebasan positif, yakni bahwa pengembangan dan kemajuan individu atau kelompok berdasarkan kemampuan individu dan kelompok untuk menentukan diri. Untuk itu, politik berarti upaya-upaya untuk memperluas partisipasi politis warga dalam proses-proses demokratis. Jadi, konsep politik pemberdayaan pada akhirnya membawa pengertian yang lebih otentik dari dua jenis konsep politik lainnya.





[1] Tulisan ini merupakan ‘saripati’ dari dua sumber utama yang penulis gunakan, yaitu (1) Diktat Filsafat Politik, Teks-teks Kunci Diterjemahkan dan Dikumpulkan oleh F. Budi Hardiman, dan (2) catatan lepas dari penulis yang dikutip dari setiap tatap muka di ruang kuliah.


[2] Machiavelli, The Prince, Bab 17


[3] Ibid, Bab 18


[4] Kant, Tesis 4 buku Antropologinya


[5] Kant, Perpetual Peace, Pasal Definitif. Tambahan pertama.


[6] Montesquieu pemimpi dan Rakyat


[7] Arendt, 1996, Vita Activa, hlm.252.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t