Langsung ke konten utama

Konfusianisme


Proses Perkembangan Pemikiran Sekolah Ru[1]

Ru Jia adalah sebutan dalam bahasa Mandarin untuk “Sekolah Kaum Cendikia” (School of Literati). Kata ‘Ru’ sendiri berarti ‘literatus’ atau ‘scholar’, dalam bahasa Indonesia dipakai istilah ‘cendikia’. Tidak ada istilah khusus dalam bahasa Mandarin yang berarti ‘Confusian’ atau ‘Confusianist’. Di luar Tiongkok sekolah ini disebut “Sekolah Konfusianis”. Memang Konfusius adalah salah seorang tokoh utama aliran ini bahkan dengan tepat dianggap sebagai pendirinya. Namun kata ‘Ru’ tidak hanya menujuk ‘confusian’ atau ‘confusianist’ tetapi lebih luas dari itu.
Latar belakang sosial-politik munculnya Ru jia ialah runtuhnya sistim masyarakat feodal Zhou. Ru jia berakar pada tradisi kaum Ru. Kaum Ru adalah kaum terpelajar yang membaktikan diri untuk Ritual dan musik. Mereka adalah pakar-pakar Ritual dan Musik. Kaum Ru berakar pada “orang Bijak Zaman Dulu”, yaitu para pendiri Dinasti Zhou, Raja Wen, Raja Wu dan Pangeran Zhou. Pada masa Zhou mereka bertiga inilah yang dianggap menjadi ‘penguasa yang bijak’ yang oleh para Konfusianis dijadikan panutan.[2]
Anggota-anggota sekolah Ru adalah orang-orang yang pernah menjadi pejabat di Kementerian Pendidikan. Mereka amat bergaiarah mempelajari “Liu Yi” (Enam Kitab Klasik) dan mempunyai perhatian khusus pada hal-hal yang berhubungan dengan Kemanusiaan (ren) dan Kebenaran (yi). Mereka menganggap Yao dan Shun (dua Kaisar Bijak dalam fase Longshan), sebagai leluhur sekolah mereka. Dan ‘Tiga Raja Bijak kuno’ (Raja Wen , Raja Wu, dan Panggeran Zhou) [3] dari Dinasti Zhou awal sebagai teladan yang cemerlang.
Pada masa Feodalisme Zhou awal[4], istana para Aristokrat merupakan pusat kuasa politik, ekonomi, dan pusat pembelajaran. Karena dalam tembok istana itu berkumpul pejabat negara dengan bermacam-macam keahlian kusus dalam berbagai bidang ilmu dan pengetahuan. Para Aristorkat bukan cuma penguasa politik dan tuan tanah, tetapi juga orang-orang yang memiliki kesempatan untuk menerima pendidikan.
Namun dengan runtuhnya sistim politik dan sosial Feodalisme Zhou, banyak para Pangeran dan Tuan Tanah yang kehilangan tanah dan kedudukan mereka dan demikian jatuh pada level rakyat jelata. Pejabat-pejabat resmi pemerintahan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai bidang kehidupan tersebar di antara orang kebanyakan. Para Junzi (tuan tanah) itu terserak ke seluruh pelosok Negara. Mereka berusaha mencari nafkah dengan melanjutkan menjadi pengajar bidang keahlian mereka masing-masing dalam kapasitas pribadi. Beberapa diantara mereka menjadi “guru’ profesional. Karena itu mulailah muncul pemisahan antara “guru” dan “pejabat negara”. Dengan itu pula munculah para Filsuf di Tiongkok.
Munculnya guru-guru dalam kapasitas pribadi diperkuat dengan istilah Tionghoa yang dipakai untuk menjebut ajaran dari orang itu, ialah kata “Jia”. Kata ‘jia’ berarti ‘keluarga’ atau ‘ rumah’. Sebelumnya tidak pernah dipakai itulah itu, karena memang tidak ada orang yang mengajar ‘ajaran’ mereka sendiri dalam ‘kapasitas pribadi’. Lahir berbagai “jia’ karena banyak dari para guru itu memiliki spesialisasi dalam bidang-bidang Sepesialis-spesialis itu terkumpul dalam bidang keahlian mereka yang akhirnya membentuk sekolah, yaitu: Guru-guru yang punya keahlian khusus dalam bidang tata- acara dan musik, kemudian disebut ‘Kaum Ru’. Mereka yang mengkhususkan diri dalam seni perang disebut ‘xia’ yaitu ‘pendekar pengembara’. Orang-orang yang ahli debat disebut ‘pianzhe’ Mereka yang mengkhususkan diri dalam ‘magic’, peramalan, ilmu perbintangan, ilmu perhitungan angka keberuntungan, disebut ‘fangshi’. Para politisi praktis, disebut dengan nama ‘fang-shu zhi shi’ (Ahli kenegaraan dan diplomasi). Orang yang amat terpelajar dan penuh bakat, tetapi amat dikecewakan oleh kekacauan zaman dan meningalkan hidup ramai dan menyepi ke alam bebas, disebut ‘yinzhe’, para penyendiri.
Konfusianisme erat terkait dengan tradisi kaum Ru. Bahkan Konfusius adalah seorang Ru (awal). Walaupun Konfusius adalah salah seorang Ru-awal, namun dia tidak sama begitu saja dengan kaum Ru tersebut karena Konfusius membuat refleksi filosofis atas ‘Li’(ritual), yang manjadi kata kunci kegiatan kaum Ru. Konfusiuis menempatkan ‘Ren’ yaitu kemanusiaan atau cinta kasih pada dasar ‘Li’ sebagai alasan terdalam untuk ‘Li’. Dengan refleksi itu membuat Konfusius menjadi pendiri dari sekolah filsafat pertama di Tiongkok yaitu Ru jia atau dalam bahasa asing Sekolah Konfusianis.

Ren’ adalah gagasan sentral dari Konfusianisme. Ren bisa dipahami sebagai kebaikan hati, kasih antar manusia. Kebaikan merupakan hakikat terdalam diri manusia yang membuat unsur lain dalam hidupnya menjadi mungkin. Menurut Konfusius ‘ren’ adalah sesuatu di dalam diri manusia yang membuatnya sungguh-sungguh menjadi manusia. Namun, Konfusius tidak penah memberikan definisi yang tegas tentang apa itu ‘ren’. Ren’ itu adalah jalan yang amat pribadi, termuat dalam hati setiap orang dan harus diwujudkan dalam hidup setiap manusia.
Konfusius banyak berbicara tentang ‘ren’ untuk menjelaskan maknanya dalam kehidupan tiap orang. Prinsip-prinsip moral sebagai jalan menuju ren menyiratkan bahwa jalan benar yang harus ditempuh manusia bukanlah menggapai kesenangan atau menghindari ketidak-senangan saja, melainkan bertindak menurut prinsip dasar yaitu ‘ren’. Bagi Konfusius “ren” inilah yang memanusiakan manusia. Ren bukan hanya prinsip melainkan juga gerak, sesuatu yang harus diungkapkan. Sepanjang sejarah Tiongkok dari masa Xia, Shang sampai masa Zhou, ungkapan itu adalah ‘li’.
Li merupakan alat pengemban ren yang amat penting: Li adalah hukum langit, keharusan bumi dan tindakan manusia”.Li merupakan gambar dari perjumpaan intervensi langit dan persembahan dari manusia.Li mengandung arti ‘tatacara dan upacara keagamaan’, tetapi Konfusianisme memberi arti lebih luas dari pada sekedar ritus dan ritual, yaitu, segala sesuatu yang terkait pada tindakan tepat manusia. Dalam hubungan Keluar “Li” berhubungan dengan kedudukan sosial dan dalam hubungan kedalam menunjuk pada kewajiban pribadi sesuai dengan kedudukannya dan apa yang diharapkan dari mereka. Ren menjadi dasar ‘li’. ‘Li’ menjelmakan ‘ren, kebiasaan, tradisi dan aturan yang tidak sesuai dengan ren, bukan ‘li’ yang sejati. Li kecuali menjadi operasionalisasi ren, juga menjadi sarana pengembangan ren. Konfusius menekankan peran Li untuk menata dorongan-dorongan dalam diri manusia agar ren sungguh menjelma.
Yi adalah akar dari tindakan dari seorang “Manusia Utama”. Yi memiliki makna kebenaran. Dengan memparktekan Li berarti juga mempraktekan Yi, dengan kita mengalah berarti kita mewujudkan Yi, dan dengan kejujuran berarti kita menggenapi Yi. Barang siapa yang melakukan itu semua sungguhlah seorang Manusia Utama.Yi merupakan kemampuan untuk mengenal apa yang benar dan membentuk cara bertindak tepat agar sesuai dengan ren yang merupakan nilai terdalam hidup manusia.
Manusia yang mempraktekkan dan menumbuhkan ren dalam hubungannya dengan sesama disebut ‘xiao. ‘xiao yang berarti “hormat bakti yang muda terhadap yang lebih tua”Awalnya adalah bakti anak kepada orang tua, menunjukkan ketaatan anak (laki-laki) pada orang tua. Lalu berkembang dalam “Wulun”, yaitu lima relasi utama. Kewajiban ‘xiao ini tidak hanya dihayati semasa hidup bahkan diteruskan setelah kematian. Penghayatan Xiao dilakukan dengan jalan Menghormati orang tua, karena hidup diturunkan dari mereka, termasuk badan. Hormat ini dinyatakan keluar dengan berbuat baik dan mengharumkan nama mereka, paling sedikit jangan sampai dipermalukan. Jadi ungkapan xiao bukan cuma fisik tapi juga emosional dan spiritual.
Sayap Idealistik Konfusianisme: Mencius
Melanjutkan ajaran dan tradisi Konfusius, Mengzi berupaya mengembangkan kembali Rujia yang tertekan oleh ajaran Mojia (sekolah Mo). Ia melihat ajaran sekolah Mo mengaburkan kebenaran, menyesatkan rakyat dan akhirnya membahayakan negara, maka Mengzi menghabiskan seluruh hidupnya untuk menumpas ajaran sekolah Mo dan membangkitkan kembali Sekolah Ru.
Tradisi Konfusius menegaskan gagasan pokoknya: Ren (rasa kemanusiaan) yang berkembang dalam relasi dengan Li (keuntungan) dan Yi (rasa keadilan). Setiap manusia dengan rasa kemanusiaan harus memperluas diri, sehingga ia mencakup orang lain. Namun, Konfusius tidak menjelaskan; mengapa manusia harus berprilaku begitu? Menurut Mencius sifat dasar manusia adalah baik. Sifat dasar ‘baik’ dari manusia ini merupakan jawaban bagi pertanyaan di atas. Dalam sifat dasar manusia terdapat unsur-unsur yang baik—ada juga unsur lainnya yang jika tak dikontrol akan menimbulkan kejahatan—yang membedakannya dengan mahkluk lainnya. Manusia memiliki empat macam permulaan dan empat kebajikan yang tetap; ‘perasaan simpati adalah permulaan rasa kemanusiaan’, ‘perasaan malu dan segan adalah awal dari kebajikan’, ‘ perasaan rendah hati dan kebersamaan adalah permulaan kesopanan’, dan ‘pemahaman terhadap hal yang benar dan yang salah adalah permulaan kebijaksanaan’. ‘Empat permulaan’ ini harus dikembangkan untuk menjadi ‘Empat kebajikan’ agar manusia benar-benar menjadi manusia, yang pada dasarnya baik.
Mencius juga berupaya mengatasi sekolah Mo. Mohisme (Mojia) mengajarkan ‘kasih semesta’ atau cinta yang sama bagi semua. Cinta yang sama kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja merupakan tuntutan hakiki manusia. Mohisme juga melihat Kasih semesta sebagai sesuatu yang secara artifisial ditambahkan kepada manusia dari luar. Berhadapan dengan pandangan ini, Mencius menegaskan cinta dengan gradasi, yakni cinta dengan gradasi intensitas yang dimulai dari cinta kepada orang yang terdekat lalu diperluas untuk mencakup orang-orang lain. Mencius juga menegaskan bahwa rasa kemanusiaan sebagai kualitas yang berkembang secara alamiah dari dalam sifat dasar manusia.
Sayap Realistik Konfusianisme: Xunzi
Dalam meneruskan tradisi konfusianisme, Xunzi mengambil jalur yang berbeda dengan Mencius. Ia beranggapan bahwa kodrat manusia itu buruk. Manusia dilahirkan dalam kondisi buruk dan segala yang baik dalam dirinya adalah buah upaya manusia itu sendiri. Xunzi meyakini bahwa setiap manusia memilki kecerdasan, sehingga dapat menjadi manusia berbudi baik. Sifat dasar manusia tak baik karena tidak berbudaya, maka sifat dasar itu harus dibudayakan.
Xunzi beranggapan bahwa untuk menjadi “Manusia Utama (Shengren)” tidak perlu mengetahui langit. Manusia sama pentingnya dengan langit dan bumi. Manusia mempergunakan apa yang disediakan oleh langit dan bumi, lalu kemudian menghasilkan budaya.
Xunzi juga berupaya menjawab pertanyaan Mengapa manusia dapat baik secara moral? Ia menegaskan bahwa manusia membutuhkan orang lain (bekerjasama dalam masyarakat) untuk; ‘menikmati kehidupan yang lebih baik’ dan ‘menaklukkan mahkluk yang lain’. Oleh karena itu, manusia membutuhkan Li (ritus, upacara, aturan). Li menentukan batasan dalam hidup bermasyarakat demi menghindari kekacauan karena kehendak tak terbatas manusia-manusia. Li menyaring budi pekerti dan memurnikan perasaan manusiawi. Dengan adanya Li maka moralitas ‘berada’.

[1] Tulisan ini seluruhnya dikutip dari bahan kuliah (baik dari materi power point maupun dari buku pegangan wajib: Fung You Lan, The History of Chinese Philosophy) Filsafat Timur II (Cina), Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, 2010.
[2] Feodalisme (dibawah bimbingan Raja Wu, Raja Wen dan Panggeran Zhou) mencapai bentuk matang dalam feodalisme Zhou, dimana Li (tradisi budaya) menjadi unsur pemersatu feodalisme tersebut.
[3] Tiga Raja Bijak Kuno ini mashyur dengan kejayaan dan kemakmuran yang dicapai dalam masa pemerintahannya, di samping sumbangsih besar mereka dalam pengembangan kultur dan peradaban, serta penanggulanagan masalah Negara.
[4] Hierarki kekuasaan Dynasty Zhou: Raja memerintah di pusat dan daerah-daerah taklukkannya diatur oleh para Gong (panggeran), yang tanah wilayahnya dikelola oleh para Junzi (tuan tanah) dan dikerjakan oleh Xiao Ren (rakyat jelata)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t