Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’.
Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis outsourcing. Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya.
Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis tak mungkin dilepaskan dari moralitas dan etika. Seperti dikatakan De George “bisnis seperti kebanyakan kegiatan sosial lainnya, mengandaikan suatu latar belakang moral, dan mustahil bisa dijalankan tanpa latar belakang moral seperti itu.”
Bisnis sebagai profesi etis
Memang benar bahwa; dalam pemahaman bisnis sebagai suatu kegiatan yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk ‘memenuhi kebutuhan masyarakat’, keuntungan tetap tak tertangguhkan sebagai keharusan dalam bisnis. Keuntungan seringkali menjadi pangkal dari permasalahan label ‘amoral’ dari bisnis. Keuntungan pada dirinya tak buruk. Keuntungan menjadi ‘buruk’ dalam upaya pencapaiannya yang meng’halal’kan berbagai macam cara. Keuntungan merupakan tujuan niscaya dari bisnis; fair dan wajar. Namun, keuntungan bukanlah tujuan utama dan satu-satunya dalam bisnis.
Tujuan utama bisnis, sebagaimana diungkapkan oleh Adam Smith (dalam bukunya, An Inquiry into the Nature and Causes the Wealth of Nations) ialah bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain, dan hanya lewat itu seseorang bisa memperoleh apa yang dibutuhkannya. “Berikanlah apa yang saya inginkan, dan Anda akan memperoleh [dariku] ini yang Anda inginkan”, tegasnya. Keuntungan hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dari kegiatan bisnis; yaitu, dengan memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik, keuntungan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa terikat dengan membeli barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga yang baik.
Di samping itu, bisnis sebagai praksis merupakan kegiatan individu. Bisnis menjadi ruang tempat individu beraktivitas dengan lingkungan dan sesamanya dalam bidang bisnis. Oleh karena kegiatan bisnis adalah kegiatan manusia, maka bisnis dapat dan memang pada tempatnya untuk dinilai dari sudut pandang moral, dari sudut pandang baik buruknya tindakan manusia bisnis sejauh sebagai manusia, persis sama seperti semua kegiatana manusia lainnya juga dinilai dari sudut pandang moral. Dengan demikian, bisnis tidak lepas dari etika yang merupakan refleksi kritis atas manusia yang bertindak.
Dengan demikian, bisnis memiliki etika. Hal ini juga berarti bisnis memiliki prinsip-prinsip etika (terapan atau profesi), yang merupakan penerapan prinsip etika pada umumnya—tanpa melupakan kekhasan sisem nilai dari setiap masyarakat bisnis—.Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip itu erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Dan dalam hal ini, operasional dari prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral dunia bisnis itu termanifestasikan dan tersalurkan lewat apa yang disebut ‘budaya organisasi’/’budaya perusahaan’ (corporate culture) atau etos bisnis.
Budaya Organisasi (corporate culture): Implikasi Bisnis yang Etis
Dalam dunia bisnis, budaya organisasi dibangun sebagai landasan nilai-nilai (visi dan misi) bagi perusahaan. Nilai-nilai itu dihayati, dipraktekkan, dan diteruskan dari generasi ke generasi dalam kegiatan bisnis perusahaan demi tercapainya tujuan-tujuan yang dicanangkannya. Banyak perusahaan besar telah mengembangkan nilai budaya organisasi dan pada akhirnya berhasil sukses dan bertahan lama (Mis. Matsushita Inc., IBM, Johnson and Johnson dengan Kredo-nya, dan keyakinan perusahaan Borg-Wagner).
Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Inc., dalam bukunya yang terkenal “Not For Bread Alone” mengungkapkan misi luhur perusahaannya yang tidak sekadar mencari keuntungan. Misi perusahaannya itu ialah, meningkatkan standar hidup masyarakat, menyejahterakan masyarakat, dan membuat hidup manusia lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka secara baik. Karena yang utama adalah memenuhi kebutuhan hidup manusia, dalam bisnis, perhatian terutama ditujukan pada konsumen dan juga karyawan perusahaan tersebut. Ini menjadi budaya organisasi atau etos bisnis yang dihayati oleh semua karyawan sejak masuk dalam perusahaan tersebut dan sekaligus menjadi keunggulan dan ciri khas perusahaan.
Dengan demikian, budaya organisasi juga telah memberikan jawabannya bagi dunia bisnis yang seringkali dipandang bersifat ‘amoral’. Dunia bisnis berjalan bukan sekedar dengan mengutamakan ‘keuntungan’, tapi berkembang dengan visi dan misi yang luhur. Oleh karena itu, bisnis berjalan juga dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral (etis). Bisnis, dengan demikian, telah menemukan bentuknya yang paling asali yang hadir dalam kelekatannya dengan moralitas; dengan etika.
*Tulisan ini merupakan tugas akhir mata kuliah Etika Bisnis, STF Driyarkara, 2009
Panjang juga ya postingannya,tapi menarik.
BalasHapussalam kenal
hehe...postingan sebatas ke-ingin-isengan ja'...[panjang dan tak teratur]...
BalasHapusdah jarang ngurus blog-nya...
salam kenal...
Ok mas...silahkan, selama kumpulan kata di atas bisa berguna!!!
BalasHapusjujur...ini sekedar tulisan hasil tuntutan 1 mata kuliah, jadi pemahamannya sebatas permukaan saja...!!
tp, sekedar berdiskusi...agaknya lebih memanusiakan kita...hehehe
Perilaku Bisnis yg etis...??! Perilaku Bisnis mengandaikan manusia yang bertindak...sementara yang etis mengimplisitkan 'yang-baik' sebagai suatu kualifikasi moral; 'manusia dipandang dari sudut manusia'[sudahkah ia menjadi/berperilaku sebagai manusia?!]!!! jadi, 'mungkin perilaku bisnis yang etis...berkenaan dengan perilaku yang bersesuaian dengan nilai-nilai moral [tentu ada permasalahan 'relativisme moral', dengan kenyataan bahwa ada perbedaan standar/nilai moral di berbagai kebudayaan/masyarakat...tp, setidaknya a nilai Universal]...
Soal, yang-etis dalam bisnis apakah terbatas pada soal 'merugikan orang lain atau tidak'; saya kira sedikit lebih jelas dengan jawaban saya di atas...Saya langsung teringat dengan kenyataan yang sering dipropagandakan setidaknya di seluruh dunia, soal kondisi alam...kerusakan alam, apakah mungkin dunia bisnis berpartisipasi di dalamnya?? Mungkin setiap perilaku manusia harus ada batasannya...dengan kontrol mungkin atau paling jelasnya dengan hukum-positif sebagai pengejawantahan nilai2 universal...
...
mungkin begitu...dan, Saya juga mulai bingung dengan keterbatasan saya..hehe
jd...
Salam Kenal...
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
BalasHapusSITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!