Langsung ke konten utama

Claude Levi-Strauss dan Linguistik Struktural


Claude Levi-Strauss, berbeda dengan Jean-Paul Sartre yang dengan optimisnya menyatakan bahwa eksistensi manusia mendahului essensi sehingga sebagai subjek; manusia bebas secara total, dengan tegas hendak menujukkan bahwa manusia sebagai subjek tidak sepenuhnya otonom. Manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan-pilihan dalam kebebasan total, tetapi ada “struktur” yang tanpa disadari, secara diam-diam, turut menetukan tindakan dan pilihan-pilihan partikular dari individu-individu. Levi-Strauss yang berkecimpung dalam antropologi budaya kemudian berkeyakinan bahwa tugas disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan adalah untuk mempelajari sekaligus menganalisa “struktur terdalam” yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan individual yang sekilas tampak kacau, tidak bisa diramalkan, dan bahkan tidak berpola sama sekali. Dalam hal ini, Levi-Strauss berseberangan dengan arus eksitensialisme (Prancis) saat itu yang sangat mengedepankan subjektivitas dan kebebasan. Levi-Strauss sebaliknya menyajikan “desentralisasi subjek”—istilah yang juga kemudian tenar dalam masa Post-strukturalisme—.[1]

Biografi dan Karya-Karyanya[2]

Claude Levi-Strauss, yang dijuluki “Bapak strukturalisme Prancis”—terutama karena dialah orang yang menggunakan pendekatan linguistik kultural dalam kajian atau analisis budaya dan dengan karya-karyanya, strukturalisme kemudian menjadi aliran dengan identitas tersendiri—, dilahirkan di Brussel Belgia, tahun 1908 dari orang tua Yahudi yang berkebangsaan Prancis. Tahun 1914 ia beserta keluarganya hijrah ke Versailles, Prancis. Kemudian ia belajar filsafat di Universitas Sorbonne dan dalam rangka studinya itu ia diberi kesempata juga untuk mendalami karya-karya ilmu social seperti dari Emile Durkheim dan M. Mauss, karena antropologi budaya belum merupakan suatu cabang spesialisasi akademis tersendiri.
Tahun 1934, ia menjadi professor sosiologi di Sao Paulo, Brasil (1934-1937). Pada saat yang sama ia mulai tertarik dengan anropologi dan kemudian mulai menjelajahi daerah-daerah pedalaman di Brazil. Ketika Nazi mulai berekspansi keluar dari negeri Jerman, Ia pindah ke New York (USA). Di tempat baru itulah Levi-Strauss kemudian bertemu dengan Roman Jakobson, seorang linguis yang kemudian melaluinya Levi-Strauss berkenalan dengan linguistik modern dan menemukan kemungkinan-kemungkinan penerapannya untuk antropologi.
Perjumpaan itu mengubah haluan karirnya. Levi-Strauss akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya (pendekatan linguistik kultural dalam kajian atau analisis budaya). Bagi Levi-Strauss, budaya adalah bahasa. Kesuksesan Levi-Strauss ini tertuang dalam beberapa buku yang membuatnya termasyhur, yaitu Les structures elementaire de la parente (1949), Tistes tropiques (1955), Antropologie structural (1962), Le totemisme aujourd’hui (1962), La pense sauvage (1962), Mythologies (1964), dan masih ada beberapa karya lainnya.

Ilmu Linguistik dalam Analisis Kultural: Beberapa Asumsi Dasar[3]

Levi-Strauss meyakini bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, karena material yang digunakan dalam membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan. Material-material tersebut tak lain adalah relasi-relasi logis, oposisi, korelasi dan sebagainya. Dengan demikian baik bahasa maupun kebudayaan merupakan hasil dari pikiran manusia sehingga ada hubungan korelasi di antara keduanya. Pandangan ini kemudian menjadi dasar bagi Levi-Strauss untuk memungkinkan penggunaan ilmu linguistik sebagai “model” dalam kajian budaya.
Selain itu, ada beberapa asumsi yang mendasari penggunaan paradigma (linguistik) struktural dalam menganalisis kebudayaan. Pertama, dalam Strukturalisme Levi-Strauss, beberapa aktivitas sosial seperti mitos/dongeng, ritual-ritual, sistem kekerabatan, perkawinan, pola tempat tinggal, dan sebagainya, secara formal dapat dilihat sebagai bahasa, yakni sebagai tanda dan simbol yang menyampaikan pesan tertentu. Kedua, kaum strukturalis percaya bahwa di dalam diri manusia secara genetis terdapat kemempuan structuring, menyusun suatu struktur tertentu di hadapan gejala-gejala yang dihadapinya. Tugas seorang strukturalis adalah menyingkap struktur dalam (deep struktur) dari struktur permukaan (surface struktur) yang mungkin dibentuk oleh gejala-gejala tadi. Ketiga, sebagaimana makna sebuah kata ditentukan oleh relasi-relasinya dengan kata-kata lain pada suatu titik waktu tertentu (sinkronis)[4], para strukturalis percaya bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena lain pada suatu titik pada suatu waktu tertentulah yang menetukan makna fenomena tesebut. Keempat, relasi-relasi pada struktur dalam dapat diekstrak dan disederhanakan menjadi oposisi-oposisi biner, misalnya; “menikah & tidak menikah”, “siang & malam”, “hitam & putih”, “besar & kecil”, dan sebagainya. Kelima, sebagaimana orang-orang menrapkan hokum-hukum bahasa tanpa sadar, demikian pula orang menjalankan “hukum-hukum” dalam hidup sosial-kemasyarakatan tanpa sadar.

Analisis Struktural atas Hubungan Kekerabatan[5]

Levi-Strauss memaparkan penelitiannya tentang sistem-sistem kekerabatan primitif (kinship system) dengan metode strukturalis dalam bukunya Les structures elementaire de la parente (struktur-struktur elementer kekerabatan). Kekerabatan diperlakuakan oleh Levi-Strauss sebagai bahasa. Dasar pemikirannya adalah bahwa aturan-aturan yang diikuti oleh suku-suku primitif di bidang kekerabatan dan perkawinan merupakan suatu sistem, yang terdiri atas relasi-relasi dan oposisi-oposisi. Di samping itu, sama seperti bahasa, kekerabatan pun merupakan sebuah sistem komunikasi. Jika dalam bahasa antar individu bertukar pesan dengan kata-kata, dalam kekerabatan suku-suku atau keluarga-keluarga (klan) yang dipertukarkan adalah wanita. Di sini bahasa dan kekerabatan dianggap sebagai fenomena yang sama dan dapat dianalisa dengan metode yang sama: linguistik struktural.
Dua pusat perhatian utama dalam analisis sistem kekerabatan ini adalah soal keturunan (decent: siapa yang dapat masuk ke dalam marga/suku/klan tertentu) dan perkawinan (marriage: siapa boleh mengawini siapa). Menurut Levi-Strauss, aturan yang lebih fundamental dalam sistem kekerabatan tersebut adalah larangan incest (kawin dengan saudara kandung). Incest merupakan larangan yang bersifat universal, yang menurutnya , menjadi awal mula berkembangnya kehidupan yang berbudaya. Levi-Strauss sendiri berpendapat bahwa larangan itu merupakan suatu aspek negative dari suatu fenomena positif, yaitu bahwa orang wajib menikah dengan orang di luar klannya sendiri. Larangan untuk menikahi wanita-wanita dari satu klan juga mencakup kewajiban untuk menyampaikan wanita-wanita itu kepada orang dari klan lain agar mereka pun mau memberikan wanita-wanita untuknya.
Dasar hubungan-hubungan sosial dan kebudayaan pada umumnya ialah pertukaran (l’echange). Pernikahan merupakan model pokok tindakan pertukaran ini. Pertukaran ini semacam hukum alam bagi kehidupan sosial. Incest dilarang keras—dan ini bersifat universal—karena mengingkarinya berarti meruntuhkan tiang-tiang penyangga masyarakat. Dengan larangan incest lahirlah kultur atau kebudayaan. Menurut Levi-Strauss, larangan incest yang dijumpai dalam kebudayaan-kebudayaan di dunia ini merupakan proses yang berlangsung pada taraf tak sadar, dan ini berarti berasal dari suatu aktivitas tak sadar psyche manusia. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan itu seperti bahasa yang melibatkan pertukaran (kata-wanita) dan merupakan sebuah bentuk komunikasi yang mencerminkan daya kemampuan pemikiran manusia yang lebih tinggi. Tugas dari analis struktural adalah menemukan dan mengodifikasikan aturan-aturan abstrak yang mengatur sistem komunikasi manusia dalam komunitas kultural tersebut

Penutup[6]

Melalui kajiannya tentang sistem kekerabatan, mitos, adat perkawinan, dan simbol-simbol kebudayaan etnis, Levi-Strauss menyumbangkan pemikiran yang sangat berharga bagi kajian budaya. Namun dalam kajiannya atas mitos-mitos, Levi-Strauss tidak mempertimbangkan masalah kekuasaan (power). Mitos dan berbagai tatanan budaya bukanlah hal-hal yang netral; begitu sajahadir di tengah masyarakat. Akan tetapi, mitos seringkali dilembagakan dalam sebuah kelompok masyarakat untuk mendukung kepentingan golongan atau elite tertenti dalam masyarakat. Di sini, “masyarakat” dimengerti Levi-Strauss dalam bingkai Fungsionalis, yakni sebagai arena sosialitas, pertukaran, kebahagiaan bersama, dan bukannya sebagai arena yang memuat konflik dan dominasi antar kelompok, kelas atau individu.[7]
Selain itu, Levi-Strauss juga melihat kebudayaan melulu sebagai sebuah abstraksi yang dapat eksis tanpa intervensi aktif dari manusia. Kebudayaan adalah struktur (oposisi dan relasi) yang sudah “ada di sana”. Kebudayaan beroperasi secara deterministikdalam pola-pola tindakan seperti perkawinan dan mitos. Jadi peran “subjek pelaku yang aktif” dinegasi, padahalIndividu juga dapat bertindak refleksif sehingga mampu mengubah struktur. Di sini, subjek tidak terdeterminasi total oleh struktur.
Pada akhirnya, tak dapat dipungkiri peran besar yang diberikan oleh Levi-Strauss. Ia berhasil menunjukkan bahwa kebudayaan dapat dianggap sebagai sebuah sistem yang kurang lebih otonom untuk menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Ia juga berhasil menunjukkan kompleksitas makna muncul dari hubungan sewenang-wenang antara elemen-elemen penanda (significant) dalam relasi-realsi terstruktur. Dengan demikian sistem-sistem kultural tampak memiliki aturan-aturandan logika kerjanya sendiri-sendiri, sama seperti bahasa.
***
Bibliografi
H. Dwi Kristanto.( ed.Mudji Sutrisno). Teori-Teori kebudayaan, Stukturalisme Levi-Strauss dalam kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Kees Bertens. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia, 2001.

[1] Bdk. Dwi Kristanto, H., ed.Mudji Sutrisno, Teori-Teori kebudayaan, Stukturalisme Levi-Strauss dalam kajian Budaya, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm.125.
[2] Ditulis dengan perbandingan beberapa sumber: Dwi Kristanto, H., ed.Mudji Sutrisno, Teori-Teori kebudayaan, Stukturalisme Levi-Strauss dalam kajian Budaya, Yogyakarta: Kanisius, 2009. & Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Jakarta: Gramedia, 2001.
[3] Bdk. Op.Cit. Dwi, hlm. 133-134
[4] Dalam hal ini, Levi-Strauss meneruskan tradisi F. de Saussure (1857-1913) yang menemukan tiga distingsi yang kemudian menjadi prinsip-prinsip dasar para strukturalis. Prinsip-prinsip dasar itu adalah distingsi antara signifiant-signifie, langue-parole, dan sinkroni-diakroni.
[5] Bdk. Ibid. hlm. 135-137
[6] Bdk. Ibid. hlm142-143.
[7] Bdk. Op.cit., Bertens hlm.198-200

Komentar

  1. Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @TaipanQQinfo
    • WA :+62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t