Langsung ke konten utama

Turunkan Nabi Isa

Tak ada maksud untuk menistakan agama melalui judul di atas. Saya sekadar menuliskan ulang kalimat yang dicoretkan pada dinding di sebuah halte Transjakarta pascaaksi demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020).




Tangkapan layar dari pesan viral yang menunjukkan pendemo yang menolak pengesahan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) berpose di samping tulisan yang dicoretkan oknum ke dinding halte Trans Jakarta, Kamis (8/10/2022).





Siapa yang menuliskannya? Itu pertanyaan pertama yang bercokol di benak saya ketika mendapatkan kiriman gambar terkait aksi vandalisme itu via sebuah grup di aplikasi pesan instan.

Sekali lagi bukan lantaran perkara penistaan agama. Kalimat aspiratif itu syahdan menghantarkan ragam pertanyaan lain di benak saya. Apakah aspirasi ini masuk akal dan merupakan sebuah kritik sosial yang justru sangat mendasar?

Saya memaknai kata imperatif ‘turunkan’ dalam kalimat itu seperti ‘menurunkan’ pemain kunci ketika sebuah tim sepakbola tengah terdesak dalam sebuah pertandingan sepak bola. Dengan kata lain, ‘menghadirkan’.

Setidaknya ada dua implikasi dengan seruan ‘menghadirkan’ Nabi Isa atau yang dalam tradisi Kristiani dikenal dengan Yesus dari Nazareth.

Pertama, kehadiran atau kedatangan kali kedua Yesus dalam perspektif agama samawi, khususnya Kristen, terkait dengan keyakinan eskatologis atau kedatangan hari kiamat.

Ya. ‘Turunnya Nabi Isa’ merupakan salah satu tanda besar dari akhir zaman. Yesus akan datang kembali sebagai sosok ‘hakim yang adil’ yang akan menghakimi dunia.

Dengan perspektif itu, aspirasi pendemo yang melekat pada dinding halte itu sekonyong-konyong menjadi ungkapan ketiadaan harapan untuk hidup.

Sudah sedemikian kritiskah kondisi saat ini sehingga 'oknum' pendemo itu berharap akhir zaman itu segera datang? Mungkin demikian pertanyaan lain yang menyeruak dari seruan itu.

Kedua, Yesus dalam tradisi kristiani, khususnya Katolik, diyakini sebagai seorang pejuang keadilan.

Di tengah penjajahan yang dialami Israel dan mayoritas usaha pertanian dikuasai orang kaya, Yesus hadir pada zamannya dan mewartakan cinta kasih dan keadilan. Tujuannya untuk mengubah situasi agar lebih adil dan sejahtera.

Diskursus berbulan-bulan tentang Omnibus Law, UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan tentunya selama ini diarahkan pada tujuan yang sama, yakni keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak, termasuk dalam wujud upah yang layak dan investasi yang memberdayakan masyarakat.

Dengan perspektif itu, lagi-lagi aspirasi pendemo di dinding halte itu menyuarakan hilangnya asa. Di tengah situasi ini, apakah harapan akan terciptanya keadilan dan kesejahteraan oleh masyarakat untuk masyarakat itu menciut? 

Dengan demikian, Yesus, sang hakim yang adil, itu pun diharapkan harus ‘turun tangan’ dalam menangani kondisi ini.

Lebih jauh, perspektif ini pun bermuara pada pertanyaan lain. Apakah memang jejak ajaran Yesus, sang pejuang keadilan, tak lagi tampak di Nusantara dalam sikap dan l
aku hidup penganutnya baik yang duduk di kursi penguasa, legislator, pemberi kerja maupun pekerja atau masyarakat banyak itu sendiri?

Padahal, tentu tak sedikit jumlah orang yang meyakini Yesus atau Nabi Isa sebagai panutan atau patron dalam hidup di negara berdasarkan Pancasila ini.

Bila sungguh tak ada lagi jejak itu, maka seruan ‘Turunkan Nabi Isa’ yang ditulis ‘oknum’ pendemo pekan lalu itu sungguh menjadi kritik sosial paling fundamental dari aksi massa pekan lalu.


***
Artikel ini merupakan draf tulisan saya yang disiapkan untuk rubrik Spektrum di Bisnis Indonesia pada 14 Oktober 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t