Langsung ke konten utama

Tuhan Menghukum Kita!





Seruan di atas tak dikutip dari status media sosial masa kini. Bukan pula dari pesan berantai melalui aplikasi pesan instan. 

Nukilan itu datang dari Pastor Paneloux yang mencoba menjelaskan makna wabah sampar yang meluluhlantakkan penduduk Oran. 

Dia sekonyong-konyong menerangkan secara metafisik-religius makna bencana yang dikisahkan dalam novel La Peste (Sampar) karya filsuf dan sastrawan, Albert Camus. 

Di tengah ancaman wabah itu, kekacauan merebak, pemerintah meminimalisir persoalan, media massa sibuk dengan urusannya sendiri, sedangkan rakyat kebanyakan justru tak mau tahu. 

Roman yang perdana dirilis pada 1947 itu menyajikan sebuah kemenungan tentang eksistensi manusia di hadapan bencana, derita dan kematian. Sebuah alternatif refleksi pengingat manusia dalam bersikap di depan bencana, tak terkecuali situasi dunia saat ini yang dihadapkan pandemi virus corona (COVID - 19).

Tak melulu lantaran ada keserupaan situasi yang tengah dihadapi umat manusia saat ini, novel yang kemudian mengantarkan Camus menerima Nobel Perdamaian untuk Karya Sastra pada 1957 itu pun mendeskripsikan aneka ragam sikap manusia di hadapan wabah atau bencana.

A. Setyo Wibowo (Etika Politik Albert Camus: Terlibat di sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd, 2010) merincikan ragam sikap manusia itu.

Hampir serupa Pastor Paneloux, Tarrou juga menggunakan argumentasi teori ideologis untuk membenarkan alasan kenapa mesti terlibat aktif dalam bencana. Dia mencari perdamaian dengan dirinya sendiri melalui upaya bersimpati dan mengerti manusia.

Kedua tokoh itu mereduksi korban menjadi data untuk dianalisis agar keyakinan atau teori abstrak yang dipeluknya menjadi terasa lebih menenangkan bagi dirinya sendiri.

Sebuah sikap yang tentu masih jamak di masa kini!

Ada pula Garcia, Gonzales dan Cottard yang digambarkan Camus sebagai pihak yang justru memanfaatkan bencana untuk mengeruk untung. Dua nama pertama menjadi penyelundup yang maraup cuan besar dengan ditutupnya Oran, sedangkan Cottard merupakan rentenir.

Selain itu, ada Rambert, seorang wartawan dan orang asing yang terjebak di Oran yang dalam status lockdown. Merasa terjerat, dia berusaha melepaskan diri untuk menemui kekasihnya di luar kota terkutuk itu, tanpa acuh sedikit pun pada penduduk.

Tokoh utama dalam La Peste hadir dalam sosok dokter Rieux. Tokoh pencerita dalam roman itu hadir sebagai orang yang terlibat secara konkret dan aktif menolong korban.

Berbeda dengan Tarrou, figur yang merupakan pengejawantahan sikap Camus ini memilih menghadapi bencana dan melibatinya tanpa banyak teori dan mimpi. Dia bertahan dan bertekun di sisi penduduk Oran, tanpa tahu dan berharap akan kemenangan atas wabah yang telah memakan ribuan nyawa itu. 

Bagi Camus, bencana hadir tanpa mengagetkan, perlahan mencengkeram, dan ketika hadir di depan pintu, orang baru menyadari kedahsyatannya dan tinggal menerima akibatnya. Hidup itu absurd.

Seperti Rieux, absurditas mesti dihadapi dengan moral keterlibatan. Manusia yang menderita karena bencana bukanlah ide abstrak, sehingga yang bisa dilakukan adalah mencegah supaya korban tidak jatuh lebih banyak lagi.

Tindakan konkret menjadi penting, ketimbang sekadar pembenaran metafisik-religius dan ideologis penenang diri.


***
[Tulisan ini saya tulis pada 18 Maret 2020 untuk tayang di rubrik Spektrum, harian Bisnis Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t