Nama Hadi Pranoto sekonyong-konyong menjadi pusat perhatian publik dalam beberapa hari terakhir. Sosok yang disebut-sebut sebagai ‘dokter dan profesor’ ini tampil dengan sejumlah klaim kebenarannya terkait COVID-19.
Dalam sebuah video wawancara yang diunggah di kanal Youtube milik Musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji, Jumat (31/7/2020)—yang kemudian ditarik platform berbagi video tersebut Minggu (2/8/2020)—Hadi bahkan mengklaim telah berhasil menciptakan obat herbal ‘Antibodi COVID-19’ yang cukup efektif menyembuhkan dan mencegah wabah itu.
“Herbal kita sudah berhasil dan terbukti. Yang positif kita obati sembuh, yang menjelang terinfeksi kita obati sembuh semuanya,” ujarnya dalam wawancara tersebut.
Pernyataan itu pun diikuti sejumlah klaim Hadi terkait hasil temuannya atas virus tersebut. Termasuk informasi bahwa COVID-19 akan mati pada suhu di atas 350 derajat.
Video itu viral dan dibagikan ke berbagai platform digital, dari Facebook, Twitter, Instagram, hingga WhatsApp, sebelum akhirnya ditarik Youtube dua hari berselang.
Klaim kebenaran di tengah pandemi ini tentu tak menjadi fenomena tunggal. Artikel The New York Times bertajuk In Indonesia, False Virus Cures Pushed by Those Who Should Know Better memerinci sejumlah klaim kebenaran lain, mulai dari pemanfaatan arak hingga proses penyembuhan dengan bantuan ahli supranatural.
Bagai onak dalam daging, klaim yang dianggap benar itu menjadi tantangan berat bagi pemerintah yang tengah berupaya mencegah penyebaran COVID-19 dan juga dampak ekonomi yang hadir dalam beberapa bulan terakhir. Klaim seolah benar itu hadir dalam wujud disinformasi, hoax dan berita bohong.
Tak bisa dipungkiri, fenomena ini menjadi ekses dari kemajuan teknologi yang selama ini disebut sebagai post-truth atau pasca-kebenaran. Fenomena yang menyeruak di ruang publik dan hadir mengangkangi fakta dan kebenaran hakiki.
Haryatmoko SJ, pengajar filsafat di Universitas Sanata Dharma, dalam sebuah video kuliah umum di Universitas Gadjah Mada pada 2017, menjelaskan bahwa fenomena ini hadir ketika objektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi dan hasrat lebih memihak keyakinan, kendati fakta berbicara lain.
Dalam fenomena itu, jelas dia, narasi dan dramatisasi pesan jauh lebih penting ketimbang fakta dan objektivitas.
“Fakta menjadi nomor dua, bahkan sama sekali diabaikan,” jelas dia.
Fenomena ini, sambung Haryatmoko, tampak terang benderang dalam perhelatan pesta demokrasi. Saat itu argumentasi yang tak masuk akal akan lebih diterima lantaran dibungkus dengan sentimen emosional, termasuk identitas, seperti agama.
Alhasil, penyebaran berita palsu dan disinformasi menjadi massif. Informasi yang sungguh benar dan diklaim benar atau sebagai kebenaran alternative menjadi kabur di ruang publik.
“[Kebenaran alternatif] diterima begitu saja, yang penting memuaskan emosi,” ujarnya.
Lebih jauh, jelas dia, kondisi itu bermuara pada banal-isasi kebohongan. Bohong menjadi hal biasa.
Orang tidak merasa bersalah lagi melakukan kebohongan. Bahkan seringkali, sosok pengklaim kebenaran alternatif itu pun tak sadar menyampaikan kebohongan.
Sebagai lawannya, fenomena pasca-kebenaran ini mesti dihadapi dengan kedisiplinan untuk melakukan pengecekan fakta dalam setiap informasi di ruang publik. Termasuk dengan mengecek kembali narasi yang baru saja Anda baca ini.
**
Materi ini disiapkan untuk tayang di rubrik Spektrum, Bisnis Indonesia, Agustus 2020
Komentar
Posting Komentar