Ya, judul di atas mengacu pada puisi karya Sapardi Djoko Damono. Sajak catur larik tiga bait yang ditulis Sapardi pada 1989 itu tampak mengungkapkan kerinduan mendalam.
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Demikian bait pertama kidung milik sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 itu.
Dalam sebuah video wawancara yang diunggah akun Musik Kembara di Youtube, Sapardi mengatakan hujan menjadi kejadian luar biasa kala Juni yang di Indonesia umumnya menjadi bagian dari musim kemarau.
Saat musim kemarau, jelas dia, tanah rengkah dan pohon menjadi kering. Saat itu pula, tanah dan pohon merindukan hujan.
“Hujan itu menjadi penting, justru ketika musimnya tidak hujan,” jelasnya.
Penghayatan itu tak lepas dari pengalamannya menghabiskan masa remaja di sebuah desa di pinggiran Kota Solo. Pada Juni dan Juli, cuaca di wilayah itu berubah drastis pada siang dan malam hari.
Pada siang hari terik matahari terasa, sedangkan pada malam hari dinginnya menusuk tulang. “Orang jawa bilang, bediding,” ungkapnya.
Dalam situasi itu, Sapardi mengakui turunnya hujan menghadirkan nikmat tersendiri, baik dari bunyi rintiknya maupun dari aroma tanah yang dibasahinya.
Kerinduan akan hujan dalam puisi Sapardi itu pun hadir di tengah-tengah umat manusia yang tengah berjuang menghadapi pagebluk virus corona (COVID-19).
Di Indonesia, sudah lebih dari 100 hari, pandemi ini menyebabkan perubahan besar dalam rutinitas harian masyarakat.
Upaya memutus rantai penyebaran wabah ini harus dibayar mahal dengan pembatasan aktivitas masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan. Kegiatan ekonomi dan sosial dibatasi, juga demikian dengan aktivitas ibadah keagamaan lantaran harus ‘mendekam’ di rumah.
Alhasil, kerinduan akan kondisi normal membuncah. Rasa kangen kepada kerabat dan handai tolan pun terkespresikan jelas dalam keseharian, terutama di jejaring media sosial.
"Kalau ini (pandemi Covid-19) sudah selesai saya ingin ke tempat ibu saya, ketemu adik saya, ketemu keluarga," kata musisi Iwan Fals dalam siaran langsung di Instagram, Mei lalu.
Masih segar dalam ingatan pula, bagaimana umat Islam harus menjalani Bulan Ramadan dan Hari Raya Idulfitri yang sama sekali berbeda. Tak ada mudik dan tanpa silaturahmi khusyuk dengan sanak saudara.
"Ada kerinduan yang sesak karena tidak bisa mudik ke kampung halaman," tulis Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui akun Instagramnya, April lalu.
Tak sedikit pula yang ingin segera beraktivitas normal dan melepas kangen dengan tempat-tempat favorit seperti mal atau tempat wisata. Di sisi lain, pelaku usaha tentu saja rindu pada kondisi normal agar bisnisnya bisa berjalan seperti sedia kala.
Di tengah kondisi itu, wacana kenormalan dalam wujud baru itu bak hujan saat kemarau. Pelonggaran aktivitas masyarakat menandainya.
Seolah-olah ‘terdesak rindu’, langkah itu diambil kendati tanda-tanda pandemi mereda masih samar.
Kenormalan baru pun tampak semu di hadapan fakta penambahan kasus positif yang terus melonjak seiring upaya masif meningkatkan uji spesimen. Bahkan, tiga hari terakhir jumlahnya terus menjadi rekor baru.
Dengan kenyataan ini, patut disadari kita masih harus lebih lama memendam rindu.
**
[Kemenungan ini ditulis untuk rubrik Spektrum di Bisnis Indonesia, Juni 2020]
Komentar
Posting Komentar