Langsung ke konten utama

Sertifikasi Tanah, Biaya Mahal dan Waktu Tak Tentu Masih Jadi Kendala

Persatuan perusahaan Realestate Indonesia (REI) baru saja mengakhiri musyawarah nasional (Munas) ke-14. Sejumlah agenda penting terkait dengan peningkatan kuantitas dan kualitas sektor real estate di Indonesia pun dicetuskan.

Satu di antaranya adalah beban tugas untuk menemukan solusi bagi hambatan administratif di bidang pertanahan yang seringkali dianggap menjadi biang keladi molornya proses serah terima unit properti.
Dalam Munas yang berlangsung selama tiga hari di Ibukota Jakarta tersebut, mayoritas dari sekitar 3000 anggota REI mengeluhkan permasalahan tersebut. Dua hal yang menjadi kendala utama, yakni mahalnya biaya dan tidak tentunya jangka waktu pengurusan sertifikat tanah.

"Biaya perijinan dan sertifikat tanah kami rasakan masih menjadi beban biaya tinggi tanpa adanya kejelasan biaya dan waktu penyelesaiannya," kata Mantan Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso (2010-2013) dalam sambutan pembukaan musyawarah nasional (Munas) REI ke-14 di Jakarta, baru-baru ini.
Dari ujung Timur Nusantara, Wakil Ketua Bidang Organisasi Luar Negeri DPD REI Papua Nelly Suryani mengungkapkan di Timika pelayanan pertanahan untuk splitching (pemecahan) sertifikat bahkan dapat berlangsung hingga 1 tahun.

“Alasannya karena kurang SDM (sumber daya manusia) untuk juru ukur. Mana mungkin sebuah Kabupaten dilayani oleh 14 orang, harusnya ada 45? Kalau ada yang sakit bagaimana? Ini menghambat dan merugikan. Bisa-bisa kita mendapat terguran dari perbankan dan diturunkan peringkat [kredit],” katanya.

“Kalau di Jayapura, sebagai ibukota, waktunya lebih cepat. Tapi biayanya sangat mahal, bisa naik hingga lebih 100%,” timpal Satriya Triputra yang juga adalah anggota DPD REI Papua.

Sebelumnya, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) juga mengeluhkan hal yang sama. Terutama terkait peraturan yang dikeluarkan badan pertanahan nasional (BPN) No.2/2013tentang pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran juga menghambat pengembangan rumah sederhana.

Pada Pasal 17 Ayat (4) peraturan tersebut disebutkan dalam hal terjadi peralihan hak sebagian bidang tanah, terlebih dahulu dilakukan pemecahan atau pemisahan sertifikat dan selanjutnya dibuat akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

“Sekitar Februari-Maret peraturan BPN keluar. Ini menjadi kendala sebab proses pengurusan menjadi lama dan menambah biaya lagi. Tapi, kita sudah lapor kepada menteri agar dipertemukan dengan kepala BPN, untuk berbicara mengenai sertifikat tadi. Walau belum ada kesempatan bertemu,” kata Ketua  Dewan Perwakilan Pusat (DPP) APERSI Eddy Ganefo.

Eddy mengungkapkan kendala administratif yang cenderung ‘ribet’ tersebut bahkan menjadi faktor yang menyurutkan target pengembangan properti pada tahun ini.

Terkait dengan permasalah tersebut, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Effendi mengakui keterbatasan juru ukur yang akan memfasilitasi proses sertifikasi telah menjadi kendala tersendiri.

“Jumlah juru ukur terbatas. Apalagi pemekaran wilayah administratif dari tahun ke tahun berlangsung begitu cepat. Sementara itu, sebagai suatu badan, BPN tidak dapat mengimbangi pembagian tersebut,” jelasnya.

Dia menjelaskan proses penambahan tenaga ahli tersebut juga membutuhkan waktu dan proses birokratif yang cukup lama. Di samping itu, lanjutnya, diperlukan suatu kerjasama yang melibatkan berbagai instansi pemerintahan untuk mengatasi permasalah tersebut.

Ketua Badan Pertimbangan Organisasi REI F. Teguh Satria mengatakan kendala kekurangan tenaga juru ukur merupakan permasalahan klasik dalam hal sertifikasi.  Pemecahan sertifikat, dengan jangka waktu ideal selama 1 bulan, jelasnya, bahkan dapat berlangsung hingga 6 bulan lamanya.

Untuk itu, dia berharap Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat memberikan sebuah terobosan melalui regulasi yang mengatur kepastian jangka waktu sertifikasi. Dia mengusulkan agar BPN membentuk sebuah lembaga independen yang menyediakan tenaga ahli berlisensi.

“Kendala kekurangan tenaga. Saya dengar dari dulu problemnya memang juru ukur. Tapi kan mestinya, bisa dicarikan solusi. Jadi masalah juru ukur itu kan bisa independen. Bentuk dong lembaga atau juru ukur independen yang berlisensi. Jadi kita bisa mengukur dengan menggunakan jasa lembaga-lembaga tersebut,” terangnya.

Sementara itu terkait dengan mahalnya pembiayaan administratif tersebut, Setyo Maharso dalam kata sambutannya tersebut mengungkapkan pihaknya berharap Badan Pertanahan Nasional (BPN) meningkatkan transparansi pelayanan dalam proses pengungkuran dan pembuatan sertifikat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t