Langsung ke konten utama

Eddy Hussy: 3S dan Fokus Pada MBR


Musyawarah Nasional Persatuan Perusahaan Realestate Indonesia (REI) ke-14 telah berlangsung selama tiga hari di Jakarta. Di samping mengevaluasi dan menentukan arah kebijakan asosiasi, perhelatan tersebut juga menjadi ajang penentuan sosok Ketua Umum DPP REI untuk periode 2013-2016.

Memasuki masa puncak Munas, Eddy Hussy akhirnya tampil meraih tampuk kepeminpinan REI dengan perolehan suara mencapai 87 dari 175 suara yang diperebutkan. Perolehan tersebut meninggalakan calon lainnya Teguh Kinarto, Wakil Ketua REI periode 2010-2013, yang hanya memeroleh 83 suara.

Untuk itu, dalam masa kepemimpinannya ke depan mantan Sekretaris Jenderal DPP REI 2010-2013 ini pun menawarkan program 3S, yakni ‘Solusi, Sosialisasi, dan Solidaritas’. Dengan tujuan utama untuk mengembangkan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dia berjanji akan membawa REI ke arah yang labih baik.

Berikut ini kutipan wawancara dengan Eddy Hussy setelah terpilih sebagai Ketua Umum DPP REI 2013-2016.

Bagaimana komentar Anda setelah memenangkan pemilihan?

Kemenangan ini sebenaranya hanya suatu pertarungan saja dan tidak bisa dimaknakan apa-apa, sebab kemenangan ini adalah suatu misi yang harus kita jalankan ke depan.

Akan dibawa kemana REI dalam masa kepemimpinan Anda?

Tentunya akan di bawah ke arah yang lebih baik, di mana ke depan kita bisa lebih bersinergi bersama pemerintah, terutama untuk mengembangkan rumah bagi. Itu adalah tujuan utama kita, sebab kita tahu bahwa backlog rumah begitu banyak.
Dan kedua kita tahu bahwa sebenarnya dunia properti saat ini sedang dalam kondisi yang tidak lebih baik dari sebelumnya. Agak sedikit lesu dengan adanya kebijakan-kebijakan, apalagi dengan adanya kebijakan BI (Bank Indonesia) ya. Ini juga merupakan program utama kita, untuk bagaimana bersama pemerintah dapat menemukan kiat-kiat lain atau pun solusi-solusi lain bagi permasalahan pembiayaan yang cukup mengganggu dunia properti kita.
Dan tentunya, kita juga tahu masih banyak persoalan yang kita harus selesaikan, antara lain adanya rencana kerjasama dengan BPN untuk penerbitan sertifikat. Dan kita juga akan berusaha bagaimana cara memperjuangkan agar sertifikat bagi perumahan MBR mungkin dapat dipercepat atau bahkan dibebaskan. Karena kita tahu bahwa kaum MBR itu butuh perhatian lebih dari pemerintah.

Bagaimana dengan program 3S?

Dengan segala persoalan, kita tentunya mencari solusi. Seperti yang saya katakan, kita akan lebih bersinergi untuk mencari solusi agar persoalan dapat terpecahkan. Kita juga tahu, kita butuh sosialisasi sebab kita perlu berjalan bersama-sama pemerintah atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Jika ada suatu kebijakan, kita perlu mensosialisasikannya kepada anggota kita. Dan sebaliknya, kita juga perlu mensosialisasikan REI ini kepada pemerintah, mengenai apa yang sebenarnya REI perlu lakukan. Sebab di daerah-daerah juga banyak mereka yang tidak begitu paham mengenai pengembangan. Jadi, kita perlu melakukan sosialisasi agar REI di hadapan pemerintah maupun bagi masyarakat lebih dikenal dan ‘lebih mendekat’. Dan dengan solidaritas kita semua, sebagai asosiasi, harus kompak yah. Dengan begitu, banyak yang kita bisa selesaikan secara bersama.

Bagaimana menggandeng berbagai stakeholder (pemerintah, perbankan dan lain-lain?

Pertama-tama dengan lobi yaNah, melalui lobi, menurut saya, merupakan sesuatu yang lebih elegan, dan secara bersama-sama kita bisa mencari suatu solusi bersama, sehingga apa yang kita semua khendaki dapat terwujud.

Apa saja yang belum dilaksanakan kepengurusan REI sampai saat ini?

Sebenarnya, setiap kali ada persoalan yang datang dalam kepengurusan mana pun, kapan pun, semua akan selalu berusaha menyelesaikannya. Jadi,  masanya Pak Maharso pun sama. Tetapi,  memang ada hal yang dari waktu ke waktu, sebab juga waktu pergantian waktu cukup singkat, yakni hanya tiga tahun, sehingga memang ada hal-hal yang harus dilanjutkan pengurus kemudian. Misalnya, seperti kenaikan harga RST (rumah susun tapak) dan Rusunami (rumah susun milik) itu kan pembebasan PPN-nya kita sementara perjuangkan. Surat dari Kementerian Perumahan kepada Kementerian Keuangan itu sudah dikirim, sehingga proses itu sudah masuk dalam proses Direktorat Jenderal Pajak. Kita doakan bersama, agar itu segera bisa dikeluarkan sehingga masyarakat yang ingin mendapatkan rumah bisa memanfaatkan FLPP secara maksimal. Lalu, seperti yang saya katakan tadi, kerjasama dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional), yang sedang kitagodok. Itu perlu kita tindak lanjuti. Dan juga ada beberapa aturan yang sementara dibahas di DPR RI yaitu rancangan UU pertanahan dan juga rancangan UU Tapera. Namun, kita juga tahu bahwa dalam waktu dekat kita akan sibuk, sebab tahun depan akan dilaksanakan pesta demokrasi. Sehingga, mungkin rancangan UU tersebut tidak akan selesai dalam waktu dekat ini.

Apakah periode sebelumnya belum maksimal?

Maksimal. Memang kerja itu tidak ada yang sampai selesai, sebab waktunya tidak akan bisa pas. Besok pergantian, besok akan selesai? Tidak bisa. Bagaimana pun REI ini merupakan suatu asosiasi profesi, dengan ketergantungan yang sangat cukup ketat pada. Sangat dekat. Jadi tentunya, tidak semua hal REI dapat tentukan. Kita harus bersinergi lah dengan pemerintah.

Apa yang akan dilakukan dalam seratus hari kepemimpinan Anda?

Fokus pada pembiayaan. Juga saya katakan tadi, pada pertanahan. Dan satu lagi adalah konsolidasi seluruh kepengurusan dan seluruh DPD di Indonesia. Itu dalam waktu 100 hari akan kita lakukan.

*wawancara perdana dengan Pak Eddy Hussy, pascaterpilih sebagai Ketum DPP REI 2013-2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t