Reformasi
tahun 1998 boleh dikatakan sebagai reformasi demokratik, di mana rakyat
dengan penuh antusias meruntuhkan rejim otoriter Soeharto dan memasuki
era demokrasi. Namun, dalam perjalanannya, demokrasi ini justru jatuh
menjadi rejim oligarkis. Hal ini dikatakan oleh Yustinus Patris Paat,
alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dalam sebuah diskusi
terbuka di kampus STF, Senin (26/12/2012).
Diskusi bertajuk “Hatred of Democracy” ini yang terlaksana atas
kerjasama Senat Mahasiswa dengan kelompok diskusi AGORA Driyarkara
berusaha menggali pemikiran salah satu filsuf Perancis, Jacques
Ranciere.
“Menurut Ranciere dalam rejim yang oligarkis, banyak orang mengkritik
demokrasi aktual. Para pengkritik ini menuduh demokrasi sebagai biang
keladi terjadinya anarki individu dan totalitarianisme. Demokrasi yang
menekankan kesetaraan dituduh sebagai perpanjangan tangan kaum
kapitalis dan menciptakan warga negara yang konsumeristik dan
individualistik. Inilah alasan masuk akal mengapa para pengkrtik
demokrasi membenci demokrasi,” kata Yustinus.
Dalam konteks Indonesia, menurut Yustin, pertama-tama yang perlu
disadari, bahan mentah refleksi Ranicere tentang demokrasi adalah
situasi Perancis. Kesetaraan merupakan salah satu semboyan revolusi
Perancis. Pemerintah Perancis sudah mengusahakan banyak hal agar warga
negaranya setara.
“Kondisi tersebut memang sangat berbeda dengan kondisi Indonesia di mana ketidaksetaraannya justru sangat kental”, katanya.
Ia mengungkapkan, di Indonesia kaum oligarki sangat mudah
diidentifikasi. Umumya, mereka merupakan kombinasi dari pejabat publik,
para kapitalis dan militer.
“Mereka berusaha untuk melanggengkan kekuasaanya dan melakukan relasi
dominatif sehingga tidak heran kalau dunia politik kita hanya dikuasai
sekelompok orang saja, seperti dinasti SBY, dinasti Megawati, dinasti
Bakrie, dinasti Gus Dur dan lain-lain. Dan persis inilah yang perlu
dilawan. Demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah oligarki.
Demokrasi adalah daya yang terus menerus dilakukan untuk menentang
segala relasi dominatif oleh siapa pun dan dalam bentuk apapun”,
jelasnya.
Ia mengingatkan, “Rancière mengajak dan mengingatkan kita akan
cita-cita yang sudah tertuang dalam Pancasila di mana kita mempunyai
akses yang sama dan setara untuk aktif dalam dunia ekonomi, politik,
sosial bahkan dalam bidang religius untuk berbuat baik sesuai dengan
ajaran agama dan kepercayaa.”
Yustinus juga menambahkan bahwa pemikiran Ranciere tentang kesetaraan
sebagai titik berangkat dalam menghadapi realitas ketidaksetaraan
sangat relevan diterapkan dalam dunia pendidikan, politik dan ekonomi
sehingga bisa mencapai emansipasi.
“Misalnya, seorang guru harus menyadari bahwa muridnya adalah subjek
yang setara dengannya sehingga guru akan membuka ruang kepada muridnya
untuk bertanya, berkreatif dan berdiskusi. Seorang pemimpin harus
menyadari bahwa dia menjadi pemimpin lantaran ada orang yang setara yang
dipimpinnya yang mengizinkan dan mengakuinya sebagai pemimpin. Seorang
pengusaha harus manyadari bahwa dia menjadi pengusaha karena ada buruh
atau pekerja yang mengakuinya sebagai pengusaha”.
Ia menegaskan, dengan titik pijak kesetaraan ini, maka relasi yang terjadi bukanlah relasi dominatif tetapi relasi emansipatif.
Oktaviano Donald, dalam http://www.theindonesianway.com/reformasi-indonesia-jatuh-dalam-rezim-oligarkis/
Komentar
Posting Komentar