Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi merupakan
pangkal masalah yang menyebabkan perwujudan keadilan – sampai saat ini –
hanya berupa janji yang tidak kunjung terealisasi. Korupsi secara umum
telah menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik,
yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan. Akibat
korupsi, rakyat saat ini menjadi korban ketidakadilan dan semakin sulit
hidupnya dari hari ke hari.
Juga sudah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia korupsi terus
terjadi. Hukum di Indonesia melempem dan cenderung tunduk pada pihak
yang kuat secara politik dan ekonomi. Dalam hal ini, patronase bisnis
dan politik di alam demokrasi bangsa ini nampak tak terbendung.
Korupsi – yang juga sejak dahulu telah menjadi wacana umum dan tidak
rahasia sifatnya – pada level yang paling parah telah menjadi penyakit
sistemik yang mengkultur. Perilaku korup menjadi banal, sehingga sudah
dianggap biasa dan orang seakan tak lagi punya harapan untuk
memberantasnya. Di dalam kultur semacam ini, perbuatan korup adalah
sesuatu yang biasa, bagian dari rutinitas. Pada momen ini, korupsi telah
mengancam eksistensi bangsa ini.
Banalitas Korupsi
BI Purwantari pernah menulis artikel berjudul “Mempertanyakan Banalitas Korupsi” yang dimuat di Harian Kompas pada
30 Agustus 2010. Di situ ia menulis, “Ketika kejahatan korupsi telah
bersifat banal, itu sama artinya dengan menjadikan praktik ini sebagai
hal lumrah, biasa, bahkan menjadi prinsip penggerak kehidupan
sehari-hari. Dalam setiap bidang kehidupan, korupsi menjadi aturan,
nilai, dan norma yang mengarahkan gerak manusia.”
Dalam artikel tersebut lebih jauh Purwantari mengetengahkan kenyataan
bahwa korupsi mulai tumbuh subur di Indonesia pada masa rezim militer
Orde Baru, dimana patronase politik-bisnis marak terjadi. Pada masa itu,
pejabat negara yang memiliki akses kekuasaan kepada sumber-sumber
ekonomi mulai menjadi patron bagi pegiat bisnis (termasuk keluarga
pejabat sendiri).
Sebaliknya, pengusaha berlomba merayu para birokrat untuk memperoleh
proyek, kontrak, konsesi, hak monopoli, kredit, subsidi, ataupun
pembuatan kebijakan. Para birokrat tidak lagi hanya mengurusi politik,
tetapi juga mengembangkan kepentingannya sendiri di dalam bisnis. Dengan
begitu, jabatan politik menjadi rebutan para birokrat. Lebih jauh,
patronase politik-bisnis ini meluas dan menulari aparat yudikatif dan
legislatif.
Kiranya dapat disepakati secara umum bahwa motif ekonomi kiranya
telah menjadi racun yang merusak motivasi banyak penguasa. Motif ini
kiranya menjadi pemicu bagi para penguasa sehingga mereka tidak lagi
bekerja dan berkarya dengan tulus, namun dengan sikap korup dan tipu
daya. Kenikmatan ekonomis ini memikat manusia untuk mengejarnya,
walaupun dengan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Korupsi: Fakta yang kini menjadi Norma?
Mengikuti judul artikel BI Purwantari, perilaku korup yang telah
menjadi banal di negeri demokrasi ini perlu dipertanyakan. Ada apa
dengan penyelenggaraan demokrasi Indonesia? Mengapa korupsi sebegitu
banalnya melekat pada kehidupan negara ini? Masihkah ada harapan dan
bagaimana caranya agar bangsa ini terbebas dari perilaku korup?
Ignas Kleden dalam bukunya “Korupsi Kemanusiaan” (2006)
membedah permasalahan korupsi yang banal itu dengan menilik pemikiran
Jurgen Habermars, filsuf asal Jerman.. Dari perspektif pemikiran
Habermas, korupsi juga terkait erat dengan klaim kebenaran moralitas.
Hal ini nampak dimana terdapat norma yang melarang segala bentuk praktek
korupsi. Di sisi lain, ada tindakan faktual yang jelas-jelas merupakan
korupsi. Habermas melihat bahwa norma dan tindakan faktual ini sejatinya
selalu berada dalam tegangan. Dalam keadaan yang normal, norma
digunakan untuk menilai suatu fakta berdasarkan kriteria normatif. Bukan
sebaliknya, kriteria normatif disesuaikan dengan hal yang faktual
terjadi. Gangguan epistemis terjadi ketika jarak antara hal yang
normatif dan yang faktual itu lenyap sehingga realitas faktual berubah
sifatnya menjadi yang normatif.
Kita ambil contoh berikut untuk menjelaskan konsep Habermars ini. Di
Indonesia, jika seorang koruptor memanfaatkan kelebihan dana hasil
korupsinya untuk membangun tempat ibadat, maka kebanyakan orang tidak
akan keberatan. Pada titik ini, faktualitas korupsi tidak lagi dinilai
dari sudut normatif larangan melakukan tindakan korupsi. Melainkan
faktualitas itu sendiri pun telah menjadi normatif sehingga dilayakkan,
atau bahkan patut dicontoh.
Dalam potret keseharian bangsa ini, faktualitas korupsi, yang
sebenarnya dapat terlihat dari akibat-akibat yang cukup kasat mata,
seperti kepemilikan harta benda yang berlebihan dari pejabat negara
tertentu, seringkali dibiarkan begitu saja atau pun dengan suatu
penolakan yang kurang intens. Upaya pemberantasan korupsi yang timbul
tenggelam lama-kelamaan menyebabkan ‘yang normatif’, yakni bahwa
tindakan korupsi itu dilarang menjadi lenyap, sementara ‘yang faktual’
atau perilaku korup menjadi yang normatif. Dan oleh karena yang normatif
merupakan acuan untuk menilai realitas faktual, banyak orang nantinya
akan melihat tindakan korupsi sebagai sesuatu yang normatif, yang
biasa-biasa saja, dan bahkan patut ditiru. Pada titik ini, korupsi
sungguh telah menjadi banal.
Kontrol Publik
Banalitas korupsi, dimana tindakan korupsi telah menjadi sesuatu yang
normatif, kiranya dapat kita redam dan cegah dengan beberapa
pendekatan. Akan tetapi di sini mungkin perlu ditekankan lagi bahwa daya
kontrol masyakarat di alam demokrasi bangsa ini perlu menjadi perhatian
utama. Patronase politik-bisnis harus dibongkar dan setiap langkah
korup harus dicegah melalui daya kontrol masayrakat.
Korupsi akan selalu mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan
pribadi. Dengan begitu, peran aktif dari publik perlu ditingkatkan.
Melemahnya daya kontrol masyarakat terhadap faktualitas korupsi akan
mendistorsi kebenaran psikologis subjektif warga negara, sehingga
distorsi tentang hal yang faktual dan hal yang normatif juga akan
terjadi. Dengan demikian warga negara akan sulit membedakan tentang hal
yang seharusnya dan hal yang sesungguhnya terjadi, yang harusnya dinilai
dari hal yang seharusnya.
Kontrol masyarakat di alam demokrasi Indonesia secara khusus memang
terwakilkan oleh DPR sebagai penyuara aspirasi publik. Melampaui itu,
dalam menghadapi ancaman banalitas korupsi, kontrol masyarakat secara
umum perlu mendapat perhatian serius. Kontrol masyarakat terhadap
pemerintah melalui berbagai forum aspiratif perlu dikuatkan. Mengutip
Habermas bahwa dalam negara demokrasi modern peranan komunikasi publik
itu harus semakin besar, media massa juga harus memihak dan mendesakkan
aspirasi publik. Karena pada media massa, berbagai gerakan aspiratif dan
forum-forum komunikasi reflektif itulah, bagi Habermas,
termanifestasikan kedaulatan rakyat.
Oleh: Oktaviano Donald
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
BalasHapusSITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!