Langsung ke konten utama

Sartre: Konflik sebagai Inti Relasi Manusia



Dewasa ini,
konflik kekerasan selalu menjadi sorotan berbagai pihak. Tak terkecuali dengan fenomena kekerasan yang terjadi di Ciekeusik, Pandeglang, dimana sekelompok massa yang mengatasnamakan agama melakukan penyerangan kepada warga Ahmadiyah.

Berita media elektronik melaporkan; Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan penyerangan tersebut mengakibatkan hilangnya sejumlah hak asasi warga Ahmadiyah. Hak asasi yang dilanggar antara lain hak untuk hidup, hak memilih agama dan menjalankan ibadah, hak untuk berkumpul, serta hak atas rasa aman. Akibat penyerangan itu warga Ahmadiyah kehilangan hak atas privasi tempat tinggal, hak atas perlindungan terhadap hak milik, hak atas perlindungan terhadap diskriminasi, dan hak anak untuk mendapat perlindungan. Selama empat tahun terakhir, menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), setidaknya telah terjadi 342 kali serangan terhadap Ahmadiyah di Indonesia. Kenyataan ini merupakan rangkaian kekerasan atas nama agama terhadap kelompok minoritas,"[1]

Dalam kasusnya, warga Ahmadiyah diserang oleh sekelompok massa dengan alasan perbedaan ideologis Hak-hak prinsipil para korban dicederai oleh oknum-oknum yang berlaku sewenang-wenang dalam kebebasan liarnya. Dalam kasus ini—dan juga dalam berbagai peristiwa kekerasan lainnya—akhirnya muncul pertanyaan: bagaimanakah ‘ada’nya kebebasan manusia? Dan mengapa terjadi konflik kekerasan? Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, pemikiran seorang filsuf asal Perancis, Jean Paul Sartre sekiranya dapat menjadi bahan refleksi.

Bagi Sartre, antar-subjektivitas adalah kemustahilan dan yang mungkin adalah konflik. Keberadaan manusia selalu mengandaikan keberadaan dengan manusia yang lain. Yang lain adalah yang kulihat dan yang melihat aku. Realitas manusia hanya menjadi objek di hadapan seseorang. Bila aku berada di hadapan yang lain—melalui pandangannya—aku merasa menjadi objek. Aku menjadi malu (menjadi objek) bila perbuatanku yang seharusnya tak dilihat orang, dilihat orang lain. Malu adalah pengakuan. Aku mengakui siapa diriku dihadapan yang lain, ia menjadi objek dan aku menjadi subjek yang mengobjekkan yang lain.

Sementara itu, bagi Sartre, karena eksistensi manusia lebih dahulu ada dibanding esensi (L’existence précède l’essence) di masa lalu, maka satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est condamné à être libre). ”Manusia adalah kebebasan”, demikian kata Sartre, ”tidak cukup dengan mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang menginginkan kebebasan, manusia adalah kebebasan itu sendiri”. 

Tetapi kebebasan seseorang selalu terancam oleh kehadiran yang lain, karena dengan memandang dan yang lain “membendakan” yang satu , menjadikannya suatu entitas-di-antara-entitas-dunia, menjadi benda di antara benda: menjadikan pour-soi, kesadaran subjektif, menjadi benda, en-soi, oleh pandangan (le regard) yang lain.

Begitu diobjektifkan, seorang manusia kehilangan kebebasannya. Untuk mendapatkan kebebasan kembali, ia harus melepaskan diri dari cengkeraman yang lain. Yang lain juga menjadi objek dengan pandangnya. Maka sementara yang satu membebaskan diri dari yang lain, yang lain berusaha membebaskan diri dari yang satu. Akibatnya adalah suatu dinamika, suatu per-juangan timbal balik.

Dalam hal ini, konflik hadir sebagai bentuk fundamental kehidupan bersama manusia. Konflik adalah sesuatu yang niscaya dalam kehidupan bersama yang lain. Bahkan konflik juga merupakan metode untuk kemajuan dan peningkatan manusia. Konflik adalah suatu bentuk konkrit antarsubjektifitas.

Konflik tidak hanya disebabkan karena agresifitas manusia, tetapi juga karena kondisi realisasi diri manusia: pilihan selalu terbatas dan bertabrakan dengan pilihan yang lain; kebaikan banyak dan terbagai-bagi; pemahaman situasi terbatas. Maka muncullah berbagai konflik, pun bila semua berkehendak baik.

Jadi, Sartre melihat inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain (yang ada di luar dirinya) dalam pusat ”dunia”-nya. Setiap perjumpaan dan komunikasi dengan orang lain merupakan ancaman bagi eksistensinya.



[1] Berita mengenai kekerasan terhadap warga Ahmadiyah ini saya unduh dari TEMPO Interaktif http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2011/02/08/brk

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t