Langsung ke konten utama

Heidegger dan Problema Onto-Theologi


Melalui pertanyaan: What is religion? John Peacocke berusaha menelaah kemendalaman pemikiran Heidegger. dalam “Heidegger and The Problem of Onto-Theologis”. Permasalahan ontotheologis akan mengawali pembahassan ini, diikuti dengan Nietzsche sebagai ontotheologi terakhir, kemudian Teologi dan Thinking, serta diakhiri dengan Meditative Thinking, dan What is Religion?.

Heidegger dan permasalahan Ontotheologis

Heidegger mengeritik metafisika Barat, sejak Socrates hingga Nietzsche. Metafisika Barat berpretensi mencari asal-asul dari “beings” dengan berangkat dari pertanyaan: mengapa ada sesuatu daripada tidak? Pertanyaan ini akan terus memunculkan pertanyaan, hingga pada akhirnya mempertanyakan Being sebagai Ada yang paling dasar (ground).
Dalam pertanyaan tersebut, spekulasi (thinking) metafisis Barat mempribadikan Being pada Causa Sui, yang adalah dasar segala sesuatu. Causa sui dalam agama Kristen, disebut sebagai Tuhan (God). Untuk sampai pada jawaban tersebut, Thinking menggunakan logika untuk mencari sebab (reason) dan pada akhirnya mengarah kepada pertanyaan metafisis, apa itu sebab terakhir?. Melalui logika, Being seolah-olah menjadi terang dan jelas, sebab thinking dalam hal ini tidak lain daripada ke-tak-tersembunyian berbagai pemikiran. Hal ini akhirnya menyebabkan penyingkiran irasionalisme dan penyerupaan thinking dengan rationalitas.
Inilah metafisika Barat yang menurut Heidegger merupakan ‘Ontotheologi’. Metafisika yang dimulai sejak Descartes dan berakhir dengan kritik ontotheologis Heidegger; berakar dari filsafat Yunani dan memuncak pada Nietzsche.
Dalam pandangan Heidegger, pertanyaan mendasar dalam metafisika ‘mengapa tidak ada sesuatu?’. Bagi Heidegger ini adalah pertanyaan tentang Being yang sebenarnya. Pertanyaan metafisika Barat yang menanyakan adanya sesuatu berujung pada ‘a forgetting of Being’ (suatu pelupaan akan Being). Dalam hal ini, thinking diidentikkan dengan rationalitas yang berusaha memberikan argumentasi dan penjelasan sehingga perhatian difokuskan hanya pada dimensi yang tampak dari Being . Keadaan ini menutup kemungkinan kepada irasionalisme.
Heidegger berpandangan bahwa Being merupakan suatu yang selalu terbuka terhadap berbagai pertanyaan. Artinya bahwa dalam kegiatan memikirkan (thinking) Being, ada dimensi yang belum terpikirkan atau tidak tampak (untought). Unthought mengindikasikan adanya bagian irasionalitas yang belum tersingkap. Oleh karena itu, unthougt tidak dapat disebut sebagai suatu kekurangan yang inheren dalam thinking. Thinking dalam pengertian Heidegger masih terbuka terhadap kekuatan irasionalisme.

Nietzche sebagai Ontoteologi terakhir

Dalam pemikiran Heidegger, Nietzsche merupakan pemikir terakhir dalam sejarah metafisika Barat. Ia dengan lantang menyerukan suatu perubahan penting dalam dunia filsafat melalui perkataanya yang terkenal; “God is dead”
Dalam seruannya “God is dead” itu, God yang dirujuk Nietzsche adalah nilai-nilai serta ideal-ideal yang dilandasi oleh konsep-konsep Kristianitas. Melalui seruan itu pula Nietzsche mengungkapkan kekacauan dalam kehidupan dunia (superabundant life). Dunia yang kacau tersebut harus dihadapi manusia dengan merevaluasi nilai-nilai melalui ‘kehendak kuasa’(will to power). Dalam hal ini, Nietzsche menolak untuk tunduk kepada nilai-nilai Kristianitas, sehingga kematian Tuhan yang dimaksud oleh Nietzsche adalah keadaan akan hilangnya (devaluasi) nilai-nilai; zaman nihilism.
Dengan pandangannya ini, Nietzsche mengobrak-abrik filsafat yang dibangun sejak zaman Yunani. “The real world” yang adalah idea-idea—kebenaran atau ketepatan antara derajat pengetahuan dan objeknya—dari pemikiran Platon dan kemudian diadobsi oleh Kristianitas pada akhirnya hanya menjadi sebuah mitos. Pandangan Nietzsche meruntuhkan konsep idea-idea tersebut, namun juga sekaligus mau menunjukkan dua komponen yang menjadi elemen penting dalam metafisika Barat yakni nilai (value) dan dasar (ground).
Heidegger menilai bahwa Platon yang melalui konsep-konsep idea-ideanya sebagai aletheia menjadi akar dari kesalahan metafisika Barat. Menurut Heidegger, Being meskipun akan tampak dalam beings tetapi tidak pernah terungkap secara utuh. Dengan menunjukkan bahwa kebenaran adalah ketaktersembunyian yang paling akhir, Platon sebenarnya mereduksi Being itu sendiri. Dalam hal ini, Nietzsche tidak berbeda jauh dari Platon sebab Nietzsche sebenarnya mereduksi Being ke dalam nilai-nilai sehingga ia masih termasuk dalam tradisi onto-teologi. Jadi, bagi Heidegger, Nietzsche masih termasuk pemikir onto-teologis sebab dalam pemikiran Nietzsche, thinking masih direduksi ke dalam pengaruh rasionalitas.

Teologi dalam keterkaitannya dengan Thinking

Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan serta relasinya dengan manusia dan dunia. Karena itu teologi merupakan sebuah perumusan secara sistematis tentang Allah dalamn logos (kesadaran, rasionalitas). Heidegger menilai bahwa konsep teologi sebagai ilmu yang menggunakan rationalitas memiliki dua dampak.
Pertama, teologi sebagai positive sains disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain. Kesulitan yang muncul kemudian ialah ketidakpastian akan kemungkinan ‘Tuhan’ sebagai objek kajian dari teologi. Menurut Heidegger, teologi merupakan penegasan suatu peristiwa pewahyuan dalam sejarah yang dirumuskan secara sistematik. Sejarah dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu peristiwa yang kemudian berkembang menjadi iman dari suatu komunitas, sehingga teologi dilihat sebagai suatu usaha untuk meneruskan iman tersebut secara sistematis.
Kedua, menurut Heidegger, berteologi tak lain dari memikirkan hal-hal khusus yang nyata dalam teologi sesuai dengan tuntutan iman. Oleh sebab itu, dalam teologi sebenarnya tidak ada kebebasan berpikir (thinking).
Dengan demikian, Heidegger menyimpulkan bahwa filsafat Kristiani adalah sesuatu yang tidak mungkin. Heidegger kemudian memisahkan teologi dan filsafat. Dapat disimpulkan bahwa menurut Heidegger, teologi bukan thinking, sebab teologi didasari pada iman, maka tidak ada kebebasan thinking serta objeknya tidak jelas.

MeditativeThinking

Thinking dalam logosentrisme filsafat Barat terkait erat dengan tekhnologi. Dari sudut pandang “thinking” (tekhnologi) ini, dunia dilihat sebagai sumber daya yang menopang. Being hadir hanya sebagai bantuan yang menopang industry dan teknologi. “Thinking” yang berkharakter calculative ini bukan thinking sebagaimana yang dimaksudkan oleh Heidegger.
Thinking dalam pandangan Heidegger adalah meditative thinking (pemikiran meditative) yang merupakan negasi dari thinking dalam logosentrisme Barat. Sifat dasar dari meditative thinking adalah ketenangan (serenity). Meditative thinking merupakan suatu proses mendengarkan panggilan Being dan menyerapnya sebagai bagian dari diri lalu mentaatinya. Inilah yang disebut sebagai mendengarkan secara otentik (otentik hearing). Prinsip dasar dari meditative thinking adalah kesalehan, mau menerima, dan memberikan rasa hormat serta ucapan syukur atau pujian atas datangnya panggilan tersebut.

What is Religion?

Menurut John Peacocke religion tidak dapat disamakan dengan teologi. Religion tidak terbelenggu dalam rasionalitas dan reason, akan tetapi essensi dasarnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
Religious thinking adalah berpikir tentang kebenaran Being yang tercermin dalam meditasi yang paling dalam. Religius thinking ini tidak lain adalah suatu pencarian religious yang mengantar kita kepada apa yang-luhur. Jadi, thinking yang dimaksudkan oleh Heidegger merupakan ‘essensi dari religion itu sendiri’.

Catatan Akhir

Heidegger, melalui permasalahan onto-theologis mencoba membuka pemikiran yang dimandekkan oleh Metafisika filsafat Barat. Metafisika yang lahir sejak zaman Yunani Kuno hingga pemikiran Nietzsche bersifat tidak memadai ketika mereduksi thinking kepada rasionalitas belaka. Padahal, thinking meliputi irasionalitas; yakni unthought. Heidegger kemudian juga menunjukkan bahwa theology bukanlah suatu thinking, terpisah dari filsafat dan juga ilmu-ilmu lain. Dengan demikian filsafat kristiani menjadi tidak mungkin. Heidegger juga melihat bahwa, Logosentrisme filsafat Barat yang berkharakter calculative tidak memadai dalam kategori thinking. Dalam kaitannya itu, Heidegger menawarkan suatu meditative thinking, sebagai negasi dari thinking dalam logosentrisme Barat. Pada akhirnya, menurut Peacocke thinking yang dimaksud oleh Heidegger itulah yang merupakan essensi dari religion.
Ada dua tanggapan kritis John Peacocke atas pemikiran Heidegger. Pertama, ada yang menilai bahwa Heidegger mirip dengan Nietzsche, namun John melihat bahwa tetap ada perbedaan antara keduanya, sebab Heidegger memikirkan tiadanya Tuhan justru lebih menguatkan kemungkinan tentang adanya Tuhan, ia tidak mampu untuk hidup tanpa Tuhan. Kedua, Heidegger mencari eksistensi Tuhan melalui meditative thinking, namun sia-sia. Hal ini disebabkan karena meditative thinking hanya sebuah keterbukaan kepada misteri yang mana pada akhirnya membawa kembali kepada spekulasi metafisis ontoteologis. Ketiga, John yakin bahwa meditative thinking dalam pandangan Heidegger sama dengan apa yang disebutnya sebagai religious thinking.

Disarikan dari Teks Kuliah 'Metafisika', STF Driyarkara, 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t