Hubungan negara dan agama telah menjadi suatu perdebatan yang cukup hangat dalam sejarah dan kancah perpolitikan di Indonesia. Wacana hubungan negara dan agama terjadi di kalangan politikus dan tokoh masyarakat. Relasi agama dan negara sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut.
Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis, namun di saat yang lain mengalami ketegangan sebagaimana tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun 1950-1960. Polemik memperlihatkan adanya suatu perbedaan pendapat tentang hubungan negara dan agama di Indonesia.
Perbedaan ini melahirkan ketegangan-ketegangan politik ideologi. Polemik tentang secular state menunjukkan fakta bahwa relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya dan juga sekaligus memperlihatkan bahwa persoalan hubungan negara dan agama menjadi bidang kajian yang penting atas beberapa alasan.
Pertama, hubungan negara dan agama telah menjadi perdebatan panjang untuk menentukan batasan-batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam urusan agama. Hubungan negara dan agama ini memperlihatkan tingkat otonomi dan pengakuan agama sebagai hak asasi individual yang urusannya diserahkan pada lembaga-lembaga agama yang bebas dan otonom. Hubungan ini memperlihatkan tingkat otoritas individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk mengatur sendiri peribadatan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal tersebut sangat penting untuk dikaji dalam konteks Indonesia yang memiliki dasar-dasar berpikir berbeda dalam melihat peran dan fungsi negara dalam kehidupan publik.
Kedua, perdebatan mengenai hubungan negara dan agama menjadi penting karena persoalan ini merupakan gejala masyarakat yang berakar dari permasalahan lahirnya gerakan sekularisasi dalam sejarah pemikiran barat. Perdebatan tentang hubungan negara dan agama juga melahirkan pemikiran atau teori yang dapat menerangkan hubungan negara dan agama dalam pemikiran politik moderen. Dalam konteks ke-Indonesiaan perdebatan ini juga mendapat perhatian yang sangat serius, terutama di awal pembentukan negara (nation state) Indonesia oleh para pendiri negara (founding fathers).
Hubungan negara dan agama seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur. Dan, agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya; diperlukan diskusi terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.
Pertama, hubungan negara dan agama telah menjadi perdebatan panjang untuk menentukan batasan-batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam urusan agama. Hubungan negara dan agama ini memperlihatkan tingkat otonomi dan pengakuan agama sebagai hak asasi individual yang urusannya diserahkan pada lembaga-lembaga agama yang bebas dan otonom. Hubungan ini memperlihatkan tingkat otoritas individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk mengatur sendiri peribadatan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal tersebut sangat penting untuk dikaji dalam konteks Indonesia yang memiliki dasar-dasar berpikir berbeda dalam melihat peran dan fungsi negara dalam kehidupan publik.
Kedua, perdebatan mengenai hubungan negara dan agama menjadi penting karena persoalan ini merupakan gejala masyarakat yang berakar dari permasalahan lahirnya gerakan sekularisasi dalam sejarah pemikiran barat. Perdebatan tentang hubungan negara dan agama juga melahirkan pemikiran atau teori yang dapat menerangkan hubungan negara dan agama dalam pemikiran politik moderen. Dalam konteks ke-Indonesiaan perdebatan ini juga mendapat perhatian yang sangat serius, terutama di awal pembentukan negara (nation state) Indonesia oleh para pendiri negara (founding fathers).
Hubungan negara dan agama seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur. Dan, agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya; diperlukan diskusi terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.
Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Istilah Sekularisme
Pembahasan hubungan negara dan agama tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tentang sekularisme dan negara sekular. Sekularisme menjadi salah satu pemahaman yang menggambarkan ’relasi ideal’ antar negara dan agama.Sekularisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu.
Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.
Istilah sekularisme pertama kali digunakan oleh penulis Inggris George Holoyake pada tahun 1846. Walaupun istilah yang digunakannya adalah baru, konsep kebebasan berpikir yang darinya sekularisme didasarkan, telah ada sepanjang sejarah. Ide-ide sekular yang menyangkut pemisahan filsafat dan agama dapat dirunut baik ke Ibnu Rushdi dan aliran filsafat Averoisme.
Holyoake menggunakan istilah sekularisme untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah kepercayaan beragama. Sebagai seorang agnostik, Holyoake berpendapat bahwa "sekularisme bukanlah argumen melawan Kekristenan namun terpisah dari itu. Sekularisme tidak mengatakan bahwa tidak ada tuntunan atau penerangan dari ideologi lain, namun memelihara bahwa ada penerangan dan tuntunan di dalam kebenaran sekular, yang kondisi dan sanksinya berdiri secara mandiri dan berlaku selamanya. Pengetahuan sekular adalah pengetahuan yang didirikan di dalam hidup ini, berhubungan dengan hidup ini, membantu tercapainya kesejahteraan di dunia ini, dan dapat diuji oleh pengalaman di dunia ini."
Sekularisme, di saat telah berkembang pesat dan menguasai kehidupan politik, akan melahirkan pemikiran mengenai negara sekular. Negara sekular merupakan negara yang memisahkan hubungan negara dan agama. Negara sekular dapat digolongkan menjadi tiga macam mode, yakni; pertama, model paling ekstrim adalah negara yang dalam kehidupan sosial politik kenegaraan anti sama sekali dengan agama; kedua, yakni negara berupaya untuk mengadakan pemisahan secara tegas hubungan negara dan agama—negara tidak campur tangan dalam urusan keagamaan, karena merupakan privasi individu; dan ketiga, yaitu negara sekular yang mempunyai kepentingan terhadap agama, dimana negara berkepentingan untuk menciptakan iklim kehidupan yang religius.
Dalam tiga dekade terakhir, terjadi perdebatan hangat mengenai persoalan sekularisasi di antara para ilmuwan. Kesulitan untuk mencapai kesepahaman dalam karya empiris dan tafsir tentang sekularisasi—kesepahaman tentang apa itu sekularisasi dan bagaimana mengukurnya—menjadi persoalan utama yang didiskusikan. Belum lagi, di satu pihak beberapa ilmuwan menyatakan bahwa dunia kita sedang menuju kepada satu titik di mana agama tradisional tak lagi punya tempat; masa depan umat manusia adalah masa depan dunia sekular, masa depan sekularisme (Weber, Durkheim, dan Compte). Di pihak lain beberapa ilmuwan menyatakan bahwa tesis tentang sekularisasi tak lagi bisa dipertahankan; dunia kita bukannya sedang mengarah kepada satu titik yang sekuler, melainkan mengarah pada kebangkitan agama (Peter Berger).
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
b. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila dan UUD 1945
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna , antara lain:Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Penataan Hubungan antara Agama dan Negara
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan, karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agama-agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilainya secara baik dan benar. Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar hubungan simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan.
Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara.
Ketegangan Hubungan antara Agama dan Negara
Ketegangan hubungan antara agama dan negara terjadi manakala di antara keduanya tidak terjadi hubungan yang simbiosis-mutualistis dan saling checks and balances. Dalam hubungan seperti itu dimisalkan ketika negara tidak memberikan kemerdekaan kepada warganya untuk beribadat sesuai dengan agamanya masing-masing, atau sebaliknya agama menganggap negara menutup diri terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam situasi seperti itu, terbuka peluang agama cenderung berupaya mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi atau negara melakukan represi terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama berkaitan dengan keadilan dan persamaan hak asasi manusia.
Hal itulah yang terjadi di banyak negara di dunia ketika negara tidak mampu mengakomodir nilai-nilai religus agama. Agar ketegangan di atas tidak terjadi di Indonesia, maka aparatur negara harus menyadari bahwa dalam mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai keagamaan, sementara itu tokoh agama harus menyadari bahwa dalam melakukan internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai-nilai demokrasi, persatuan, dan persaudaraan.
Indonesia Merupakan Negara Agamis
Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita tidak cukup lagi mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan ”bukan negara sekuler” sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Sebab pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan negara sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk memposisikan ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar negara.
Indonesia adalah negara agamis. Negara agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama Merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan nilai-nilai substansial dari beberapa agama.
Negara agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara sekuler menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa), maka negara agamis justru sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara agamis yang dianut Indonesia justru menempatkan agama-agama pada posisi yang tinggi, sehingga dalam konstitusi dirumuskan menjadi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Epilog
Negara agamis yang dianut Indonesia justru menempatkan agama-agama pada posisi yang tinggi, sehingga dalam konstitusi dirumuskan menjadi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Untuk itu, agama-agama di Indonesia harus memanfaatkan rumusan konstitusi itu untuk memasukkan prinsip-prinsip keagamaan terutama prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan negara. Dengan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, persatuan dan persaudaraan antar komponen bangsa akan tetap terjaga, sehingga memantapkan posisi agama-agama di Indonesia sebagai ”kerohanian yang dalam” yang menopang kohesi sosial, daya tahan, dan keutuhan NKRI.
***
Daftar Pustaka
Abuddin Nata (edt). Problematika Politik Islam di Indonesia. Jakarta:Grasindo, 2002.
D. Hendropuspito, O.C.. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
J.B. Hari Kustanto, Sekularisasi; stensilan sosiologi agama. Jakarta: STF Driyarkara, 2009.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Robert John Ackerman. Agama Sebagai Kritik. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1991.
Satya Arinanto, Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997.
Yudi Latif, Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
http//:www.wikipedia.com
http//:www.jaringanislamliberal.co.id
***
Daftar Pustaka
Abuddin Nata (edt). Problematika Politik Islam di Indonesia. Jakarta:Grasindo, 2002.
D. Hendropuspito, O.C.. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
J.B. Hari Kustanto, Sekularisasi; stensilan sosiologi agama. Jakarta: STF Driyarkara, 2009.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Robert John Ackerman. Agama Sebagai Kritik. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1991.
Satya Arinanto, Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila, Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997.
Yudi Latif, Peta Jalan Mewujudkan Cita-Cita Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
http//:www.wikipedia.com
http//:www.jaringanislamliberal.co.id
BalasHapusInilah Saatnya Menang Bersama Legenda QQ
Situs Impian Para pecinta dan peminat Taruhan Online !!!
Kami Hadirkan 7 Permainan 100% FairPlay :
- Domino99
- BandarQ
- Poker
- AduQ
- Capsa Susun
- Bandar Poker
- Sakong Online
Fasilitas BANK yang di sediakan :
- BCA
- Mandiri
- BNI
- BRI
- Danamon
Tunggu apalagi Boss !!! langsung daftarkan diri anda di Legenda QQ
Ubah mimpi anda menjadi kenyataan bersama kami !!!
Dengan Minimal Deposit dan Raih WD sebesar" nya !!!
Contact Us :
+ website : legendapelangi.com
+ Skype : Legenda QQ
+ BBM : 2AE190C9