Langsung ke konten utama

Menapak Jejak di Puncak Merbabu




“Ayo cuiy, kita jalan lagi! Semangat…! Kita pasti bisa nyampe puncak…! Tampang sangar, brewokan, tubuh kekar, tapi kok manja…!? Ntar malu lho… jauh-jauh dari Jakarta tapi ga bisa muncak…!”

Dalam Ekspedisi Merbabu (25-29 Maret 2009), seruan di atas seakan menjadi slogan. Rangkaian kata-kata bernada canda dan mengundang tawa—sekurang-kurangnya senyuman—macam itulah yang menjadi semacam minuman penyegar bagi kami, para Jeladers (sebutan untuk para anggota Jelajah Alam Driyarkara). 
Ajakan bermuatan semangat itu mencoba untuk menyegarkan kembali asa kami dalam menggapai puncak. Apalagi ketika beberapa orang di antara kami mulai meragukan diri, yang secara fisik lelah dan dalam kondisi itu secara mental mereka tertekan. Dalam balutan suhu udara pegunungan yang mungkin hanya sisa satu digit angka dan derasnya badai angin, beberapa kawan merasa tidak sanggup untuk melanjutkan pendakian. Jalur pendakian yang cukup menyulitkan dengan kemiringan + 60o, gelapnya malam, dan deru angin deras yang lebih menyerupai bunyi ombak di pantai mengusik ketenangan sekaligus menambah ketegangan perjalanan kami. Sehingga aku tak heran mendengar celotehan seorang teman yang sesenggakan berkata; ”seandainya Merbabu ini orang, gw udah pukul dari tadi!”

Sekilas tentang Jeladri

Jeladri merupakan salah satu wadah bagi para mahasiswa/i dalam mengekpresikan kebebasannya terhadap alam. Bagi jeladers, alam yang kita pijaki ini, bukan untuk ditaklukkan. Alam sendirilah yang membuka dirinya bagi kita, yang ingin menemukan makna diri kita dalam keagungannya terlebih keagungan Sang Penciptanya. Kiranya semangat itulah yang coba untuk dibangun, dibina dan dihidupi oleh jeladers selama ini. 
Jeladri goes to Merbabu
Ekspedisi Merbabu ini merupakan bagian dari program kerja Jeladri dalam tahun ajaran 2008/2009 ini. Setelah pada akhir September 2008 melaksanakan aksi cleaning the root action in Mount Salak, Jawa Barat, kali ini Jeladri mencoba bersahabat dengan alam Gunung Merbabu, di Jawa Tengah. 
Ekspedisi kali ini diikuti oleh 21 orang. Sembilan belas orang diantaranya terdiri dari anggota senior dan anggota baru Jeladri. Sedangkan dua lainnya merupakan partisipan yang sekaligus berperan sebagai guide. Ekspedisi Merbabu ini diketuai oleh saudara Steve dan dibantu oleh saudara Adit sebagai wakilnya.

Merbabu...oh...Mer-babes 

Gunung Merbabu, dengan ketinggian 3142 meter di atas permukaan laut, terletak di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Posisinya tepat berdampingan dengan Gunung Merapi. Merbabu, dari perkataan teman-teman yang kudengar sebelum pendakian, merupakan gunung yang indah dengan banyak pemandangan menarik. Jalur pendakiannya pun tergolong cukup mudah untuk didaki. Jalurnya tidak berat dengan tanjakan yang cukup landai serta jarak yang tidak terlalu jauh; kenyataan ini melekat erat dalam alam pikiranku, sehingga aku tak heran ketika mendengar kesaksian seorang wanita yang pernah muncak (mencapai puncak gunung) di Gunung Merbabu. ”Dia aja bisa... masa gw ngga!” Mungkin itulah pernyataan sinis yang mengusik kesadaranku ketika mendaki Gunung Merbabu. Kedengarannya memang cenderung meremehkan—bahkan angkuh—dan bias Gender, namun dengan beberapa pengalaman pendakian rasanya aku bisa muncak.
Ternyata tidak semua yang kudengar sebelum pendakian terbukti benar—setidaknya menurut apa yang kulihat, kudengar dan kurasa—. Aku setuju dengan cerita teman-teman bahwa Gunung Merbabu adalah gunung yang indah, bahkan menjadi gunung terindah diantara beberapa gunung yang pernah kudaki. Pemandangan alam yang indah dengan pohon-pohon besar, tumbuhan-tumbuhan hijau, dan padang edelweis di tengah hamparan sabana menghadirkan khazanah surgawi di dalam hati dan benakku. Apa yang kulihat, kudengar dan kurasa memberikan rasa tersendiri yang terekam jelas dalam diriku. Mungkin dari situlah pancaran ke-Agung-an Yang Ilahi terpancar jelas, sehingga terasa berat untuk meninggalkannya.
Namun, dibalik keindahannya, Gunung Merbabu nampak begitu ”cadas” (bac.sangar) dengan jalur yang cukup panjang dan tanjakan-tanjakan curam. Memang, dari beberapa pengalamanku, jalur ini bukanlah jalur yang terberat yang pernah kulalui. Tetapi, jalur ini mungkin terasa berat karena kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Badai besar plus suhu udara rendah membuat kami kewalahan dalam ekspedisi kali ini. 
Gelapnya malam membuat kami harus berjalan extra waspada. Apalagi keadaan itu dilengkapi dengan jalur menanjak yang cukup terjal, yang memaksa betis-betis para Jeladers bekerja keras. Sehingga tak jarang terdengar keluhan-keluhan di antara kami. Bahkan dalam ekspedisi ini seorang teman, yang berdasarkan pengalaman ekspedisi-ekspedisi sebelumnya aku nilai sangat kokoh, untuk pertama kalinya mengeluh kedinginan di hadapanku. Dalam kondisi kedinginan ia merapat disampingku dan sambil mendekapku ia berkata: ”Bos...! dingin sekali!” Mendengar itu, tawaku langsung meledak, memecah iringan deru angin. Teman-teman yang lain pun ikut memadu suara dalam tawa renyah yang sedari awal pendakian jarang terdengar. Namun, teman yang dalam dekapanku terasa kuat getarannya itu tak merespon sapaanku. Hal itu spontan membuatku khawatir. Aku takut dia terkena hypotermia dan tak sadarkan diri karena tak kuasa menahan rasa dingin yang sunguh-sungguh menusuk. Seketika beberapa teman lainnya merapat untuk mencoba meberikan rasa hangat padanya. Tapi tak lama berselang, ia akhirnya mengangkat kepalanya yang sedari tadi melekat erat dalam balutan jaket. Dari wajahnya yang sangar terbit seulas senyum yang cute. Spontan hal ini menimbulkan riuh tawa diantara kami.
Mungkin, dalam kondisi seperti itulah kami—setidaknya berdasarkan apa yang aku lihat, dengar dan rasakan—menyadari pentingnya kehadiran seorang teman. Kami tahu bahwa dalam suatu ekspedisi, kesiapan fisik dan mental yang prima menjadi hal yang sangat penting. Namun, ketika masuk dalam situasi kenyataan di luar perencanaan, kehadiran teman menajadi sangat vital. Dalam kebersamaan kami berbagi bersama untuk suatu tujuan yang sama, yakni menuju puncak.

Menuju Puncak

Berbicara tentang puncak, aku teringat akan kata-kata seorang senior di Jeladri. Waktu itu dia berkata: “there is no shortcut to the top!”Ya… kuakui itu memang benar. Tidak ada, bahkan tidak akan pernah ada jalan pintas menuju puncak. Satu-satunya jalan adalah jalan yang saat itu kami tapaki. Hanya ada itu dan harus diselesaikan. 
Keteguhan kami dalam upaya menggapai puncak Merbabu akhirnya membuahkan hasil. Kami sampai menapakkan kaki kami di puncak Merbabu. Semua keluhan, ocehan, dan harapan melebur jadi satu rasa puas, nikmat. Kenikmatan ”muncak” yang sulit kuungkapkan berpadu dengan rasa bahagia dan bangga. Mereka seakan memenuhi hati dan benakku, dan aku rasa semua teman mengalami hal yang sama. Ada rasa haru di sana. Spontan aku berpikir, bahwa proses ternyata mempengaruhi hasil. Semakin sulit jalan yang kulalui, semakin besar hasil yang kudapatkan. Mungkin hal ini menjadi dasar refleksiku untuk menghadapi kehidupan yang penuh proses instant.
Lebih lagi, kepuasan yang tak terdefinisikan inilah yang mungkin menjadi jawaban atas berbagai keraguan—atau lebih tepatnya kesinisan—orang-orang disekitarku, yang mempertanyakan motivasiku mengkuti kegiatan ini. ”Apa enaknya sih?” atau ”Datang jauh-jauh dari kampung, tapi masih aja nyari gunung!”, menjadi pertanyaan yang seringkali memojokkan niatku. Menjawab keraguan itu, hal pertama yang perlu diketahui adalah bahwa kegiatan ini merupakan sarana untuk menyalurkan hobi bagi mereka yang suka berpetualang, menghadapi tantangan dan ingin lebih dekat dengan alam.
Di samping itu, dalam suatu ekspedisi—selain pengalaman “muncak” yang penuh kepuasan—menyimpan berbagai kekayaan refleksi dari nilai-nilai kehidupan. Ekdpedisi bukan sekedar berjalan-jalan atau mendaki gunung. Di dalamnya dituntut suatu kerja tim, perencanaan, kewaspadaan tinggi dan semangat untuk terus berharap. Lebih dari itu, suatu ekspedisi menghantar setiap pribadi untuk lebih dekat pada alam yang hadir dengan tatanan dan aturannya sendiri dan juga lebih dekat dengan pribadi sendiri. Hal terakhir inilah yang wajib disadari oleh setiap pendaki, karena dalam suatu pendakian—dari pengalamanku—sebagian jati diri terungkap. Dalam situasi dimana kesiapan fisik dan mental ditempa, kepribadian asli seseorang nampak secara nyata. Oleh karena itu, ekspedisi membantu setiap pribadi untuk lebih mengenal diri dan orang lain, serta pada akhirnya dapat mengembangkan diri. Dengan demikian, suatu pendakian dengan berbagai tahapnya—dengan rintangan dan tantangannya—, ibarat suatu upaya manusia untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan dalam hidup.

Pada akhir tulisan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk teman-teman Jeladers yang setia menemaniku dalam menapak jejak di Gunung Merbabu: Galuh (ketua Jeladri), Erwin, Peter, Jimmy, Julius, Lisa, Heron, Leo, Sandy, Rino, Adit, Steve, William, Yandi, Yadi, Triles, Edu, Santo; serta dua teman yang sudi menghantar kami menuju puncak: Cornel dan Ringga. Dan untuk teman-teman yang sehobi dan yang mau memahami kami...

Ketika kami sudah sampai di atas puncak gunung,
ketika kami sudah berada di antara awan,
ketika mata kami telah menatap cakrawala yang tak terbatas,
yang kami tahu adalah
tangan dan kaki kami masih terlalu pendek untuk menggapai matahari..

~Rarca


Kamar sempit, 4 April 2009.

Komentar

  1. no, hurufx digedein dikit biar mudah bacax...trus kalo tulisanx panjang, dipotong2 jd beberapa bagian ja...trus pilih warna2 di tata letak itu dong..tq

    BalasHapus
  2. tetap semangat menulis yg terbaik....sm seperti menaklukkan merbabu...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain ...

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi ...

Hermeneutika Schleiermacher

Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 – 1834) [1] Di dalam Hermeneutika Filosofis, Schleiermacher dipandang sebagai pelopor hermeneutika modern—meskipun ia sendiri sebenarnya bukanlah seorang filsuf, melainkan seorang teolog dan pendeta protestan. Schleiermacher yang melihat hermeneutika sebagai ‘seni-memahami’, membawa ‘pemahaman’ kepada suatu seni dalam disiplin pendidikan. [2] Di Jerman, teolog-filsuf Schleiermacher berupaya menyelamatkan Kristianitas dengan menginterpretasikannya sebagai agama perasaan dan intuisi atau sebagaimana ia katakan: the sense of infinite in the infinite . [3] Berkenaan dengan hal tersebut, Schleiermacher pun mengembangkan pemikirannya di bidang hermeneutika dan menjadi filsuf Jerman pertama yang merefleksikan secara serius suatu hermeneutika filsafat. Pewaris tradisi hermeneutika yang dibangun oleh Schleiermacher di Jerman antara lain Wilhelm Dilthey dan Max Weber. Untuk lebih mengenal dan memahami pribadi dan pemikiran hermeneutika Fri...