Pemikiran Driyarkara pun acap kali dijadikan suatu bahan kemenungan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah pemikiran Driyarkara dalam dunia pendidikan.
Baginya, pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda. Hal itu disebutnya sebagai “hominisasi dan humanisasi”. Konsep ini sekiranya dapat mencegah pendidikan yang berorientasikan gambaran manusia yang tidak fundamental.
Gambaran Driyarkara tentang pendidikan sebagai suatu aktivitas fundamental, pemanusiaan manusia muda kiranya merupakan suatu antisipasi yang efektif untuk meredam kecenderungan industrialisasi pendidikan.
Lantas bagaimana perjalanan hidup Driyarkara? Berikut ini rangkuman riwayatnya:
Patung Nicolaus Driyarkara di depan STF Driyarkara/Dok.-STF Driyarkara
Dari Jawa Tengah
Nicolaus Driyarkara dilahirkan di Pegunungan Menoreh, tepatnya di Desa Kedunggubah (kurang lebih 8 km sebelah timur Purworejo, Kedu), Jawa Tengah, pada 13 Juni 1913.
Driyarkara diberi nama Soehirman, tetapi biasa dipanggil Djenthu yang berarti kekar dan gemuk. Dia memilih nama Driyarkara saat masuk Girisonta pada 1935 atau ketika memulai hidup baru dalam Serikat Jesus.
Driyarkara dilahirkan sebagai anak bungsu dari keluarga Atmasendjaja. Driyarkara memiliki seorang kakak laki-laki dan dua orang kakak perempuan.
Semula Driyarkara masuk Volksschool dan Vervolgschool di Cangkrep. Diteruskan dengan HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Purworejo dan Malang.
Masuk Seminari dan Menjadi Jesuit
Pada 1929, Driyarkara masuk Seminari Menengah—sekolah menengah khusus untuk calon imam Katolik, setingkat SMP dan SMA dengan program humaniora Gymnasium di Belanda—. Setelah tamat sekolah menengah ini, dia mulai menempuh pendidikan tinggi untuk para calon imam dengan bergabung dengan tarekat religius Serikat Jesus (anggotanya sering disebut Jesuit atau SJ).
Pada saat itu Driyarkara menjalani dua tahun sekolah ascetika (kehidupan rohani), satu tahun humaniora (bahasa Latin, Yunani kuno serta sejarah kebudayaan Timur dan Barat) sebagai propedeusis untuk studi filsafat di Girisonta.
Sesudah itu selama tiga tahun ia belajar filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta yang waktu itu disebut Ignatius College. Semua ini dijalani antara tahun 1935-1941.
Sesudah menamatkan studi filsafatnya, Driyarkara menjadi guru Bahasa Latin dalam program humaniora di Girisonta selama satu tahun. Selama di Girisonta ini, dalam bulan Maret 1942 ia mengalami penyerahan tanpa syarat pemerintah Hindia Belanda kepada Bala Tentara Jepang.
Antara Tahun 1942-1943, Driyarkara belajar teologi di Kolese Muntilan bersama beberapa rekannya sesama Jesuit. Namun, pada Juli 1943, Kolese Muntilan ditutup oleh Bala Tentara Jepang. Oleh karena itu, Driyarkara sempat tinggal beberapa waktu di Mendut dekat Candi Borobudur.
Dari situ, dia dipanggil ke Yogyakarta berhubung para misionaris Belanda termasuk dosen-dosen filsafat, harus masuk interniran. Driyarkara ditugasi mengajar Filsafat.
Selama pendudukan Jepang dan dilanjutkan dua tahun lagi, yaitu sampai pertengahan tahun 1947, ia menjadi dosen filsafat pada Seminari Tinggi, Yogyakarta—Pendidikan Tinggi untuk imam Katolik, di mana mereka belajar filsafat 2 tahun dan teologi 4 tahun setelah mereka selesai pendidikan setingkat Gymnasium—.
Sementara itu, Driyarkara banyak belajar sendiri teologi sebagai persiapan untuk ditahbiskan menjadi imam Katolik. Tahbisan diberikan pada tanggal 6 Januari 1947 oleh Mgr. Soegijapranata SJ—yang berkedudukan di Semarang dan membawahi umat Katolik di sebagian Jawa Tengah dan seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta—.
Perjanjian Linggarjati, 15 November 1946, menyebabkan Mgr. Soegijapranata mengira bahwa sengketa antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda pada prinsipnya sudah dapat diatasi sehingga beliau bersama pimpinan Serikat Jesus di Indonesia menugasi Driyarkara untuk menyelesaikan studi teologinya di Maastricht, Belanda.
Studi ke Luar Negeri
Dengan berat hati, tidak tanpa pergumulan batin, hanya demi ketaatan, Driyarkara berangkat ke Belanda pada tanggal 24 Juli 1947. Setelah tamat teologi di Maastricht (1949), ia meneruskan pelajaran tentang kehidupan rohani di Drongen (dekat Gent), Belgia.
Kemudian pada tahun 1950-1952 ia melanjutkan studi filsafat program doktoral di Roma pada Universitas Gregoriana. Studi ini diakhiri dengan gelar doktor setelah Driyarkara mempertahankan disertasinya mengenai ajaran seorang filsuf Prancis, Nicolas Malebranche (1630-1715) dengan judul Participationis Cognitio In Existensia Dei Percipienda Secundum MalebranceUtrum Patrem Habeat yang dalam bahasa Indonesia oleh Driyarkara sendiri diterjemahkan: “Peranan Pengertian partisipasi dalam pengertian tentang Tuhan menurut Malebranche”.
Selama menyelesaikan disertasinya, Driyarkara masih menyempatkan diri mengirim tulisan-tulisan ringan—tetapi sesekali mempunyai makna yang dalam juga—untuk majalah dalam bahasa Jawa di Yogyakarta Praba dengan seri “Serat Saking Rome”.
Dari tulisannya dalam Praba yang terbit tanggal 11 November 1951, ia terbukti layak mendapat sebutan Djenthu. Dengan judul “Napels pralambanging kadojan sing larut” yang berarti “Napels simbol keduniawian yang lenyap”, dia mengisahkan bagaimana dirinya betul-betul menikmati pendakian gunung berapi tersohor di Italia yaitu Visuvio.
Driyarkara memang sudah ketagihan naik gunung setelah 10 tahun absen dari kegiatan ini. Tulisan NN dalam Kompas, 13 Februari 1967, menegaskannya “Sewaktu mudanya Pater Drijarkara justru termasuk orang yang kuat fisiknya. Teman-temannya selalu mengakui keunggulannya kalau naik-turun-gunung.”
Kembali ke Tanah Air dan Menjadi Pengajar
Sekembalinya ke tanah air, Driyarkara diangkat menjadi pengajar filsafat pada Ignatius College di Yogyakarta. Waktu PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata Dharma, Yogyakarta didirikan pada awal tahun ajaran 1955-1956, Driyarkara diangkat menjadi pimpinannya. PTPG ini kemudian berubah menjadi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), dan ia tetap menjadi dekannya.
Saat FKIP berubah menjadi IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), Driyarkara tetap menjadi rektornya sampai saat ia meninggal. Sejak tahun 1960 ia merangkap menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Universitas Indonesia dan Hasanuddin. Tahun 1963-1964 ia mengajar sebagai Guru Besar tamu pada St. Louis University di kota St. Louis, Missouri, USA.
Diawali dengan peranannya dalam simposium “Kebangkitan Angkatan 66” di Universitas Indonesia, Mei 1966, prasarannya dimuat dalam majalah Basis. Sejak itu bernama Prof. Dr. Slamet Iman Santoso dan Prof. Dr. Fuad Hassan, ia sering mengisi forum-forum diskusi tentang Pancasila.
Selaku anggota Tim Ideologi, Driyarkara juga diminta mengajar pada SESKOAD di Bandung dan SESKOAL di Cipulir. Pada bulan Desember 1966 diselenggarakan Praseminar Pancasila di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia yang merupakan awal kristalisasi kegiatan-kegiatan sebelumnya.
Pada 22 November November 1966, Driyarkara diusulkan menjadi Guru Besar Tetap pada Universitas Indonesia. Sejak tahun 1960, Driyarkara juga menjadi anggota MPRS. Tahun 1965 ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tetapi lembaga negara ini sudah sejak bulan Januari 1965 tidak pernah mengadakan rapat.
Setelah kejadian-kejadian sekitar 11 Maret 1966, Presiden membentuk DPA(S) baru. Driyarkara termasuk 18 orang yang menolak secara resmi pengangkatannya, dengan alasan bahwa selama menjadi anggota DPA tidak pernah dimintai nasihat, ditambah pertimbangan bahwa proses pengangkatan DPA(S) baru ini dinilainya berjalan di luar ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Pada 11 Februari 1967, Driyarkara dipanggil Tuhan untuk selama-lamanya dan dimakamkan di Tanah Abang, Jakarta. Beberapa tahun kemudian jasad Driyarkara dipindahkan ke Girisonta di Desa Karangjati dekat kota kecil Ungaran, di Jawa Tengah dan dimakamkan kembali di antara-rekan-rekan Jesuit lainnya.
Di sana pada tahun 1935, Driyarkara memulai hidupnya sebagai novis atau semacam cantrik selama dua tahun, menjalani latihan-latihan dan mengalami tempaan-tempaan. Setelah lulus dari latihan dan tempaan ini ia secara resmi dinyatakan menjadi anggota Jesuit.
Di sana pulalah Driyarkara akhirnya dimakamkan. Driyarkara datang dalam kesederhanaan dan kembali untuk menetap selama-lamanya dalam kesederhanaan pula.
Komentar
Posting Komentar