Langsung ke konten utama

Apa Kabar Perumahan Rakyat?


“Hanya dengan Rp3 miliar, Anda bisa mendapatkan hunian eksklusif ini. Daftarkan segera diri Anda. Jangan sampai kehabisan."
Kiranya rangkaian kata persuasif seperti itu sudah tidak asing di telinga massyarakat masa kini. Ya, saban hari tawaran dalam reklame properti tayang di stasiun televisi nasional.

Bisa dibayangkan. Mendengar nilai hunian yang ditawarkan, sebagian besar pemirsa pasti berdecak kagum. Namun, ternyata kalimat itu akan terasa ‘wajar’ mengingat sektor penyedia papan itu ternyata masih jadi pilihan investasi yang menarik.
Ya, sektor itu menarik, terutama bagi orang kaya atau orang super kaya di negeri ini yang jumlahnya terus bertumbuh dan diprediksi masih akan meningkat, berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi negara ini.

Berkaca pada data lembaga konsultan Knight Frank, The Wealth Report 2014 menujukkan rata-rata orang kaya Indonesia menjadikan sektor properti 30% dari portofolio investasinya. Bahkan pada 2013, 50% orang kaya meningkatkan porsi investasi di sektor itu.

Dari jumlah tersebut, rata-rata 24% aset orang super kaya Indonesia merupakan investasi dalam bentuk rumah, baik sebagai hunian pertama maupun hunian kedua. Sementara itu, 17% orang kaya tengah mempertimbangkan atau mempunyai rencana mengganti rumah dengan alasan bisnis, kualitas hidup, dan pendidikan.

Bagaimana dengan 2014?

Hasil riset itu juga menyebutkan 61% orang kaya mempertimbangkan porsi investasi di properti masih akan sama dengan tahun sebelumnya. Sementara, 33% lainnya meyakini akan adanya peningkatan. Hal ini didukung oleh keyakinan 61% orang kaya Indonesia akan prospek penciptaan kekayaan pada 2014 masih positif.

Bahkan, hasil riset itu menunjukkan 26% dari orang kaya di Indonesia memiliki rencana untuk membeli rumah kedua dalam kurun waktu 12 bulan mendatang. Tidak hanya di dalam negeri, tujuan investasi properti di luar negeri juga masih jadi pilihan. “Negara populer pertama untuk membeli atau investasi rumah kedua adalah Singapura. Kemudian Australia, Inggris dan Amerika,” tulis laporan tersebut.

Dan tidak hanya pada 2014, pilihan investasi properti bakal semakin prospektif seiring pertumbuhan jumlah orang kaya di Indonesia yang dalam 10 tahun ke depan diprediksi akan melonjak signifikan.

Associate Director Consultancy and Research Knight Frank Hasan Pamudji mengatakan pada 2013 jumlah orang kaya dengan penghasilan di atas US $30 juta [atau setara dengan Rp342 miliar] per tahun di dunia mencapai 38.000.

Dari jumlah tersebut, jelasnya, 834 orang berasal dari Indonesia. Menurutnya, jumlah tersebut diproyeksikan masih akan bertumbuh tinggi hingga 2023.

Hasan merincikan untuk kategori ultra high net worth individuals (UHNWIs) atau dengan penghasilan di atas US $30 juta, orang kaya Indonesia mencapai 626 pada 2013. Jumlah itu, jelasnya, diprediksikan meningkat 144% hingga 2023, yakni mencapai 1.527 atau tertinggi kedua di dunia, setelah Vietnam (166%).

Pada 2013, rang kaya Indonesia pada kategori centa-millionaires atau dengan penghasilan ratusan juta dollar per tahun mencapai 185 dan diprediksi meningkat 144% hingga 2023 atau juga di bawah Vietnam (167%).

“Yang billionaires [berpenghasilan miliaran dollar per tahun] di Indonesia ada 23 dan akan jadi 156 hingga 143%. Indonesia diprediksi paling tinggi peningkatannya,” ujarnya.

Menimbang seluruh prediksi berbasis data itu, rasa bangga sebagai orang Indonesia mungkin menjadi hal pertama yang muncul. Namun, kiranya tidak butuh waktu lama kenyataan itu juga menghadirkan ironi.

Prospektifnya sektor properti untuk investasi bagi orang ‘beruang’ di negeri ini ternyata masih dibayangi kelamnya kondisi kelangkaan hunian (backlog) bagi sebagian besar warga negeri yang kaya ini. Ya, kekurangan hunian itu bahkan diprediksi mencapai 15 juta unit pada 2013.

Miris memang. Selain rasa takjub, keprihatinan akan kondisi ini lah yang mungkin mengisi benak setiap orang sehabis mencerna muatan iklan properti di media-media nasional.

Ada apa dengan sektor industri yang menyediakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia itu?

Mengamati kondisi ini, Country Head of Knight Frank Indonesia Willson Kalip mengatakan permasalahan sosial itu tumbuh seiring prosepektifnya sektor properti nasional pada era keemasan dalam 2-3 tahun terakhir. Dalam masa itu, ujarnya, pertumbuhan industri perumahan melonjak dengan kenaikan harga signifikan yang mendorong tingkat imbal hasil properti.

“Hasilnya orang kaya makin kaya dan yang miskin tidak lagi mampu membeli rumah,” tegasnya.

Dengan kondisi itu, dia berharap dalam perlambatan pasar yang dinilainya sebagai fase konsolidasi pasar properti nasional pada saat ini, pemerintah bisa lebih memberikan campur tangan yang efektif di sektor penyediaan hunian.

Bukan untuk mengatur aliran permintaan dan penawaran hunian di sektor komersial menengah ke atas, Willson menuturkan pemerintah wajib untuk terlibat lebih jauh dalam penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Seperti yang dilakukan pemerintah Singapura, sebutnya, dalam menyediakan perumahan publik (public housing) bagi 85% penduduknya melalui Housing Development Board (HDB) atau lembaga perumahan nasional. Melalui peran aktif itu, tambah Willson, pemerintah juga dapat memelihara kestabilan harga guna meningkatkan pemenuhan kebutuhan hunian tersebut.

Komentar serupa diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda. Kenaikan harga properti yang tidak terkendali di sejumlah kawasan, katanya, menjadi hambatan dalam pemenuhan kebutuhan papan bagi masyarakat pada saat ini.

Dalam kondisi itu, dia menuturkan hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki badan perumahan yang khusus menangani pemenuhan hunian untuk rakyatnya. “Kementerian Perumahan Rakyat tidak bisa melaksanakannya karena terkait dengan otonomi daerah,” kata Ali.

Dia berharap pemerintah mesti meniru langkah negara tetangga Singapura dalam membentuk badan perumahan khusus guna menyediakan perumahan bagi rakyat. Dengan lembaga ini, jelasnya, para pengembang tidak bisa lagi menaikan harga terlalu tinggi karena harus bersaing dengan proyek HDB yang membanjiri pasar.

Kiranya senada dengan Willson dan Ali, sebagian besar masyarakat berharap banyak pada pemerintah dalam mengatasi permasalah backlog tersebut. Harapan itu terutama tertuju pada pemerintahan baru pascaperhelatan pemilihan umum nanti.

Pemerintahan yang sungguh-sungguh dapat memastikan kehadiran negara pada sektor perumahan rakyat.

Ya, bukan sekedar ada, tapi sungguh-sungguh hadir.

Tulisan yang sama pernah diterbitkan di koran BIsnis Indonesia, Maret 2014.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t