Langsung ke konten utama

Tarif Listrik Terus Genjot Biaya Operasional Ritel

Wacana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada 2014 kembali mengemuka pada akhir 2013. Sontak, rencana ini menjadi kabar kurang baik bagi perusahaan yang tengah mencicipi manisnya pengembangan pusat perbelanjaan.

Pasalnya, sebelum 2013 rencana penaikan TDL hingga 15%  dinilai sejumlah pihak menjadi ‘kerikil’ di tengah jalan mulus peningkatan sektor ritel di sejumlah daerah. Apalagi bagi mereka yang berdiam di DKI Jakarta, kebijakan tersebut semakin menjadi beban dengan ditetapkannya perubahan upah minimum provinsi (UMP).

Waktu berjalan dan PT Perusahaan Listrik Negara pun memberlakukan TDL baru sejak 1 Januari 2013. Penaikan ini dilaksanakan secara bertahap setiap 3 bulan dan hanya berlaku untuk golongan pelanggan 1300 VA ke atas.

Dan benar saja, hingga penghujung 2013—meskipun permintaan akan ruang ritel tengah melaju kencang—para pengembang dan pengelola pusat perbelanjaan di Jakarta mulai gerah dengan penaikan tersebut. Pasalnya, penaikan tersebut niscaya mengerek tinggi biaya operasional pusat perbelanjaan.

Komponen biaya operasional yang ditagihkan sebuah pusat perbelanjaan ke para penyewa (tenant) dalam bentuk service charge pada umumnya terdiri dari biaya listrik, biaya kebersihan dan keamanan, gaji karyawan, serta biaya promosi.

Direktur Ritel Ciputra Group, yang juga adalah mantan Wakil Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI), Sugwantono Tanto mengatakan pada umumnya sekitar 85% dari total biaya operasional pusat perbelanjaan dihabiskan untuk gaji karyawan dan biaya listrik.

Sedangkan, ujarnya, selama ini service charge yang dibebankan kepada tenant di kebanyakan mal hanya menutup kurang lebih 40% dari biaya operasional. Dengan kenaikan biaya operasional yang harus ditanggung pengelola tahun ini terlalu besar, sambungnya, maka mau tak mau pengelola menaikkan tarif service charge.

“Maka dari itu, jika TDL dan UMP naik, mau tidak mau service charge naik. Tapi tidak tiap 3 bu lan seperti rencana penaikan TDL tahun ini,” ujarnya pada April 2013 lalu.

Pada kuartal I/2013,  perusahaan riset properti Cushman & Wakefield Indonesia malaporkan kenaikan tarif service charge ruang ritel sewa di pusat perbelanjaan di Jakarta akibat penaikan tarif dasar listrik hampir mencapai10%.

Senior Manager Research and Advisory Cushman & Wikefield Indonesia Soany Gunawan menjelaskan tarif service charge ruang ritel di kawasan Jabodetabek pada saat itu telah mencapai Rp107.300/meter persegi/bulan.

“Tarif tersebut naik 10% dari kuartal lalu (kuartal IV/2012) yang hanya rerata Rp96.570/m2/bulan,” paparnya.

Memasuki paruh kedua 2013, Ketua Dewan Pembina APPBI Stefanus Ridwan bahkan menyatakan penaikan service charge akibat kenaikan tarif listrik selama semester I mencapai 28%. Kendati juga dipengaruhi oleh penaikan harga bahan bakar minya (BBM) bersubsidi,  dia menuturkan perubahan service charge tersebut sangat dipengaruhi oleh komponen listrik.

“Service charge ini tidak di pengaruhi oleh BBM, tapi lebih kepada listrik. Setiap ada kenaikan [tarif] listrik, ada ke naikan service charge,” ungkapnya pada Juli lalu.

Dalam hasil riset Colliers International Indonesia harga service charge pusat perbelanjaan di Jakarta pada kuartal II/2013 menunjukkan kenaikan 3,4% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, menjadi Rp88.120/m2/bulan. Sementara itu, untuk di Bodetabek naik 0,7% menjadi Rp63.179/m2/bulan.
Dengan penaikan tersebut, dia menambahkan pengelola pusat perbelanjaan tidak bisa sembarangan menaikkan tarif sewa dasar (base rent) ruang ritelnya.

“Kenaikan TDL yang berpengaruh besar terhadap nilai service charge, sehingga kalau tarif sewa dinaikkan lagi, tentu berat bagitenant,” terang Stefanus.

Memasuki penaikan TDL ke-4 pada Oktober 2013, akhirnya Ketua Umum APPBI Handaka Santosa memastikan tarif service charge pusat perbelanjaan akan mengalami kenaikan hingga 20% pada Januari 2014. Di samping penaikan TDL, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) juga direncanakan berlaku pada 2014.

Dia menyebutkan meskipun total kenaikan TDL secara bertahap medio Januari, April, Juli, dan Oktober disebutkan mencapai 15%,  berdasarkan hitungan dari APPBI, total kenaikan biaya operasional pusat perbelanjaan akibat penaikan TDL meningkat hingga 27,5% jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Secara lebih rinci, jelas Handaka, saat kenaikan TDL pada Januari2013, kenaikan biaya mencapai 10% dari sebelumnya. Biaya operasional kemudian kembali mengalami kenaikan pada April, yakni 5,11%, dan kembali meningkat 5,41% pada periode Juli tahun yang sama.

Kenaikan yang terjadi pada Oktober 2013 sebesar 4,62%, membuat total kenaikan biaya akibat peningkatan TDL sepanjang 2013 mencapai 27,5%.

Dan benar saja, memasuki 2014, beberapa pusat perbelanjaan bergegas meningkatkan service charge. Menurut Handaka, penaikan tarif tersebut berkisar antara 10%-20% dengan kisaran harga mulai dari Rp80.000 hingga Rp130.000 per meter persegi.

“Ada yang sudah menaikkan dan ada yang masih berencana. Sebagian besar kenaikan per awal Januari. Kenaikannya berbeda-beda. Tapi kisarannya 10%-20%. Itu tergantung dari masing-masing pusat perbelanjaan,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (8/1).

Dia menuturkan peningkatan service charge ini niscaya terjadi sebab sekitar 40%-60% biaya operasional terkait dengan penggunaan listrik pusat perbelanjaan.

Lantas, bagaimana dengan rencana pemerintah untuk menaikkan kembali TDL pada 2014?
Jika rencana tersebut terealiasi, pada tahun ini pengembang dan pengelola pusat perbelanjaan dihadapkan pada tugas untuk menyesuaikan biaya operasional dan harga sewa agar tidak merugi dan sekaligus tidak memberatkan tenant.

Satu solusi ditawarkan Handaka. Para pengembang pusat perbelanjaan mesti memikirikan bagaimana cara memproduksi listrik sendiri. Solusi lain, dia hanya berharap BUMN yang mengelola potensi daya listrik di negeri ini mengadakan efisiesni guna meredam penaikan TDL.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t