Sudah menjadi wacan umum perlambatan pasar real estate di Indonesia akan mendera 2014. Bahkan sedari awal kuartal IV/2013, perlambatan pertumbuhan sudah mengemuka.
Sebut saja pada akhir Juni 2013, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) telah mempengaruhi performa bisnis properti. Setelah itu, kondisi perekonomian yang kurang menentu berlanjut diiringi dengan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Tak sampai di situ, tekanan berlanjut dengan naiknya suku bunga acuan (BI Rate) yang hingga kini bertengger pada posisi 7,25%. Ada lagi Surat Edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP mengatur penjualan rumah dengan sistem pesan (inden) serta pembatasan uang muka (luan to value) bagi pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) kedua dan seterusnya yang membatasi KPR. Booming properti selama 3 tahun terakhir pun seolah mulai meredup.
Lantas bagaimana nasib investor real estate pada tahun baru ini? Salah satu jawaban yang kiranya bisa diberikan adalah pasar properti luar negeri. Namun, apakah kondisi pasar di luar negeri cukup meyakinkan untuk jadi alternatif tujuan investasi?
Sejauh ini, catatan manis telah ditorehkan para penanam modal asal Indonesia di luar negeri adalah di sektor properti. Tercatat sejumlah orang-orang kaya asal negeri ini telah malang-melintang menanamkan investasinya di produk properti mancanegara.
Maraknya pembelian properti ke luar negeri mulai terjadi saat krisis global pada 2008. Ketika harga properti di negara lain mengalami penurunan, warga negara Indonesia (WNI) gencar membeli properti di luar dengan tingkat keamanan tinggi (safe haven).
Ekspansi investor Indonesia sudah menyasar sejumlah negara sampai belahan bumi nan jauh. Bahkan, hingga ke Inggris dan Amerika. Kendati begitu, dua negara tetangga, Singapura dan Australia masih menjadi tujuan utama investor properti asal Indonesia.
Associate Director Consultancy and Research Knight Frank Hasan Pamudji menyatakan faktor kedekatan masih menjadi alasan utama pemilihan dua negara koloni Inggris tersebut. Sementara itu, pembelian produk properti di luar negeri tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhan bisnis atau pendidikan.
“Juga untuk kebutuhan berobat, terutama di Singapura,” ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (2/1).
Hasil riset dari Knight Frank pada 2013 lalu bahkan memperlihatkan ketertarikan masyarakat Indonesia untuk mulai berinvestasi pada properti mewah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Data tersebut mencatatat jumlah pencarian properti mewah dari Indonesia melalui situs konsultan tersebut meningkat 50% pada 2012 dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun, jenis properti yang dituju masih didominasi oleh kondominium dan rumah tapak dengan segmen menengah pada kisaran harga mulai dari S$1 juta–S$5 juta.
Walaupun begitu, memasuki 2014 Hasan memproyeksikan jumlah investasi properti ke luar negeri akan berkurang. Menurutnya, para pemilik modal masih akan menunggu kondisi menjadi lebih baik.
Pasalnya, keadaan ekonomi sejumlah negara terutama di Asia Pasifik juga belum cukup kondusif akibat kebijakan pengurangan stimulus moneter(tappering off) oleh bank sentral Amerika Serikat.
Di samping itu, ujarnya situasi politik di sejumlah negara juga terbilang belum membaik, antara lain di India dan Thailand. Belum lagi, pengetatan regulasi (colling measure) guna meredam kenaikan harga sudah diberlakukan di China, Singapura dan Hong Kong.
“Jadi, akan ada pengurangan. Berkurang atau paling tidak sama dari tahun sebelumnya. Sebab pembeli kita mungkin masih melihat. Masih wait and see, masih menunggu. Masih banyak ketidakpastian,” jelasnya.
Adapun khusus di Singapura, hasil riset Knight Frank mencatat persentase kontribusi kepemilikan properti oleh WNI mengalami kenaikan dari 23,56% pada 2011 menjadi 35,44% pada 2012, meski jumlah pembelian turun dari 1.781 transaksi menjadi 1.355 transaksi.
Namun, pembatasan bisnis properti oleh pemerintah Singapura pada 2013telah memicu rendahnya penjualan rumah dan memperlambat kenaikan harga properti. Pasar properti Singapura diprediksi terus melemah pada 2014 setelah pemerintah mengambil langkah untuk meredam kenaikan harga.
Kendati begitu, Hasan meyakini celah investasi ke luar negeri masih terbuka sebab setiap negara menawarkan segmen dan kharakteristik yang berbeda. Apalagi, di tengah kondisi pelemahan mata uang di Asia Pasifik, investasi properti menjadi sarana yang tepat.
Selain itu, paparnya, capital gain properti di luar negeri masih tetap tumbuh, kendati tidak setinggi sebelumnya.“Masalah kurs (nilai mata uang) selalu jadi keuntungan. Itu satu keuntungan tersendiri untuk investasi ke luar,” sebut Hasan.
SEGMEN MENENGAH BAWAH
Meskipun diproyeksi melambat, berinvestasi di Indonesia masih akan menguntungkan berdasarkan harga properti dan yield (imbal hasil) dibandingkan beberapa negara lain di Asia.
Dilansir dari situs Global Property Guide, Rabu (1/1), Indonesia masih mencatat imbal hasil sewa (gross rental yield) properti tahunan 7,05%. Lebih tinggi dibandingkan Singapura dan Australia yang masing-masing mencatat 2,41% dan 4,94%.
Situs tersebut juga menyebutkan, harga rumah di Indonesia terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya masih meningkat bahkan setelah berlakunya surat edaran BI. Data bank sentral Indonesia tersebut mencatat harga rumah dengan luas 36 meter persegi pada kuartal ketiga 2013meningkat paling tinggi mencapai 13,5% dibandingkan 2012. Otoritas moneter tersebut pun meyakini harga akan terus meningkat pada kuartal keempat.
Semakin meningkatnya harga bahan bangunan dan tingginya angka kelangkaan hunian (backlog) diproyeksi akan menyebabkan harga properti di Indonesia akan terus meningkat.
Lembaga pemeringkat dunia, Fitch Ratings baru-baru ini menyatakan dampak regulasi bank sentral pada 2014 akan berpengaruh terutama bagi segmen menengah dan menengah atas. Sementara itu, lembaga tersebut memproyeksi lebih dari 50% dari 250 juta penduduk Indonesia 30 tahun ke bawah akan potensial bagi penyera membeli rumah pertama mereka dalam waktu dekat.
Komentar
Posting Komentar