’
Dalam satu dasawarsa terakhir ini, sebagaimana diungkapkan oleh Setiono Sugiharto dalam artikelnya Understanding Students’ Rhetorical Tradition[1], ungkapan ‘pendidikan karakter’ menjadi perhatian utama, khususnya dalam dunia pendidikan kita. Kenyataan ini pada dasarnya didorong oleh situasi dunia pendidikan nasional yang dianggap tidak dapat mewujudkan visi pendidikan yang ‘benar’—masalah utamanya mengenai kebiasaan dalam mencontek dan mengcopy karya orang lain tanpa ijin—bagi para pelajar. Dalam hal ini, ‘pendidikan karakter’ dipercaya sebagai ‘obat mujarab’ bagi para pelajar untuk mulai melihat dan memahami pentingnya membinan ‘kejujuran akademik’.
Setiono Sugiharto dalam artikelnya kemudian mengungkapkan ‘pendidikan karakter’, yang juga telah tercantum dalam garis besar kurikulum nasional, tak mungkin menghasilkan hasil-hasil yang manjur bagi upaya peningkatan dunia pendidikan kita—berkaitan dengan hal ihwal ‘kejujuran akademik’—. Dia menyatakan bahwa sekurang-kuragnya ada dua alasan tepat yang mendasari asumsinya tersebut. Pertama, dunia akademik kita sangat terorientasi pada suatu ‘konsep-Barat’ tentang ‘kejujuran akademik’. Masalahnya ialah bahwa ‘kosep-Barat’ ini seringkali men-stereotype-kan ‘non-Barat’ dengan sifat khasnya yang tidak original dan kurang kreatif. Kedua,upaya-upaya menemukan solusi tepat bagi dunia pendidikan melalui praktek-praktek edukasi menurutnya tak dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi para pelajar. Jadi, menurutnya tak mungkin memulihkan ‘kekeliruan-kekeliruan’ dalam dunia pendidikan dengan semata-mata menerapkan ‘pemahaman edukasi’. Di sini, ia menegaskan bahwa upaya memasukkan ‘pendidikan karakter’ dalam kurikulum nasional nampaknya kurang efektif, dan oleh karena itu dunia pendidikan kita membutuhkan perspektif baru.
Perspektif baru itu, menurut Setiono Sugiharto, ialah bagaimana kita melihat kembali tradisi rhetorik—kefasihan atau kecakapan dalam menyusun dan mengungkapkan pengetahuan—yang dalam kenyataannya telah lama menjadi bagian dari dunia akademik kita. Dari perspektif itu, ia menemukan beberapa kenyataan mendasar yang membedakan pendidikan kita dari ‘konsep-Barat’. Pertama, Dalam budaya kita, pengetahuan bukan merupakan akumulasi pendapat individual, melainkan akumulasi pendapat dari mereka yang memiliki otoritas. Kedua, pengetahuan dilihat sebagai entitas yang berharga dan terpuji, serta tidak untuk ditentang atau diperdebatkan. Ketiga,seperti dalam kebudayaan Tamil dan Tiong Hoa, tradisi retorik ‘nyata’ dalam tindakan seseorang dalam mengemukakan pendapat melalui kata-kata orang lain. Jadi, dalam kenyataan tersebut nampak bahwa dalam hal pengembangan pengetahuan ‘konsep-Barat’ terutama mengedepankan individualitas dengan pengetahuan independen yang bebas dari tekanan-tekanan dari luar. Sementara itu, dunia pendidikan (dan terutama kebudayaan) kita sedikit banyak diarahkan oleh kearifan budaya yang mendesak ‘anak didik’ untuk menghargai pengetahuan yang telah diwariskan oleh orang-orang terdahulu dengan otoritasnya.
Maka dalam dunia pendidikan kita, praktek-praktek kebudayaan tersebut sedikit-banyak mempengaruhi para pelajar. Mereka enggan dan ‘malu-malu’—takut dianggap menyimpang dari kebiasaan—untuk berekspresi, serta mengembangkan pengetahuan dalam perspektif ‘sempit’. Tradisi tersebut—menghormati paradigma pengetahuan yang dominan—menyebabkan para pelajar sangat tergantung pada ‘orang lain’ dalam pengembangan pengetahuan. Hal ini nampak dalam lingkungan pendidikan kita, dimana seorang pelajar seringkali terlalu banyak meminjam kata-kata dari para penulis lain yang dikutipnya atau dirujuknya. Namun, pada dasarnya, menurut Setiono, hal itu dapat dilihat sebagai bagian dari strategi menulis pelajar ‘non-Barat’ untuk mencapai tujuan-tujuan rhetoriknya. Hal ini bukanlah legitimasi plagiarisme, melainkan lebih pada pengembangan pengetahuan melalui media tertulis.
Komentar
Posting Komentar