Layaknya ritual rutin, awal musim penghujan jelang akhir tahun menjadi sebuah
pertanda bagi petani padi. Ya, awal hujan itu menjadi pertanda dapat dimulainya
musim tanam.
Pada saat itu bulir-bulir hujan dari langit yang memenuhi lahan
garapan seakan menyiapkan ruang tumbuh bagi benih padi. Sementara, para petani
mulai bergulat dengan waktu untuk menyemainya.
Musim penghujan sungguh menjadi awal dari harapan seluruh petani
untuk menuai harapan di musim panen.
Namun, pada tahun ini pengalaman berbeda mesti dihadapi para
petani di tiga desa, yakni desa Wanakerta, Wanasari dan Margamulya di Kecamatan
Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Konflik agraria yang tak kunjung
terselesaikan dengan PT. Sumber Air Mas Pratama (SAMP), salah satu anak usaha
PT Agung Podomoro Land Tbk. akhirnya berujung pada eksekusi lahan.
Tepatnya 24 Juni 2014, Pengadilan Negeri Karawang dengan pengawalan 7.000 aparat
kepolisian melakukan eksekusi lahan sengketa seluas 350 hektare. Eksekusi
dengan No. 37/Pdt.Plw/2014/PN. Krw dilakukan atas dasar putusan pengadilan yang
memenangkan SAMP. Tanah yang sebelumnya milik petani itu dinyatakan oleh PNKarawang menjadi
milik SAMP.
Langkah resistensi coba digalakkan para petani yang tergabung
dalam Serikat Petani Karawang (SEPETAK)
dan sejumlah elemen masyarakat guna membendung upaya eksekusi tersebut. Tetapi,
hasilnya, sembilan petani dan empat buruh yang terlibat aksi penolakan
ditangkap. Tembakan water cannon, gas air mata dan peluru karet
bahkan menyebabkan sejumlah korban luka-luka.
Tanpa ampun, eksekusi lahan pun akhirnya terjadi. Saat ini
terhitung 420 kepala keluarga petani atau sekitar 1.200 jiwa tidak lagi
memiliki tanah garapan. Tanah yang bertahun-tahun menjadi lahan pertanian
produktif untuk persawahan, palawija, buah-buahan dan kayu keras.
Salah satu kuasa hukum para petani, Joseph Badeoda sangat
menyesalkan langkah PN Karawang yang
akhirnya mengeksekusi lahan sengketa tersebut. Dia menuturkan eksekusi lahan
tidak dapat dijalankan pertama-tama karena tidak memiliki objek batasan yang
jelas.
Selain itu, lanjut Badeoda, beberapa putusan tumpang tindih dan
masih diperkarakan di pengadilan. “Masih ada sengketa lain terkait tanah
tersebut sehingga putusan tidak dapat dijalankan,” tegasnya saat dihubungi Bisnis baru-baru ini.
Langkah prematur PN Karawang juga
disesalkan para petani. Apalagi, Ketua Umum SEPETAK Hilal Tamami menegaskan eksekusi
lahan tersebut melibatkan aparat negara yang seharusnya melindungi hak-hak
warga negara Indonesia.
Pasca eksekusi
lahan, jelasnya, isolasi bahkan terus dilakukan aparat beserta ratusan penjaga
sewaan di areal konflik agraria. Tidak hanya itu. Pemutusan aliran listrik dan
tindakan intimidasi kerap dirasakan petani setempat. Alhasil, para petani
di tiga desa tersebut saat ini tidak dapat lagi melakukan aktifitas pertanian
sebagaimana biasanya dilakukan pada tahun-tahun lalu.
Terlebih lagi, Hilal mengatakan saat ini korporasi mulai
mengembangkan proyeknya di atas tanah sengketa. Padahal, dia menyatakan hingga
saat ini belum ada satu lembar pun perizinan yang menjadi landasan bagi
pembangunan tersebut.
“Minggu kemarin kami sudah cek ke Pemda Karawang, dan
ternyata mereka [korporasi] belum mempunyai perijinan apa pun. Padahal mereka
sudah melakukancut and fill di
sekitar 30-40 ha lahan sengketa,” jelasnya kepada Bisnis.
Terkait realisasi pengembangan tersebut, hingga saat ini PT
Agung Podomoro Land Tbk. belum dapat dimintai konfirmasi. Namun, selang
beberapa hari setelah eksekusi, perseroan sempat menyatakan akan terus
melanjutkan putusan pengadilan terkait klaim kepemilikan lahan kendati masih
terus mendapat penolakan.
PT Agung Podomoro Land Tbk. melalui anak usahanya, SAMP, tetap
akan merealisasikan rencana kerja atas lahan tersebut.
"Masih dijalankan, sebab dari dulu sudah ada masyarakat
yang menolak dengan berbagai alasan. Tapi berdasarkan pengadilah sudah sah, itu
tanah kita," ungkap Justini Omas, Corporate Secretary PT Agung Podomoro
Land Tbk. (APLN) saat dihubungi Bisnis,
Rabu (27/8/2014).
Meskipun semakin tersisih dengan adanya pengembangan tersebut,
Hilal menegaskan mayoritas petani masih sepakat dan sehati memperjuangkan lahan
garapan mereka. Dengan kondisi ala kadarnya, jelasnya, sehari-hari para petani
tetap berupaya mencari penghasilan dengan beternak atau bekerja sebagai buruh
di sejumlah pabrik di sekitar desa.
Beberapa lahan kecil di dekat pemukiman penduduk pun masih dapat
diolah untuk mencukupi kebutuhan harian.
Namun di sisi lain, Hilal mengatakan segelintir petani juga
nampaknya sudah lelah berjuang. Mereka merelakan diri menerima ganti rugi
lahan.
“Tetapi masih lebih banyak yang akan berjuang mempertahankan tanah itu,”
tegasnya.
Oleh karena itu, Hilal menyatakan saat ini para petani di
Telukjambe Barat berharap banyak pada pemerintahan baru. Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla diharapkan mampu membawa jalan terang bagi
konflik agraria yang melibatkan petani dan korporasi.
“Kami berharap pemerintah sekarang secara kooperatif dan terbuka
membawa kasus ini ke area yang terang benderang. Sebab ada berbagai macam
kejanggalan dalam kasus semacam ini,” ungkapnya.
Harapan besar akan penuntasan kasus sengketa lahan di Telukjambe
Barat dan di berbagai wilayah lain di Nusantara memang perlu disematkan kepada
pemerintahan baru. Pasalnya, tidak sekedar menyulut konflik, persoalan sengketa
agraria telah menghasilkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit.
Bisa dibayangkan luas tanah produktif objek sengketa yang tidak
dapat dimanfaatkan atau tidak digunakan secara optimal di Telukjambe Barat.
Belum lagi, kerugian negara akibat kehilangan pajak dari nilai jual objek pajak
(NJOP) tanah sengketa.
Selain itu, para petani tentunya masih berharap menyambut musim
penghujan dengan lahan garapan yang siap disemai. Di pundak mereka lah
swasembada pangan itu berada.
*Tulisan ini sudah pernah ditayangkan di Harian Bisnis Indonesia, November 2014.
Komentar
Posting Komentar