Langsung ke konten utama

Memandang ‘Yang Lain’


Suatu Pembandingan atas pemikiran Elias Canetti dan Emmanuel Levinas

Adalah sebuah kenyataan bahwa Elias Canetti (1905-1994) dan Emmanuel Levinas (1906-1995) adalah dua pemikir yang hidup dalam latar belakang masa yang sama. Kedua pemikir besar tersebut secara sama mengalami hidup hampir di sepanjang Abad ke-20 dan mengalami berbagai perubahan serta peristiwa di dalamnya. Tak terkecuali dengan dua perang besar; Perang Dunia I dan Perang Dunia II, yang menjadi bagian kuat dari latar belakang kehidupan kedua pemikir tersebut. Mungkin juga secara tidak kebetulan, dari kenyataan latar belakang masa yang begitu penuh ketakutan dan kecemasan, kedua pemikir tersebut membicarakan tema-tema yang terkait dengan perilaku manusia dalam relasinya dengan sesama.

Dalam paper ini kita akan melihat bagaimana individu melihat ‘yang-lain’ (the other) dengan membandingkan beberapa pokok pemikiran Elias Canetti dan etika Levinas. Kedua pemikir memiliki latar belakang masa yang sama dan analisis mereka lakukan pun juga tidak jauh berbeda. Namun, jelas bahwa kedua pemikir tersebut memiliki perbedaan dalam menjelaskan manusia dan perilakunya dalam keterkaitannya dengan yang lain. Pembahasan ini kiranya mencoba untuk menjelaskan pemikiran kedua tokoh tersebut dan merefleksikannya dalam konteks masyarkat plural sebagaimana halnya di Indonesia, dimana individu tak akan pernah lepas dengan perjumpaan dengan ‘yang-lain’.

Oleh karena itu, sebelum masuk pada pembahasan utama mengenai pembandingan beberapa pokok pemikiran kedua filsuf tersebut; pertama-tama akan disajikan riwayat hidup keduanya; yang kemudian akan disusul dengan pemaparan pokok pemikiran kedua filsuf menyangkut tema ‘yang-lain’; dan terakhir kita masuk pada pembahasan utama, yakni pembandingan pokok pemikiran keduanya.

Elias Canetti (1905-1994)[1]


Elias Canetti lahir di Bulgaria pada tahun 1905. Ketika berumur 11 tahun, bersama orangtuanya, ia pindah ke Inggris. Dari Inggris, keluarga ini pindah ke Wina, tempat dimana ayah Canetti meninggal secara tiba-tiba.
Canetti menempuh pendidikan di tiga kota: Wina, Zurich, dan Frankfurt. Pada tahun 1929, Canetti memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia. Canetti dan keluarganya pergi meninggalkan Austria pada saat Nazi menguasai negara itu pada masa Perang Dunia II, dan menetap di Inggris.
Walaupun memiliki gelar doktor dalam bidang kimia, Canetti lebih banyak menulis drama, karya sastra, dan juga telaah tentang massa serta kekuasaan. Ia mendapat banyak penghargaan atas karya-karya sastra dan pada tahun 1981, giliran penghargaan Nobel diberikan kepadanya. Akademi Swedia dalam kata pengantar penganugerahan penghargaan tersebut, menyebut Canetti telah berjasa dengan “tulisan-tulisannya yang ditandai dengan suatu wawasan yang sangat luas, kekayaan ide dan kekuatan artistik yang luar biasa”.
Canetti digambarkan sebagai orang yang sangat pendiam, dan sangat memelihara hubungan pribadinya. Karya Canetti banyak menyentuh masalah kematian dan masa ketika ia hidup di bawah rezim Nazi di Jerman. Karyanya yang dianggap terobosan adalah novel yang ia tulis pada tahun 1935 dalam bahasa Jerman, Die Blendung (“The Tower of Babel”). Ia juga menulis buku memoar pada masa mudanya, yang diberi judul Die Gerettete Zunge (“The Tounge Set Free: Remembrance of a European Childhood”).
Ia juga menulis bukunya yang terkenal, Masse und Macht yang diterjemahan sebagai “Crowds and Power” (Massa dan Kuasa) pada tahun1960. Dalam buku Masse und Macht itu terefleksikan pandangan-pandangan Canetti dalam melihat kekuasaan dan pengaruhnya bagi massa, sebagai bagian dari pengamatan dia atas periode kekuasaan Nazi di Eropa. Di balik gambaran yang demikian mengerikan atas sosok manusia, sebenarnya Canetti menyimpan suatu obsesi kemanusiaan tersendiri atas kebrutalan politik kekuasaan yang dilakukan Nazi kala itu. “Apa yang hendak diekspos dan diserang oleh Canetti…di belakang setiap perintah yang ada, di belakang segala pelaksanaan kekuasaan yang ada, selalu ada ancaman akan kematian pada musuh-musuhnya.” Demikian pernah dikatakan oleh salah seorang pengamat tulisan Canetti. Canetti meninggal pada 14 Agustus 1994.

Yang-lain Sebagai Yang-Ditundukkan[2]

Mengenai hubungan dengan ‘yang lain’, Canetti banyak mendeskribsikan perilaku manusia dalam buku Masse und Macht (Massa dan Kuasa). Buku ini ditulis Canetti dengan berlatar pada kehancuran yang ia saksikan pada masa Perang Dunia I dan sedang beralih kepada Perang Dunia II. Pada masa itu, Nazi muncul ke panggung Eropa dan menyerukan kekuasaannya. Kekuatan dan kekuasaan Nazi yang menguasai sebagian besar wilayah Eropa begitu solid namun kontroversial dengan berbagai perilaku kejam dan tanpa perikemanusiaan berlaku kasar kepada mereka yang dimusuhinya. Tak heran, jika dalam buku ini Canetti akhirnya sampai pada suatu kesimpulan “bentuk paling dasar dari manusia untuk survive (bertahan hidup) adalah dengan membunuh”. Buku ini banyak menyajikan pengetahuan Canetti yang luas atas studi-studi antropologis dan historis dari sejumlah masyarakat tribal mulai dari masyarakat asli Amerika, Arab, Asiria, masyarakat asli Australia, Afrika, Afrika Selatan, Mongolia, Fiji dan lain-lain.
Canetti, dalam awal-awal bukunya, Masse und Macht, menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia memiliki ketakutan untuk bersentuhan dengan yang lain, sesuatu yang tidak dikenali. Manusia akan merasa tenang dan nyaman jika ia berhasil mengetahui apa-apa yang asing dan sedang mendekatinya ketimbang sekedear menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi, dan perasaan ketidakpastian itu bisa menghasilkan panik. Dalam kegelapan, ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diharapkan dapat meningkatkan kepanikan. Ketakutan ini membuat jarak manusia dengan yang-disekitarnya, sehingga manusia menutup rumah rapat-rapat bukan semata-mata karena ketakutan akan dirampok, tetapi juga ketakutan terhadap kekuatan dari cengkraman yang tiba-tiba dan yang tidak diduga keluar dari kegelapan. Jadi, manusia, pada dasarnya, takut menghadapi sesuatu yang asing, yang lain, dan ia mencoba menghindari pertemuannya dengan yang lain tersebut.
Deskripsi Canetti mengenai kenyataan mendasar diri seorang manusia ketika berhadapan dengan yang-lain (dalam arti ‘orang lain’) bersifat sangat ekstrem. Perilaku manusia dideskripsikan seolah-olah bersifat hewan yang memandang mahkluk lain dengan penuh kecurigaan, rasa terancam, terganggu secara fisik, serta apa saja yang bisa terjadi secara tiba-tiba. Perilaku manusia, sebagaimana telah digambarkan oleh Canetti dalam seluruh bukunya ini, pada dasanya tidak jauh berbeda dengan perilaku yang ditunjukkan oleh hewan. Gambaran Canetti tersebut, kemudian semakin menguat ketika menilik fakta manusia dalam bentukan kumulatifnya, yakni sebagai ‘massa’ (crowd). Berbagai tema dalam buku Canetti, Masse und Macht, namapak ingin menunjukkan bagaimana relasi antara manusia (individu), kerumunan (crowd), kekuasaan, dan perilaku yang sangat mirip dengan hewan.
Canetti kemudian menjelaskan bahwa ketakutan tersebut hilang atau manusia bebas dari ketakutan hanya dalam massa (crowd). Dalam massa ketakutan berubah menjadi keberanian. Dalam massa tersebut, manusia tidak takut lagi melakukan kontak fisik dengan yang lain. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi perbedaan, idealnya semua sama dalam massa. Dalam kerumunan itu, seorang individu kehilangan rasa takutnya saat bersentuhan dengan ‘yang lain’ dan sebaliknya memiliki rasa yang superior atas diri ‘yang lain’ tersebut.
‘Kekuasaan’ (power) juga menjadi tema penting dalam buku Canetti ini. Canetti mengungkapkan bahwa manusia pada dasarnya secara ekstrem dapat melakukan pemaksaan kekuasaan terhadap manusia lainnya. Sama halnya dengan perilaku binatang yang berlaku kepada binatang lain yang menjadi musuhnya. Kekuasaan digambarkan Canetti dalam perilaku manusia dalam perbandingannya dengan hewan, dimana unsur kekuatan, kecepatan, tanya-jawab interogatif, dan kepuasan berkuasa menjadi variasinya. Melalui itu semua, Canetti ingin menggambarkan bahwa tidak ada kemungkinan bagi manusia untuk berdamai dengan pihak lain dan sebaliknnya ia selalu curiga terhadap yang lain, yang mungkin akan balik memangsanya, dan yang ada adalah kondisi abadi permusuhan atas yang lain, dan rasa tidak aman atas kehadiran yang lain tersebut. Hanya dengan berkerumun, manusia merasa dirinya aman dan siap untuk menghadapi yang lain tersebut.
Relasi manusia dengan ‘yang lain’, dengan demikian dapat dijelaskan berdasarkan asumsi bahwa manusia memiliki ketakutan untuk bersentuhan dengan yang lain, sesuatu yang tidak dikenali. Dan manusia hanya akan merasa tenang dan nyaman jika ia berhasil mengetahui apa-apa yang asing dan sedang mendekatinya ketimbang sekedear menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi. Perasaan ketidakpastian itu bisa menghasilkan panik. Dalam kegelapan, ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diharapkan dapat meningkatkan kepanikan. Ketakutan ini membuat individu memiliki ‘suatu-jarak’ dengan ‘yang-lain’ disekitarnya. Fakta bahwa manusia menutup rumah rapat-rapat bukan semata-mata karena ketakutan akan dirampok, tetapi juga ketakutan terhadap kekuatan dari cengkraman yang tiba-tiba dan yang tidak diduga keluar dari kegelapan. Jadi, manusia pada dasarnya takut menghadapi sesuatu yang asing, yang lain, dan ia mencoba menghindari pertemuannya dengan yang lain tersebut.
Dalam pertemuan dengan ‘yang lain’, ruang untuk manusia berkuasa tercipta. Canetti mengungkapkan, bahwa secara ekstrem, manusia dapat memaksakan ‘Kekuasaan’ (power) terhadap manusia lainnya. Manusia tidak memiliki kemungkinan untuk berdamai dengan pihak lain. Sebaliknnya manusia selalu curiga terhadap yang lain, yang mungkin akan balik memangsanya. Yang ada adalah kondisi abadi permusuhan atas yang lain, dan rasa tidak aman atas kehadiran yang lain tersebut. Yang-lain itu hadir hanya untuk ditundukan, digenggam dalam ‘kekuasaan’.

Emmanuel Levinas (1906-1995)


Pada tanggal 12 Januari 1906, Emmanuel Levinas dilahirkan di Kovno (Kaunas), Lithuania, sebagai anak tertua dari tiga bersaudara. Pada saat itu Lithuania berada di bawah kekaisaran Rusia sehingga Levinas pun memiliki bahasa Rusia sebagai bahasa ibu. Akan tetapi, karena lahir dalam keluarga Yahudi yang terkenal, Levinas juga belajar bahasa Ibrani (Hebrew) yang menjadi bahasa pendidikan formal dan percakapan sehari-hari di rumah.[3]
Ketika Perang Dunia I pecah dan Jerman menguasai Kovno pada bulan September 1915, keluarga Levinas mengungsi ke Kharkov, Ukrania, di mana Levinas masuk Gymnasium Rusia. Setelah Perang Dunia I berakhir, keluarga Levinas kembali ke Lithuania di mana Levinas melanjutkan pendidikannya di Gymnasium Ibrani di Kovno. Pada tahun 1923 Levinas melanjutkan pendidikannya di Universitas Strasbourg, Perancis, dan belajar ilmu-ilmu klasik, psikologi dan sosiologi. Pada akhirnya ia memusatkan studinya pada filsafat, khususnya pada pemikiran Edmund Husserl (1859-1938) dan Henry Bergson (1859-1941). Di universitas ini Levinas juga menjalin persahabatan dengan penulis dan filsuf Perancis, Maurice Blanchot (1907-2003).
Pada tahun akademik 1928-1929 Levinas berada di Freiburg-im-Breisgau, Jerman, di mana ia memberikan presentasi pada seminar terakhir yang diberikan oleh Husserl yang akan memasuki masa pensiun. Dalam kesempatan tersebut Levinas juga menghadiri seminar pertama Heidegger yang datang ke universitas tersebut untuk menggantikan Husserl sebagai profesor filsafat di sana. Selama berada di Freiburg Levinas banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari buku Heidegger yang terkenal, Being and Time (1927). Pada tahun 1929 Levinas menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology yang kemudian dipublikasikan oleh Penerbit Vrin di Paris pada tahun 1930. Karya inilah yang mengantar Jean-Paul Sartre ke dalam dunia fenomenologi. Pada tahun penerbitan bukunya tentang teori intuisi Husserl, Levinas menjadi warganegara Perancis dan menikah dengan Raïssa Levi, teman masa kecilnya di Kovno. Ia kemudian mengajar di Alliance Israélite Universelle di Paris, sebuah organisasi yang memperjuangkan integrasi orang-orang Yahudi di mana­mana sebagai warganegara penuh. Dalam tahun-tahun berikutnya Levinas ikut menerjemahkan buku Husserl Cartesian Meditations dan menghadiri kuliah Kojeve yang terkenal mengenai Hegel di École des Hautes Études (1933-1937). Ia sempat memulai penulisan buku mengenai Heidegger, tetapi proyek ini ditinggalkannya ketika Heidegger menyatakan dukungannya pada Partai Sosialisme Nasional (Nazi). Akan tetapi, Levinas tidak pernah kehilangan kekagumannya pada karya Heidegger, Being and Time. Baginya, buku tersebut merupakan salah satu dari empat atau lima buku filsafat terbaik sepanjang sejarah.[4]
Ketika pecah Perang Dunia II pada tahun 1939, Levinas terkena wajib militer Perancis dan bertugas sebagai penerjemah bahasa Rusia dan Jerman. Tahun berikutnya Levinas menjadi tawanan perang di Rennes dan kemudian dipindahkan ke Fallingbostel di daerah Jerman Utara. Karena Levinas adalah seorang tentara Perancis, ia tidakndikirim ke kamp konsentrasi, melainkan ke kamp tahanan perang di mana ia melakukan kerja paksa di hutan.
Hampir semua anggota keluarga besarnya, termasuk orangtuanya, dibunuh oleh pihak Nazi. Isteri dan anaknya, Simone, berhasil menyelamatkan diri berkat bantuan Blanchot. Setelah Perang Dunia II berakhir, Levinas kembali ke Paris dan bersatu dengan keluarganya. Di sana ia menjadi direktur Ècole Normale Israélite Orientale (ENIO), sekolah yang didirikan oleh Alliance di Paris pada tahun 1867 untuk mendidik para guru di sekolah-sekolah mereka di teluk Mediterania.
Levinas menerbitkan karya filosofisnya yang utama, Totality and Infinity (1961). Sebelumnya ia telah menulis Existence and Existents, Time and the Other, dan sejumlah artikel filsafat. Setahun setelah ditunjuk sebagai profesor filsafat di Sorbonne (Paris IV) pada tahun 1973, Levinas menerbitkan karya filosofis utama yang kedua, Otherwise than Being or Beyond Essence. Karya-karya filosofis penting yang ditulis oleh Levinas, antara lain, Of God Who Comes to Mind (1982) dan esai “Transcendence and Intelligibility” (1984) yang merangkum pemikiran matangnya. Levinas meninggal tanggal 25 Desember 1995 setelah menderita sakit cukup lama. Orasi pada saat pemakamannya diberikan oleh Derrida pada tanggal 28 Desember dan diberi judul “Adieu.”[5]

‘Yang Lain’ sebagai ‘Yang Unik’[6]

Levinas secara tajam mengeritik ontologi fundamental Heidegger yang merupakan bagian dari proyek utama dalam sejarah filsafat Barat untuk menguasai seluruh realitas secara komprehensif. Dalam usaha ini keberlainan (alterity) dari pengada­pengada tidak dihargai sebagaimana mestinya. Memang dalam proses mencari pengetahuan komprehensif mengenai realitas, keinginan untuk mengenal setiap pengada secara lengkap itu sangat kuat. Akan tetapi, hal itu tidak dapat dilakukan begitu saja karena ada pengada yang tidak dapat ditundukkan oleh usaha cengkeraman pengetahuan kita. Pengada itu adalah manusia.
Mengapa manusia sebagai pengada itu memiliki keunikan?
Melalui fenomenologi Levinas belajar bahwa semua pengada, material maupun immaterial, dapat menjadi obyek intensional kesadaran manusia. Entah dalam persepsi, imaginasi, penilaian, ataupun bentuk tindakan lainnya, kesadaran selalu memiliki obyeknya. Obyek kesadaran ini mencakup juga manusia lain, entah yang ditemui secara nyata, dibayangkan, diingat-ingat, dan sebagainya.
Akan tetapi, kedudukan manusia sebagai pengada itu berbeda dengan kedudukan pengada-pengada lainnya, karena hanya dalam pertemuan dengan manusia lainlah lahir apa yang disebut ‘yang etis’ (the ethical). Hal ini terjadi karena dalam pertemuan dengan orang lain kita tidak berhadapan dengan sekedar obyek atau pengada lain, melainkan apa yang disebut Levinas sebagai ‘wajah’ (face; le visage).
Dalam arti sempit, wajah memang menunjuk pada bagian fisik yang dimiliki seseorang dan merupakan tempat rujukan dalam proses identifkasi seseorang. Akan tetapi, apa yang dimaksud Levinas dengan ‘wajah’ itu melampaui bagian fisik manusia. Orang tidak dapat melihat dan menyentuh wajah, demikian kata Levinas, justru karena wajah “hadir dalam penolakannya untuk ditundukkan.”[7] Wajah selalu menolak usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan sebagai isi (content). Karena tidak pernah akan dapat dijadikan isi pemikiran, wajah membawa kita melampaui Ada (Being). Itulah sebabnya mengapa bagi Levinas relasi dengan wajah itu secara langsung bersifat etis. Tidak ada orang yang dapat membunuh wajah.
‘Wajah’ merupakan “cara dalam mana ‘Yang Lain’ (l’Autre) memperlihatkan dirinya, melampaui gagasan mengenai yang lain dalam diri saya.”[8] Dengan kata lain, wajah merupakan cara dalam mana ‘Yang Lain’ menampakkan dirinya di hadapan saya yang melampaui kemampuan saya untuk menilai, memahami, dan mentematisasinya. Wajah manusia tidak pernah berada dalam konteks partikular atau bersifat relatif; ia bermakna dalam dan pada dirinya sendiri.[9] Oleh karena itu, wajah adalah “identitas persis seorang pengada.”[10]
Oleh karena wajah bagi Levinas tidak pernah sekedar berarti kulit, daging, dan darah, ia sering menyebut penampakan wajah sebagai sebuah “epifani”, yakni manifestasi tiba-tiba atas esensi atau makna realitas tertentu. Dalam salah satu wawancaranya Levinas berbicara mengenai tiga momen dari epifani wajah.[11]
Momen pertama epifani terkandung dalam sifat tegak-lurus wajah yang memperlihatkan ketelanjangan dan ketidakberdayaan. Orang tidak dapat melihat wajahnya sendiri (kecuali melalui cermin) dan tidak memiliki kontrol atasnya karena selalu terekspos pada tatapan pengada-pengada lain. Levinas sering berbicara mengenai ketelanjangan wajah, yang menengarai ketidakberdayaan di hadapan sebuah ancaman: “Ketelanjangan yang merupakan sebuah panggilan terhadap saya – sebuah permohonan tapi juga perintah – saya sebut wajah.”[12] Berhadapan dengan kematian, ketegak-lurusan wajah memperlihatkan mortalitasnya, yakni, kemungkinannya untuk dibunuh. Atas ketidakberdayaan dan mortalitas wajah inilah etika Levinas dibangun.
Momen kedua epifani wajah terjadi dalam pertemuan antarwajah dengan ‘Yang Lain.’ Bagi Levinas, relasi antarpribadi tidak terkandung dalam pemikiran mengenai diri dan orang lain secara bersama-sama, yang seringkali mendasari berbagai teori etika, melainkan dalam peristiwa berhadapan (facing) itu. Kesatuan atau kebersamaan sejati itu bukanlah “sebuah kebersamaan sintesis, melainkan kebersamaan dari wajah ke wajah.”[13] Kemerhadapan dari ‘Yang Lain,’ atau fakta bahwa ia berhadapan (dengan saya, misalnya), memberikan pengalaman yang tak tereduksikan atas relasi etis. Relasi etis bagi Levinas adalah relasi dalam mana saya terhubung pada wajah orang lain (le visage d’autrui). Pertemuan antar-wajah menjadi sumber dan asal mula etika atau ‘yang etis’ melampaui segala usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip moral secara universal. Dalam arti ini etika menjadi “bukan sebagai lapisan sekunder, di atas refleksi abstrak atas totalitas dan bahayanya; ia memiliki rentang independen dan awal. Filsafat pertama adalah etika.”[14]
Momen ketiga epifani wajah adalah bahwa wajah melakukan tuntutan atas diri saya. Wajah orang lain di hadapan saya tidak berdiam diri saja. Ia berbicara, dan ketika ia berbicara, keberadaan saya diinterupsi olehnya: “Wajah menatap saya dan memanggil saya. Ia menuntut saya. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian.”[15] Fakta bahwa wajah berbicara, menurut Levinas, memungkinkan dan mengawali semua diskursus. Jawaban yang layak atas permintaan untuk tidak ditinggalkan sendirian adalah “Inilah saya” [Me Voici].[16] Hal ini menunjukkan ketersediaan dan kesiapan diri untuk bertanggung jawab terhadap ‘Yang Lain.’[17]
Pertemuan dan relasi dengan wajah orang lain inilah yang oleh Levinas disebut ‘etika’ atau ‘yang etis’ (the ethical) karena hal tersebut menuntut saya untuk bertanggung jawab terhadap orang tersebut. Tanggung jawab terhadap epifani wajah ini harus diungkapkan bukan secara spiritual dalam bentuk rasa kasihan dan simpati, melainkan secara konkret dalam bentuk pemberian dan pemenuhan kebutuhan dasar orang tersebut.[18] Bagi Levinas, ke bertubuhan manusia dengan segala kebutuhannya justru menjadi kondisi bagi kemungkinan pengungkapan tanggung jawab sebagai sebuah kebaikan bagi orang lain. Konsern terhadap keadaan dan kepentingan orang lain dan usaha untuk menanggapinya secara konkret merupakan hasil pertemuan dengan wajahnya.
Secara khusus Levinas melihat wajah sebagai ‘jejak’ dari Yang Tak Terbatas (the trace of the Other). Ia menggunakan kata ‘jejak’ untuk menunjukkan sifat ambigu wajah manusia. Di satu pihak, wajah memiliki dimensi fsik yang tak dapat diingkari karena sifat kebertubuhan manusia. Melalui wajah, kita mengenal kehadiran orang lain. Di pihak lain, wajah memperlihatkan dimensi ketidakterbatasan (infinity) sedemikian rupa sehingga tidak dapat ditundukkan oleh usaha kesadaran manusia untuk menguasainya.
Semuanya ini memperlihatkan bahwa subyektivitas manusia memiliki struktur yang tidak dimiliki oleh pengada-pengada lainnya. Dari uraian ini kiranya menjadi jelas bahwa bagi Levinas, etika bukanlah pertama-tama aturan-aturan moral atau prinsip-prinsip hidup yang baik sebagaimana sering kita temukan dalam sejarah filsafat Barat. Semua prinsip dan aturan moral bersifat sekunder dan bagaimanapun juga harus merujuk pada hal yang paling utama, yakni pertemuan dan relasi antarwajah; rasa tanggung jawab kita terhadap orang lain.

Canetti dan Levinas dalam Memandang ‘Yang Lain’

Pemaparan pemikiran dan Emmanuel Levinas mengenai pokok mengenai relasi dengan ‘yang lain’ kiranya dapat memberikan dasar bagi pembandingan yang akan dilakukan pada bagian ini. Untuk itu, beberapa pokok akan dijadikan titik pijak pembandingan pemikiran kedua filsuf tersebut dalam ‘memandang yang-lain’.

· Latar Belakang Pemikiran

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Elias Canetti menulis bukunya yang terkenal, Masse und Macht yang diterjemahan sebagai “Crowds and Power” (Massa dan Kuasa) pada tahun1960, berlatarkan pada kehancuran yang ia saksikan pada masa Perang Dunia I dan kepada Perang Dunia II. Dalam buku Masse und Macht itu terefleksikan pandangan-pandangan Canetti dalam melihat kekuasaan dan pengaruhnya bagi massa, sebagai bagian dari pengamatan dia atas periode kekuasaan Nazi di Eropa. Pada masa itu, Nazi menjadi panggeran bengis Eropa yang menyerukan kekuasaannya. Kekuatan dan kekuasaan Nazi yang menguasai sebagian besar wilayah Eropa begitu solid namun kontroversial dengan berbagai perilaku kejam dan tanpa perikemanusiaan berlaku kasar kepada mereka yang dimusuhinya. Canetti dalam buku ini akhirnya sampai pada suatu kesimpulan “bentuk paling dasar dari manusia untuk survive (bertahan hidup) adalah dengan membunuh”. Canetti dalam hal ini mendekati manusia dari titik pijak fenomenologi dan antropolgi.
Sama halnya dengan Canetti, Emmanuel Levinas mengalami masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Bahkan sebagian besar pemikiran dalam karya-karyanya merupakan refleksi panjang dan mendalam sekaligus kritik atas kekejaman Nazi. Tulisan Levinas berkutat sekitar permasalahan manusia dalam relasinya dengan ‘yang-lain’. Tak heranlah, karena hampir semua anggota keluarga besar Levinas, termasuk orangtuanya, dibunuh oleh pihak Nazi—Isteri dan anaknya, Simone, berhasil menyelamatkan diri berkat bantuan Blanchot dan setelah Perang Dunia II berakhir, Levinas kembali ke Paris dan bersatu dengan keluarganya—. Melanjutkan Husserl, Levinas awalnya akrab dengan fenomenologi, yang kemudian dalam perjumpaannya—termasuk keterpesonaan dan kritik tajamnya—dengan Heidegger membangun yang-etis dalam relasi dengan ‘yang-lain’.

· Yang-lain

Canetti dan Levinas hampir sama dalam arti tertentu ketika melihat bahwa yang-lain adalah hal yang yang berbeda dengan mereka yang memandangnya. Yang Lain dilihat sebagai ancaman oleh Canetti, dan karena itu sebagai bentuk dasar dari survival manusia, yang lain bisa dibunuh, dikuasai, dan disingkirkan. Yang-lain adalah yang benar-benar asing, yang berada diluar diri sang individu. Yang lain itu tak dikenal dan karena itu memiliki potensi untuk menjadi ancaman. Dalam hal ini, Canetti mendeskripsikan manusia yang juga berprilaku seperti hewan yang buas dan liar.
Dalam esai “Is Ontology Fundamental?” Levinas bertanya, “Apakah relasi dengan pengada, sejak awal, tidak lain daripada merupakan pemahaman (comprehension) sebagai pengada (étant), fakta membiarkan dirinya mengada secara bebas sejauh ia adalah pengada?” Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Levinas demikian, “Ya, memang begitu, kecuali kalau pengada itu adalah ‘Yang Lain’ (Autrui).”[19] ‘Yang Lain’ di sini berarti orang-orang lain atau sesama kita.[20] Levinas melihat yang lain atau manusia lain sebagai pengada khusus yang berbeda dengan pengada-pengada lain (hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati di dunia). Kedudukan manusia sebagai pengada itu berbeda dengan kedudukan pengada-pengada lainnya, karena hanya dalam pertemuan dengan manusia lainlah lahir apa yang disebut ‘yang etis’ (the ethical).

· Manusia dalam relasi dengan Yang-lain

Canetti menjelaskan relasi manusia dengan ‘yang lain’ dengan berdasarkan asumsi bahwa manusia memiliki ketakutan untuk bersentuhan dengan yang lain, sesuatu yang tidak dikenali. Dan manusia hanya akan merasa tenang dan nyaman jika ia berhasil mengetahui apa-apa yang asing dan sedang mendekatinya ketimbang sekedear menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi. Perasaan ketidakpastian itu bisa menghasilkan panik. Dalam kegelapan, ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diharapkan dapat meningkatkan kepanikan. Ketakutan ini membuat individu memiliki ‘suatu-jarak’ dengan ‘yang-lain’ disekitarnya.
Fakta bahwa manusia menutup rumah rapat-rapat bukan semata-mata karena ketakutan akan dirampok, tetapi juga ketakutan terhadap kekuatan dari cengkraman yang tiba-tiba dan yang tidak diduga keluar dari kegelapan. Jadi, manusia pada dasarnya takut menghadapi sesuatu yang asing, yang lain, dan ia mencoba menghindari pertemuannya dengan yang lain tersebut.
Dalam pertemuan dengan ‘yang lain’, ruang untuk manusia berkuasa tercipta. Canetti mengungkapkan, bahwa secara ekstrem, manusia dapat memaksakan ‘Kekuasaan’ (power) terhadap manusia lainnya. Manusia tidak memiliki kemungkinan untuk berdamai dengan pihak lain. Sebaliknnya manusia selalu curiga terhadap yang lain, yang mungkin akan balik memangsanya. Yang ada adalah kondisi abadi permusuhan atas yang lain, dan rasa tidak aman atas kehadiran yang lain tersebut. Yang-lain itu hadir hanya untuk ditundukan, digenggam dalam ‘kekuasaan’.
Berbeda dengan Canetti, Levinas melihat relasi dengan ‘wajah’ (yang-lain melalui wajah) inilah yang oleh Levinas disebut ‘etika’ atau ‘yang etis’ (the ethical), karena hal tersebut menuntut saya untuk bertanggung jawab terhadap orang tersebut. Tanggung jawab terhadap ini harus diungkapkan secara konkret dalam bentuk pemberian dan pemenuhan kebutuhan dasar orang tersebut. Konsern terhadap keadaan dan kepentingan orang lain dan usaha untuk menanggapinya secara konkret merupakan hasil pertemuan dengan wajahnya.
Menurut Levinas, Subyektivitas manusia memiliki struktur yang tidak dimiliki oleh pengada-pengada lainnya. Sehingga dalam pertemuan dengan orang lain kita tidak berhadapan dengan sekedar obyek atau pengada lain, melainkan apa yang disebut Levinas sebagai ‘wajah’ (face; le visage). Perjumpaan dengan yang lain melalui wajah sebagai merupakan suatu panggilan untuk bertanggung jawab, bukan sebaliknya untuk menguasai. Dalam perjumpaan wajah, nampak dimensi ketidakterbatasan (infinity) wajah sedemikian rupa sehingga tidak dapat ditundukkan oleh usaha kesadaran manusia untuk menguasainya.

Penutup

Pemikiran Elias Canetti dan Emmanuel Levinas mengenai yang lain menyajikan dua pandangan yang sedikit-banyak berbeda. Dalam melihat yang lain, Canetti cenderung menganggapnya sebagai suatu ancaman dari sesuatu yang asing, namun bagi Levinas justru hadir sebagai suatu undangan untuk bertanggung jawab.
Bagaimanapun juga, pemikiran Canetti dan Levinas bisa kita refleksikan untuk meletakkannya dalam konteks plural masyarakat, terlebih di Indonesia, dan dalam masyarakat yang pernah mengalami masalah pertikaian sosial antara berbagai kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang.

Paper tugas akhir mata kuliah Elias Canetti: Massa dan Kuasa, STF Driyarkara, 2011


***




[1] Riwayat Hidup Elias Canetti ini disarikan dari tulisan Ignatius Hariyanto, “Problematika Bersentuhan Dengan Yang Lain”, Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXIX, no.1/2007.
[2] Uraian ini dikembangkan dari bahan presentasi penulis mengenai Crowd (Bab I buku Canetti:Crowds and Power), dalam mata kuliah “Seminar Elias Canetti: Massa dan Kuasa”, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, 2011.
[3] Simon Critchley, “Emmanuel Levinas: A Disparate Inventory,” The Cambridge Companion to Levinas (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), xv.
[4] Levinas, Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1982), 37.
[5] Lihat Jacques Derrida, Adieu to Emmanuel Levinas, trans. Pascale-Anne Brault and Michael Naas (Stanford: Stanford University Press, 1999), 1-13.
[6] Bagian ini dikembangkan dari materi yang diperoleh penulis dalam kuliah ““Seminar Emmanuel Levinas”, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara – 2010.
[7] Levinas, Totality and Infinity, 194.
[8] Levinas, Totality and Infinity, 50.
[9] Menurut Levinas, wajah merupakan “signifkasi tanpa konteks,” atau bahwa wajah “bermakna pada dirinya sendiri.” Wajah “mengekspresikan dirinya sendiri”. Levinas, Totality and Infinity, 51.
[10] Levinas, “The I and the Totality,” Entre Nous: Thinking-of-the-Other, trans. Michael B. Smith and Barbara Harshav ( New York: Columbia University Press, 1998), 33.
[11] Levinas, “The Philosopher and Death,” Is It Righteous To Be?: Interviews with Emmanuel Levinas, ed. Jill Robbins (Stanford: Stanford University Press, 2001), 127. Lihat juga “Philosophy and the Idea of Infinity,” Collected Philosophical Papers, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), 55.
[12] Levinas “Being-for-the-Other,” Is It Righteous to Be?, 115
[13] Levinas, Ethics and Infinity, 77.
[14] Levinas, Ethics and Infinity, 77.
[15] Levinas, “The Philosopher and Death,” Is It Righteous To Be?, 127; Totality and Infinity, 66.
[16] Levinas, Ethics and Infinity, 97.
[17] Dalam buku yang lebih matang, Otherwise than Being, Levinas membahas disposisi subyek untuk menjadi sandera (hostage) bagi ‘Yang Lain,’ siap menjadi pengganti baginya. Bagi Levinas, memberi jawaban “Inilah saya” berarti sudah bertemu dengan wajah orang lain.
[18] Roger Burggraeve, The Wisdom of Love in the Service of Love: Emmanuel Levinas on Justice, Peace, and Human Rights (Milwaukee: Marquette University Press, 2002), 208.
[19] Levinas, “Is Ontology Fundamental?,” Basic Philosophical Writings, eds. Adriaan T. Peperzak et al. (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1996), 6.
[20] Levinas sebenarnya sering merasa enggan menggunakan kata-kata yang bermakna ‘sesama’ (neighbor – prochain atau semblable) karena kata-kata ini mengandaikan kesetaraan di antara manusia, padahal setiap manusia itu bersifat unik dan tidak dapat diperbandingkan. Pokok ini akan dijelaskan lebih lanjut di bawah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t