Langsung ke konten utama

Aku Yang Lain, di Hari Yang Lain



Hari yang menjamahku dengan ketidakjelasannya mampu menciptakan perubahan dalam ku, menyaksikan perubaahan ini aku teringat tentang perubahan yang juga diciptakan oleh hari untuk dirinya. Ia mampu menghadirkan hujan ketika matahari sedang bersinar. 

Ah…….sebuah ketidakjelasan.  Apakah aku harus mengikuti perubahan yang telah diciptakan oleh hari tersebut? Sebuah ketidakpastian untuk aku dan keberadaanku ketika harus mengikutinya.




Larik-larik yang telah tersusun pada beberapa kelaluan atau kelampauan hanya menjadi sebuah larik sebab aku belum mampu menjadikannya sebagai salah satu bait dalam rengkuhan kekinian. 

Hendak berusaha untuk mengulanginya namun kelampauan tetap menjadi kelampauan. 

Dengan ketidakmampuan yang bergerak layaknya kuda pacu sambil menghapus kemurnian dari mimpi maka aku telah menjadikan kekinian sebagai ketidakjelasan, yang juga dihadirkan oleh hari dengan musim-musimnya. 

Aku sedang berusaha untuk menyusun larik-larik agar tidak berserakan atau membentuk potongan-potongan kenangan. Namun lagi-lagi hari  tidak memberikan kesempatan untuk ku. Ini tentang ketidakjelasan, ini tentang ketidakteraturan.

Aku dalam rengkuhan kekinian, mencoba untuk melupakan kemarin yang menampilkan wajah sendu agar dihampiri. Aku berusaha berdamai dengan hari, mengajaknya untuk bercengkrama sambil menghabiskan sebatang cerutu yang diberikan oleh tante [dia yang memberikan cinta padaku, sebagai anak], yang kini telah menjadi segumpal awan putih pada siang yang terik, yang menjadi setetes embun pada yang gerah. 

Berdamai dan melangkah bersama hari yang lain dari kemarin menjadikan juga aku yang lain. Perubahan ku terjadi di sekitar asap cerutu, memberikan sedikit kedamaian ketika aku harus berusaha untuk memahami tentang malam yang enggan berbicara.

Pada hari yang lain dan pada aku yang lain, telah berkecambah beberapa larik dimana aku pun harus berusaha keras agar mampu memahaminya secara baik dan benar. Jika ia seperti sebuah novel maka aku tidak menemukan kesulitan untuk memahami alurnya namun ia lebih dalam dan luas dari novel. 

Hanya satu hal yang dapat kulakukan untuk memahaminya; masuk dalam kesendirian, tentunya dengan kesadaran bahwa aku adalah aku yang lain dari kemarin kemudian mendengarkan ia berbicara. Tidak ada celaan atau komentar untuk setiap pernyataan yang dikatakannya.

Aku yang lain di hari yang lain, tidak ada kata di sekitar alunan musik yang terdengar dari netbook. Aku yang lain di hari yang lain, mungkinkah aku berjalan ketika lolongan anjing menimbulkan tanya tentang keadaan di sekitar ku? Aku yang lain di hari yang lain, adakah larik-larik dari kelampauan kembali berdamai dan membentuk sebuah bait pada kekinian?

Pada hari yang lain; kutemukan bahwa malam masih seperti kemarin. Oh…….ada sayap-sayap yang berkelabat ketika warna tembok kamar mulai usang. Aku yang lain; masih menempatkan dirnya untuk memandang labirin-labirin senja. Pada hari yang lain, aku sudah memahami bahwa besok tidak sesulit labirin senja.

Kamar kosku, cerutu dan sahabatku…Matraman, sejengkal menjelang 8 Oktober 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t