Langsung ke konten utama

Kesadaran Ekologis Dalam Eco-Philosophy dan Filsafat Proses

Dalam pemikiran proses menurut Alfred North Whitehead, realitas dipahami sebagai suatu serikat atau komunitas wujud­-wujud aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Pemikiran Proses yang menekankan model sosial atau ekologis dalam memahami realitas dapat me­numbuhkan sikap-sikap yang menunjang kesa­daran ekologis. Pemikiran ini, seperti menekankan kesalingtergantungan antara manusia dan alam dan bukan sikap eksploitatif yang mengobjekkan dan me­nguras alam.

Filsafat Whitehead dengan demikian menunjukkan pentingnya lingkungan hidup manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri”. Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.

Berkaitan dengan itu, pemikiran Henryk Skolimowski dalam Eco-philosophy juga hadir sebagai tanggapan terhadap pandangan dunia yang mekanistik. Eco-philosophy secara menyeluruh bersifat ekologis. Eco-philosophy melihat kemanusiaan sebagai bagian dalam suatu kesatuan integral dengan alam semesta dalam evolusi. Alam semesta merupakan tempat yang sakral dan kita adalah penjaga kesakralannya.
Tulisan ini mencoba untuk melihat perbandingan antara pemikiran proses Alfred North Whitehead dengan paham Eco-Philosophy dari Henryk Sklolimowski dari sudut pandang ekologi. Untuk itu, dalam tulisan ini pertama-tama akan dipaparkan bagaimana ‘Filsafat Proses A.N. Whitehead’, kemudian diikuti dengan uraian mengenai ‘Eco-Philosophy: The World is A Sanctuary’, dan terakhir ditutup dengan ‘Kesadaran Ekologis dalam Eco-Philosophy dan Filsafat Proses’ yang berisi rangkuman dan perbandingan dua pemikiran dari dua pemikir tersebut.

A. Filsafat Proses A.N. Whitehead (1861-1947) [1]

Skolimowski, dalam bukunya Living Philosophy: Eco Philosophy as A Tree of Life, menyatakan bahwa C.H. Waddington, seorang ahli biologi, melihat kekacauan yang hadir pada masa sekarang diakibatkan oleh filsafat dan para filsuf. Ia menyatakan bahwa filsafat mengambil suatu arah yang keliru pada awal abad 20. Akibat tuntutan pencarian solusi melalui logika, filsafat akhirnya cenderung mengikuti Russell dengan filsafat atomistik dan matematiknya, daripada mengikuti Whitehead dengan filsafatnya yang holistik dan organistik.[2]
Sebagai reaksi dan tawaran alternatif terhadap materialisme ilmiah yang menghegemoni pikiran dan sains modern, Alfred North Whitehead mencanangkan sebuah aliran filsafat yang ia sebut sebagai “Filsafat Proses”. Whitehead merintis filsafat proses yang barangkali dapat disebut sebagai satu-satunya sistem pengetahuan yang paling radikal mengritik paradigma sains modern yang materialistis-reduksionistik. Filsafat yang dirintis oleh Whitehead ini mencoba melakukan revitalisasi terhadap tradisi ontologi yang dianggap mengalami kemunduran seiring semakin dominannya paradigma keilmuan modern yang semata bertumpu pada ontologi materialisme.
Pemikiran ekologi Whitehead juga merupakan bentuk kritik ganda terhadap tradisi Barat, yaitu terhadap pandangan materialisme ilmiah dan konsep kosmologi agama-agama semit yang berwatak antroposentris, terutama Yahudi. Letak kritik Whitehead pada konsep ekologi Yahudi berdasar pada anggapan bahwa alam semesta ini dihadiahkan Tuhan kepada bangsa Yahudi untuk ditakhlukkan dan dimanfaatkan secara penuh. Manusia bebas berkehendak dalam memperlakukan alam semesta. Pandangan dunia seperti inilah yang menjadi cikal-bakal eksploitasi manusia terhadap alam semesta. Manusia tidak merasa bersalah karena telah mendapatkan legitimasi teologis.
Pemikiran Proses Whitehead mau menghindarkan antropo­sentris­me yang cenderung memperlakukan alam melulu sebagai objek untuk dieksploitasi dan dimanfaatkan. Antroposentrisme yang dibarengi dengan sikap Materialisme Ilmiah yang memandang alam secara materialistik dan mekanistik telah menimbulkan krisis ekologis yang ga­wat. Oleh karena itu, pemikiran Proses yang dihadirkan oleh Whitehead bersifat antropokosmik.

· Filsafat Proses Melawan Kecenderungan Materialistik

Whitehead meyakini bahwa materialisme ilmiahlah yang telah menjadi cikal-bakal lahirnya dominasi manusia atas alam semesta. Watak eksploitatifnya bersifat imanen dalam dirinya, karena melihat dunia hanya sebagai gugusan materi yang statis, sehingga dapat dikalkulasi secara eksak.
Pada dasarnya Whitehead menawarkan paham metafisis yang lebih kompleks dan komprehensif, melalui suatu cara berpikir yang dinamis dan ber-proses, dengan mengikutsertakan semua unsur yang ada di jagat raya, khususnya lingkungan hidup dan sesama manusia sebagai “a society of actual entities”. Whitehead mengedepankan keutuhan, integrasi, diantara jejaring-jejaring realitas dalam bingkai pemikiran sistemik. Dalam bukunya, Process and Reality, Whitehead—senada dengan Eco-philosophy—mengatakan bahwa tujuan dari filsafat proses adalah mencanangkan kosmologi baru yang berbasis pada sistem, di mana unsur-unsur pembentuk sistem tersebut bersinergi menciptakan keteraturan yang padu. Artinya, ada kesalingterkaitan antara unsur-unsur tersebut menciptakan entitas utuh yang tidak hanya sekedar penjumlahan dari unsur-unsur pembentuknya (the whole is not equivalent to the sum of its parts).
Setiap entitas di dunia ini—Whitehead menyebutnya sebagai satuan aktual—memiliki nilai-nilai intrinsiknya sendiri-sendiri, tak terkecuali manusia. Bila manusia hanyalah bagian kecil dari benda-benda dunia, maka tidak otentik lagi mengatakan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta (antropsentrisme). Manusia hanyalah satuan aktual diantara satuan-satuan aktual lainnya. Tuhan juga adalah suatu Wujud Aktual bersama wujud-wujud aktual yang lain. Walaupun Tuhan mempu­nyai status ontologis yang menonjol dibandingkan dengan wujud-wujud aktual yang lain, Tuhan bukan satu-satunya pelaku. Dalam proses mewujudkan dirinya, setiap wujud aktual selalu mengambil sikap dan menyerap warisan masa lalunya maupun apa yang oleh Whitehead disebut “obyek-obyek abadi” (eternal objects), yakni kemungkinan-kemungkinan murni yang telah dipikirkan Tuhan dalam kodrat primordial-Nya (the premordial nature of God) dan akan men­jadi prinsip pembentuk bagi setiap wujud aktual. Dalam pemikiran Whitehead, “obyek-obyek abadi” sejauh sudah dipikirkan oleh Tuhan Sang Pencipta dalam hakikat primordial-Nya merupakan wujud konsep­tual dari segala sesuatu yang ada dan sekaligus merupakan sumber awali bagi cita-cita diri (subjective aims) setiap wujud aktual. Dengan demikian Tuhan memberi struktur dan kerangka umum bagi setiap perwujudan diri setiap entitas individual tetapi sekaligus juga memberi kebe­basan untuk memberi isi konkret pada struktur atau kerangka umum tersebut.
Dunia, dalam konteks ini, adalah rajutan dari satuan-satuan aktual itu, di mana ia eksis karena dalam dirinya mengandung spirit—yang oleh Whitehead disebut sebagai solidaritas (solidarity). Artinya, meskipun setiap satuan aktual dalam dirinya sendiri merupakan suatu proses penciptaan (self-creation), namun proses itu bukan merupakan aktivitas yang terpisah dari yang lain.
Pengandaian ontologis tersebut selanjutnya melahirkan pengandaian moral tertentu. Karena manusia hanyalah salah satu penyangga tegaknya dunia, maka dalam dirinya selalu terkandung kesasadaran purba, kesadaran pra-eksistensi, tentang rasa kesatuan dengan satuan aktual lainnya. Dengan demikian, unsur paling awal dan utama yang membentuk kesadaran moral manusia adalah simpati, yang oleh Whitehead dimaknai sebagai perasaan yang sama dengan yang lain. Hal ini dimaksudkan untuk menyingkirkan kecenderungan kesadaran kita untuk melihat diri kita sebagai yang terpisah dari dunia.

· Diri ekologis

Realitas dipahami sebagai suatu serikat atau komunitas wujud­-wujud aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Filsafat Whitehead dengan demikian menunjukkan pentingnya lingkungan hidup manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri”. Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.
Refleksi mendalam atas posisi manusia sebagai sub-entitas dari keagungan alam semesta diharapkan akan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk kemudian menunda terlebih dahulu setiap klaim atas sentralitas posisi manusia sebagai penentu perkembangan alam semesta. Whitehead menyebut tahapan kesadaran manusia ketika mampu melampaui kekerdilan persepsinya atas semesta, dan kemudian mampu menemukan cara pandang yang utuh dengan seluruh realitas ekologisnya sebagai “diri ekologis”. Diri ekologis adalah “diri” yang mempunyai tanggung jawab untuk melestarikan dan menciptakan keselarasan hubungan dengan satuan-satuan aktual lainnya.
Pemikiran Proses menekankan model sosial atau ekologis dalam memahami realita dan dapat me­numbuhkan sikap-sikap yang menunjang kesa­daran ekologis. Alam dan manusia saling tergantung. Alam memiliki peranan penting bagi manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri” (satisfaction). Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya.
Dengan begitu, Pemikiran Whitehead telah memberikan sumbangan besar dan warna lain dalam pemikiran filosofis—atau semacam kunci untuk membuka gembok penjara filsafat Barat yang notabene berwatak materialistik-positivistik. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.

B. Eco-Philosophy: The World is A Sanctuary

Skolimowski dengan tegas menyatakan bahwa masyarakat dunia dewasa ini merupakan bagian dari suatu zaman mekanistik, dimana manusia kebanyakan terorientasikan oleh pengetahuan spesifik. Zaman mekanistik ini berakar pada ilmu pengetahuan modern yang dijiwai oleh filsafat empiris, analitis, dan sains. Filsafat Kontemporer yang berorientasi analitik dan bersemi sejak empirisme hingga atomisme logis (mencakup positivisme logis, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat sains, filsafat bahasa, serta filsafat yang secara global mendominasi masa ini) semuanya merupakan pemicu ledakan dari masa mekanistik yang terjadi sekarang.[3]
Menurut Skolimowski, Filsafat analitik meremehkan fenomena manusia dan mendegradasikan kehidupan sebagaimana dapat dihidupi. Padahal, filsafat yang secara orisinil disusun sebagai suatu refleksi terus-menerus, pertumbuhannya terhenti ketika direduksi kepada maksud mekanistik dan teknik semata. [4] Pemahaman mengenai alam semesta sebagai proses mekanik telah mengecilkan arti alam semesta itu sendiri. Pemahaman akan kosmos direduksi, termasuk pemahaman mengenai hidup manusia sendiri. Bentuk mekanis hanyalah salah satu cara dan bukan yang terbaik. Dampaknya, paradigma mekanistik melatarbelakangi berbagai tindakan manusia yang penuh kekerasan dan bersifat egoistik, terutama terkait soal kerusakan lingkungan.
Eco-philosophy hadir sebagai tanggapan terhadap kegagalan dari pandangan dunia yang mekanistik dan filsafat analitik (bahasa). Eco-philosophy bersifat ekologis dalam arti luas; yang melihat kemanusiaan sebagai bagian dalam suatu kesatuan dengan alam, sebagai bagian integral dari proses evolusi yang menggerakan alam semesta dari ke-tak-berjiwa-an kepada kehidupan; dari kesadaran sampai akhirnya kepada ke-ilahi-an.[5]
Eco-Philosophy menawarkan suatu bentuk rekonstruksi total, termasuk perubahan menyeluruh dari cara berpikir. Eco-Philosophy menawarkan suatu gagasan bagaimana berpikir secara utuh, yaitu mengaitkannya dengan pemikiran tentang alam semesta. Bahwa, alam semesta merupakan tempat yang sakral dan kita adalah penjaga kesakralannya. Alam semesta bersifat tak terbatas, evolusionis, dan muncul dari sesuatu yang tidak terduga. Prosesnya bersifat kreatif dengan pelbagai varian baru yang dimunculkan. Alam semesta menjadi rumah buat kita dimana kita tinggal bersama dengan ciptaan lainnya dan hidup damai satu sama lain. Oleh karena itu, alam semesta tidak lagi dipahami dari sisi material. Kita bukanlah satu-satunya yang ada dari proses penciptaan tersebut. Sehingga, kita tidak bisa bersikap tamak dan tidak memperdulikan ciptaan lainnya. Konsep mengenai alam semesta ini ingin menyuguhkan suatu bentuk proses kreatif dan menyeluruh.[6]
Dengan Eco-Philosophy, filsafat ingin kembali ditempatkan sebagai sebuah upaya refleksi yang mendalam dari kondisi manusia. Filsafat menjadi penuntun kita untuk menemukan nilai kemanusiaan dan kebebasan manusia. Filsafat ingin menyadarkan bahwa manusia tidak dapat bersikap realistis atau pragmatis begitu saja dengan menjadi bodoh, merusak, antiproduktif terhadap lingkungan. Sehingga, realistik dan pragmatis yang sebenarnya adalah ketika manusia sadar akan keberadaannya di tengah-tengah lingkungannya, di dalam alam semesta ini. Oleh karenanya, Eco-Philosophy juga ingin menawarkan konsep realisme baru, dimana manusia dapat lebih mengembangkan hidupnya (life-enhancing) . Eco-Philosophy berusaha menuntun kita kepada suatu keyakinan dan nilai yang dapat menolong kita dalam memperhatikan diri kita sendiri secara nyata, sebagai manusia, ciptaan yang spesial, yang memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri, tapi juga memiliki tanggung jawab terhadap planet dan kosmos.[7]

· The World is A Sanctuary[8]

Menurut Skolimowski, konsep kunci eco-philosophy adalah ‘Dunia sebagai yang-sakral’. Konsep ini ditawarkan sebagai alternatif dari pandangan mekanistik Newtonian yang melihat ‘dunia sebagai mesin’. Konsep baru ini menenkankan sifat unik, berharga, dan suci dari planet bumi. Dalam hal ini, Eco-philosophy adalah filsafat yang sebagaimana mestinya—penuh arti, relevan, dan pertisipatif.
Pemahaman mekanistik yang telah lama mendominasi persepsi manusia modern tentang dunia melihat dan memperlakukan dunia sebagai suatu mekanisme layaknya jam. Asumsi itu telah mereduksi segala sesuatu, termasuk hidup manusia, sebagai komponen-komponen dari suatu mesin besar. Dan sekarang konsekuensinya telah membawa bencana besar bagi kehidupan manusia.
Eco-Philosophy menawarkan suatu gagasan holistik dan komprehensif yang terkait dengan pemikiran tentang alam semesta. Alam semesta merupakan tempat yang sakral. Alam semesta bersifat tak terbatas, evolusionis, dan muncul dari sesuatu yang tidak terduga dalam prosesnya yang kreatif. Alam semesta menjadi rumah bagi manusia, dimana manusia tinggal bersama dengan ciptaan lainnya, sehingga alam semesta tidak lagi mungkin dipahami dari sisi material.
Jika manusia hidup dalam sesuatu yang-sakral, maka manusia mesti memperlakukannya dengan penuh penghormatan dan perhatian. Hal-hal ini merupakan komponen dasar dari apa yang Skolimowski sebut sebagai metanoia ekologis: secara bersamaan mengubah metafora manusia tentang dunia, sikap kepadanya, dan pemikiran tentangnya.
Alam semesta berada dalam suatu perjalanan yang penuh makna dari perealisasian-diri. Manusia adalah bagian dari perjalanan ini. Alam semesta bukanlah suatu tumpukan materi yang serampangan dan manusia secara tak bermakna larut di dalamnya.
Manusia adalah penjaga kesakralan alam semesta, namun bukanlah satu-satunya yang ada dari proses penciptaannya. Sehingga, manusia tidak bisa bersikap tamak dan tidak memperdulikan ciptaan lainnya. Konsep mengenai alam semesta ini ingin menyuguhkan suatu bentuk proses kreatif dan menyeluruh.
Manusia adalah mata melalui mana alam semesta melihat dirinya. Manusia adalah pikiran melalui mana alam semesta mengkontemplasikan dirinya. Manusia memiliki dorongan yang tak tersembuhkan untuk bertransendensi karena kehendak alam semesta untuk secara berkelanjutan mentransendensikan-diri sendiri dibangun melalui manusia itu sendiri. Manusia adalah mahkluk kosmik (Cosmic Man), yang berbagi dengan keseluruhan semesta dimensi transendensi dan dorongan untuk merealisasikan diri.

C. Kesadaran Ekologis dalam Eco-Philosophy dan Filsafat Proses

Filsafat Proses dari Alfred North Whitehead dan Eco-Philosophy dari Henryk Skolimowski dapat dikatakan memiliki kesesuaian dalam beberapa aspeknya. Aspek-aspek yang bersesuaian itu, yakni:

· Bersifat Komprehensif dan Holistik.

Pemikiran proses menurut Alfred North Whitehead memahami realitas sebagai suatu serikat atau komunitas satuan-satuan aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Realitas ber-‘ada’ dalam keutuhan, integrasi, dalam bingkai pemikiran sistemik, dimana ada kesalingterkaitan antara unsur-unsur tersebut menciptakan entitas utuh yang tidak hanya sekedar penjumlahan dari unsur-unsur pembentuknya (the whole is not equivalent to the sum of its parts). Dunia adalah rajutan dari satuan-satuan aktual itu.
Senada dengan itu, Eco-Philosophy menawarkan suatu gagasan holistik. Eco-philosophy melihat manusia sebagai bagian dari suatu kesatuan integral dengan alam semesta dalam evolusi. Alam semesta, yang bersifat tak terbatas, evolusionis, dan muncul dari sesuatu yang tidak terduga, sebagai tempat yang sakral (the world is a sanctuary) dan manusia adalah penjaga kesakralannya. Alam semesta berada dalam suatu perjalanan yang penuh makna dari perealisasian-diri. Manusia adalah bagian dari perjalanan ini. Alam semesta bukanlah suatu tumpukan materi yang serampangan dan manusia secara tak bermakna larut di dalamnya. Alam semesta dalam prosesnya yang kreatif menjadi rumah hunian abadi bersama baik bagi manusia maupun bagi ciptaan lainnya.

· Alternatif dari Pemikiran Mekanistik-Analitik (Filsafat Barat yang bercorak Empiristik)

Alfred North Whitehead merintis filsafat proses sebagai reaksi dan tawaran alternatif terhadap materialisme ilmiah yang menghegemoni pikiran dan sains modern. Whitehead ingin mengritik paradigma sains modern yang bersifat materialistis-reduksionistik. Filsafat yang dirintis oleh Whitehead ini mencoba melakukan revitalisasi terhadap tradisi ontologi yang dianggap mengalami kemunduran seiring semakin dominannya paradigma keilmuan modern yang semata bertumpu pada ontologi materialisme. Pemikiran Proses Whitehead mau menghindarkan antropo­sentris­me yang cenderung memperlakukan alam melulu sebagai objek untuk dieksploitasi dan dimanfaatkan. Antroposentrisme yang dibarengi dengan sikap materialisme ilmiah yang memandang alam secara materialistik dan mekanistik telah menimbulkan krisis ekologis yang ga­wat.
Pemikiran Skolimowski dalam Eco-philosophy juga hadir sebagai tanggapan terhadap kegagalan dari pandangan dunia yang mekanistik. Zaman mekanistik ini berakar pada ilmu pengetahuan modern yang dijiwai oleh filsafat empiris, analitis, dan sains. Pemahaman mengenai alam semesta sebagai proses mekanik telah mengecilkan arti alam semesta itu sendiri. Pemahaman akan kosmos direduksi, termasuk pemahaman mengenai hidup manusia sendiri. Dampaknya, paradigma mekanistik melatarbelakangi berbagai kasus kerusakan lingkungan. Eco-Philosophy ingin menawarkan konsep peningkatan hidup secara menyeluruh (life-enhancing) . Eco-Philosophy berusaha menuntun kita kepada suatu keyakinan dan nilai yang dapat menolong kita dalam memperhatikan diri kita sendiri secara nyata, sebagai manusia, ciptaan yang spesial, yang memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri, tapi juga memiliki tanggung jawab terhadap planet dan kosmos.

· Mewujudkan Kesadaran Ekologis

Filsafat Whitehead menunjukkan pentingnya lingkungan hidup manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri”. Pemikiran Whitehead melihat setiap entitas atau satuan aktual memiliki nilai-nilai intrinsiknya sendiri-sendiri, tak terkecuali manusia. Bila manusia hanyalah bagian kecil dari benda-benda dunia, maka tidak otentik lagi mengatakan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta (antropsentrisme). Manusia hanyalah satuan aktual diantara satuan-satuan aktual lainnya. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.
Dengan demikian, pemikiran Whitehead yang menekankan model sosial atau ekologis dalam memahami realitas dapat me­numbuhkan sikap-sikap yang menunjang kesa­daran ekologis. Pemikiran ini, seperti menekankan kesalingtergantungan antara manusia dan alam dan bukan sikap eksploitatif yang mengobjekkan dan me­nguras alam.
Henryk Skolimowski juga berusaha merumuskan sesuatu yang baru, komprehensif dan holistik, yang tepat untuk konteks ekologi saat ini. Eco-philosophy secara menyeluruh bersifat ekologis. Eco-philosophy bersifat ekologis dalam arti luas; yang melihat kemanusiaan sebagai bagian dalam suatu kesatuan dengan alam, sebagai bagian integral dari proses evolusi yang menggerakan alam semesta dari ke-tak-berjiwa-an kepada kehidupan; dari kesadaran sampai akhirnya kepada ke-ilahi-an.
Alam semesta berada dalam suatu perjalanan yang penuh makna dari perealisasian-diri. Manusia adalah bagian dari perjalanan ini, sekaligus sebagai penjaga kesakralan alam semesta. Namun, manusia bukanlah satu-satunya yang ada dari proses penciptaannya, sehingga manusia tidak bisa bersikap tamak dan tidak memperdulikan ciptaan lainnya. Manusia adalah mahkluk kosmik (Cosmic Man), yang berbagi dengan keseluruhan semesta dimensi transendensi dan dorongan untuk merealisasikan diri. Dengan demikian, kesadaran ekologis niscaya bagi manusia dalam eco-philosophy.

Bibliografi
Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.
Sudarminta, J.. Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Tjahjadi, S.P. Lili. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Tucker, Maria Evelyn & John A. Grimm (edt). Agama, Filsafat & Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Skolimowski, Henryk. Living Philosophy: Eco Philosophy as A Tree of Life. London: Arkarna/Penguin Books, 1992.
http://www.oocities.org/ecophilosophy/texts/ecoph.html
http://www.oocities.org/ecophilosophy/articles/sanctury.html




[1] Bagian ini saya sarikan dari beberapa sumber; Sudarminta, J., Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 1997; Tjahjadi, S.P. Lili, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 129-139; Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983, hal.131-133; Tucker, Maria Evelyn & John A. Grimm (edt), Agama, Filsafat & Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003, 239-259.

[2] Bdk. Skolimowski, Henryk, Living Philosophy: Eco Philosophy as A Tree of Life, London: Arkarna/Penguin Books, 1992, hal. 37.

[3] Ibid.

[4] Bdk. Ibid, hal.39.

[5] http://www.oocities.org/ecophilosophy/texts/ecoph.html

[6] Bdk. Materi Presentasi kuliah Eco-Philosophy dari sdr. Roger Metchel Paath, yang disarikan dari buku Henryk Skolimowski, Philosophy for a New Civilisation”, Bab 16: “Eco-Mind and Thinking Reverentially”.

[7] Ibid.

[8] Bagian ini diuraikan dari unduhan; http://www.oocities.org/ecophilosophy/articles/sanctury.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t