Langsung ke konten utama

Budaya Organisasi, Implikasi Etika Keutamaan dalam Dunia Bisnis


-->
Dewasa ini, budaya organisasi (corporate culture) atau etos bisnis telah menjadi semacam kata kunci dalam dunia bisnis. Banyak perusahaan besar telah mengembangkan nilai budaya organisasi dan pada akhirnya berhasil sukses dan bertahan lama.[1] Sejalan dengan itu, budaya organisasi juga telah memberikan jawabannya bagi dunia bisnis yang seringkali dipandang bersifat ‘amoral’. Dunia bisnis berjalan bukan sekedar dengan mengutamakan ‘keuntungan’, tapi berkembang dengan visi dan misi yang luhur. Oleh karena itu, bisnis berjalan juga dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral (etis). Bisnis, dengan demikian, telah menemukan bentuknya yang paling asali yang hadir dalam kelekatannya dengan moralitas; dengan etika.
Dalam dunia bisnis, budaya organisasi dibangun sebagai landasan nilai-nilai (visi dan misi) bagi perusahaan. Nilai-nilai itu dihayati, dipraktekkan, dan diteruskan dari generasi ke generasi dalam kegiatan bisnis perusahaan demi tercapainya tujuan-tujuan yang dicanangkannya. Dalam hal ini, budaya organisasi merupakan implikasi dari etika keutamaan (kebajikan) Aristoteles, yang meletakkan nilai-nilai dasar bagi suatu tujuan yang ingin dicapai lewat pembentukan kharakter.

Bisnis sebagai profesi etis

Bisnis adalah bisnis, terbedakan dengan etika. Bisnis dan moralitas atau etika tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis, dan malahan membuat pelaku bisnis kalah dalam persaingan bisnis yang ketat. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan imbauan-imbauan, norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Aturan yang dipakai dalam bisnis dianggap penuh persaingan, berbeda dari aturan yang dikenal dalam kehidupan sosial sehingga tidak bisa dinilai dengan aturan moral dan sosial. Jadi, orang bisnis yang mau mematuhi aturan moral atau etika akan berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Demikianlah beberapa ungkapan yang sering terdengar menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Inilah ungkapan-ungkapan yang oleh De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’.[2]
“Kerja orang bisnis adalah berbisnis bukan beretika”. Pernyataan yang terkesan dangkal menyimpulkan gambaran dunia bisnis—sebagaimana ditunjukkan oleh ungkapan-ungkapan di atas—tentu saja sangat sulit dipertanggungjawabkan secara mendasar kebenarannya. Dewasa ini, ungkapan tersebut hanya tinggal sebagai ‘mitos’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis tak mungkin dilepaskan dari moralitas dan etika. Seperti dikatakan De George “bisnis seperti kebanyakan kegiatan sosial lainnya, mengandaikan suatu latar belakang moral, dan mustahil bisa dijalankan tanpa latar belakang moral seperti itu.”[3]
Memang benar bahwa; dalam pemahaman bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual, dan membeli barang dan jasa untuk ‘memenuhi kebutuhan masyarakat’, keuntungan tetap tak tertangguhkan sebagai keharusan dalam bisnis.[4] Keuntungan merupakan tujuan niscaya dari bisnis; fair dan wajar. Namun, keuntungan bukanlah tujuan utama bisnis. Tujuan utama bisnis, sebagaimana diungkapkan oleh Adam Smith, ialah bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain, dan hanya lewat itu seseorang bisa memperoleh apa yang dibutuhkannya. “Berikanlah apa yang saya inginkan, dan Anda akan memperoleh [dariku] ini yang Anda inginkan”.[5] Keuntungan hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dari kegiatan bisnis; yaitu, dengan memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik, keuntungan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa terikat dengan membeli barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga yang baik.
Di samping itu, bisnis sebagai praksis, merupakan kegiatan individu. Bisnis menjadi ruang tempat individu beraktivitas dengan lingkungan dan sesamanya dalam bidang bisnis. Oleh karena kegiatan bisnis adalah kegiatan manusia, maka bisnis dapat dan memang pada tempatnya untuk dinilai dari sudut pandang moral, dari sudut pandang baik buruknya tindakan manusia bisnis sejauh sebagai manusia, persis sama seperti semua kegiatana manusia lainnya juga dinilai dari sudut pandang moral. Dengan demikian, bisnis tidak lepas dari etika yang merupakan refleksi kritis atas manusia yang bertindak.
Dengan demikian, bisnis memiliki etika. Hal ini juga berarti bisnis memiliki prinsip-prinsip etika (terapan atau profesi), yang merupakan penerapan prinsip etika pada umumnya—tanpa melupakan kekhasan sisem nilai dari setiap masyarakat bisnis—.[6] Dan dalam hal ini, operasional dari prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral dunia bisnis itu termanifestasikan dan tersalurkan lewat apa yang disebut ‘budaya organisasi’/’budaya perusahaan’ (corporate culture) atau etos bisnis.

Budaya Organisasi (corporate culture)

Stephen P. Robbins mendefinisikan budaya organisasi sebagai persepsi umum yang dimiliki oleh para anggota suatu organisasi ; suatu sistem nilai yang dianut bersama oleh para anggota di dalam organisasi, sehingga membedakan organisasi tersebut dari organisasi-organisasi yang lain.[7] Dalam hal ini, budaya organisasi atau etos bisnis merupakan suatu kebiasaan atau budaya moral menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke generasi yang lain. Inti etos ini adalah pembudayaan atau pembiasaan penghayatan akan nilai, norma, atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan yang sekaligus juga membedakannya dari perusahaan yang lain. Wujudnya bisa dalam bentuk pengutamaan mutu, pelayanan, disiplin, kejujuran, tanggung jawab, perlakuan yang fair tanpa diskriminasi, dan lainnya.[8]
Umumnya budaya organisasi ini mulai pertama dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pendiri suatu perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik.visi ini sebenarnya didasarkan pada nilai tertentu yang dianut oleh pendiri perusahaan itu yang lalu dijadikan prinsip bisnisnya dan yang kemudian menjadi sikap dan perilaku bisnis dalam kegiatan bisnisnya sehari-hari dan menjadi dasar keberhasilannya. Visi dan prinsip ini kemudian diberlakukan bagi perusahaannya, yang berarti visi ini kemudian menjelma menjadi sikap dan perilaku organisasi dari perusahaan tersebut baik ke luar maupun ke dalam. Maka, terbangunlah sebuah budaya, etos atau kebiasaan yang ditanamkan kepada semua karyawan sejak diterima masuk dalam perusahaan maupun terus-menerus dalam evaluasi dan penyegaran selanjutnya dalam perusahaan tersebut. Budaya inilah yang menjadi jiwa yang menyatukan sekaligus juga menyemangati seluruh karyawan untuk bersikap dan berpola perilaku yang kurang lebih sama berdasarkan prinsip yang dianut oleh perusahaan tersebut.[9]
Misalnya, Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Inc., dalam bukunya yang terkenal “Not For Bread Alone” mengungkapkan misi luhur perusahaannya yang tidak sekadar mencari keuntungan. Misi perusahaannya itu ialah, meningkatkan standar hidup masyarakat, menyejahterakan masyarakat, dan membuat hidup manusia lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka secara baik. Karena yang utama adalah memenuhi kebutuhan hidup manusia, dalam bisnis, perhatian terutama ditujukan pada konsumen dan juga karyawan perusahaan tersebut. Ini menjadi budaya organisasi atau etos bisnis yang dihayati oleh semua karyawan sejak masuk dalam perusahaan tersebut dan sekaligus menjadi keunggulan dan ciri khas perusahaan.[10]
Biasanya budaya organisasi ini direvisi terus-menerus sesuai dengan perkembangan perusahaan dan juga perkembangan bisnis serta masyarakat. Demikian pula, budaya organisasi ini dapat berubah, dalam arti ke arah yang lebih baik, sesuai dengan visi yang dianut oleh setiap pemimpin yang silih berganti memegang perusahaan tersebut—walaupun pada umumnya prinsip dasarnya tidak berubah—.[11]

Budaya Organisasi sebagai Implikasi dari Etika Keutamaan

Etika Keutamaan atau kebajikan (virtue ethics) Aristoteles pada dasarnya memberi arahan dengan pertanyaan-pertabyaan; “How Should I live?” dan “What kind of person should I be?”. Dalam hal ini, etika keutamaan mengetengahkan pentingnya pembentukan atau pembangunan moral daripada ketergantungan pada aturan-aturan moral yang spesifik. Melalui nilai-nilai budaya bersama, seseorang dibentuk dengan kharakter yang baik dan menetap, serta diubah kecenderungan alamiahnya menjadi kecenderungan yang baik.
Etika keutamaan terutama berakar pada nilai-nilai suatu tradisi budaya bersama. Setiap pribadi dalam masyarakatnya dibentuk dan membentuk dirinya berdasarkan nilai-nilai bersama melalui ‘contoh-contoh’ (eksemplar) yang sudah ada terlebih dahulu. Dengan kata lain, etika keutamaan mengkomunikasikan nilai-nilainya melalui contoh-contoh terdahulu; berupa kisah-kisah sukses dan bernilai yang sudah terjadi.
Dalam hal ini, nampak bahwa budaya organisasi merupakan implikasi etika keutamaan dalam dunia bisnis. Sebagaimana dalam etika keutamaan, budaya organisasi merupakan budaya bersama yang berlandaskan satu visi dan misi yang senantiasa diupayakan oleh anggotanya demi tercapainya tujuan yang diharapkan bersama. Budaya organisasi dengan nilai-nilainya dikomunikasikan juga melalui kisah-kisah terdahulu dari generasi ke generasi.
Dalam budaya organisasi, pada awalnya ada nilai yang dianut dan dijunjung tinggi oleh pendiri perusahaan dan (diperkaya) staf manajemen. Nilai kemudian menjadi prinsip dan kode etik perusahaan yang menentukan sikap dan pola perilaku seluruh perusahaan dalam kegiatan bisnisnya sehari-hari. Nilai dalam prinsip dan kode etik perusahaan ini pun diteruskan dari masa ke masa dan diwariskan dari generasi ke generasi, untuk menjaga visi dan misi yang sudah dibentuk demi tujuan bersama dan kekhasan perusahaan.
Jika etika keutamaan menekankan pentingnya sejarah dan kisah-kisah—yang mana baik atau buruk peristiwa di masa lampau ‘diarsipkan’ sebagai bahan perbandingan dan pembentukan kehidupan komunitas di masa yang akan datang—maka di dalam bisnis, nilai-nilai moral itu dikomunikasikan melalui kisah-kisah tentang (para) pendiri perusahaan atau cerita-cerita kepemimpinan yang menyemangati para anggota suatu perusahaan. Jelaslah bahwa budaya oraganisasi (corporate culture) merupakan implikasi etika keutamaan Aristoteles dalam dunia bisnis.
Namun, sebagaimana etika keutamaan, budaya organisasi cukup sulit bertahan dalam kondisi multikultural, apalagi ketika perusahaan kurang adaptif terhadap lingkungannya. Lingkungan multikultural memberikan tantangan tersendiri bagi perusahaan dalam meneruskan tradisi nilai dalam budaya organisasinya—salah satu contohnya; tantangan relativisme moral; nilai mana yang pantas jadi landasan?—. Heterogenitas lingkungan luar, memberikan kesulitan bagi perusahaan dalam menyatukan atau menyetarakan visi dan misi yang diusung perusahaan. Perusahaan dalam interaksinya dengan dunia luar yang heterogen itu dapat terpengaruh atau bahkan tersisihkan dari lingkungannya. Maka, perusahaan harus cukup adaptif dan cekatan dalam menjaga dan melestarikan tradisinya.
***
Daftar Pustaka
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
B.M.S. Suryasudarma, “Budaya organisasi sebagai Faktor Kunci Keberhasilan di dalam dunia Industrial”( Romo Kadarman, Kenangan dan Persembahan), Yogyakarta: Kanisius, 1996.
[1].


[1] Mis. Matsushita Inc., IBM, Johnson and Johnson dengan Kredo-nya, dan keyakinan perusahaan Borg-Wagner.
[2] Richard T. De George, Business Ethics, hlm.3-5 [dikutip dari; A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm.55].
[3] Ibid, hlm. 9.
[4] Keuntungan seringkali menjadi pangkal dari permasalahan label ‘amoral’ dari bisnis. Keuntungan pada dirinya tak buruk. Keuntungan menjadi ‘buruk’ dalam upaya pencapaiannya yang menggunakan/menghalalkan berbagai macam cara.
[5] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes the Wealth of Nations,(1776), New York: Modern Library, 1965. [dikutip dari; A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm.50].
[6] Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip itu erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat.
[7] B.M.S. Suryasudarma, “Budaya organisasi sebagai Faktor Kunci Keberhasilan di dalam dunia Industrial”( Romo Kadarman, Kenangan dan Persembahan), Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 81.
[8] A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm.81.
[9] Ibid. hlm. 82.
[10] Ibid. hlm.51
[11] Ibid. hlm 82

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t