Langsung ke konten utama

Arthur Schopenhauer, Musik Sebagai Seni Tertinggi




Dunia adalah Kehendak dan bayangan (idea atau representasi). Melalui pernyataan itu, Schopenhauer ingin menyatakan bahwa ‘Kehendak’ adalah realitas noumenal sebagai dasar, sedangkan bayangan adalah manifestasinya di dunia fenomenal. Jadi, menurut Schopenhauer realitas pada hakikatnya berupa Kehendak. Dibalik dunia pengalaman kita, yakni dunia empiris, terdapat ‘Kehendak’ tersebut. Yang kita tangkap di dunia fenomena adalah ‘gejalanya’, yakni ide (Vorstellung) dari Kehendak transendental itu. Segala gejala alam semesta sebenarnya merupakan ungkapan atau manifestasi (fenomena) dari sebuah Kehendak. Dan menurutnya, jika dunia dipandang sebagai Kehendak, maka hidup adalah penderitaan. Hal ini disebabkan oleh Kehendak itu adalah sebuah dorongan buta yang tidak akan pernah mencapai kepuasan dan tujuannya.
Oleh karena itu, Estetika yang dikemukakan oleh Schopenhauer merupakan jalan keluar dari penderitaan, walaupun sifatnya hanya sementara. Penderitaan dalam hidup bisa disembuhkan oleh seni. Manusia yang hidup dalam keadaan patologis, dapat diangkat oleh keindahan seni. Schopenhauer menyebut seni-seni yang dapat mengatasi problem ini, seperti arsitektur, seni lukis, seni pahat atau patung, puisi dan musik. Dan, ia sangat meninggikan seni musik dalam filsafat Kehendaknya. Musik menjadi puncak dari segala bentuk seni yang lain.

Latar Belakang Arthur Schopenhauer[1]

Arthur Schopenhauer dilahirkan di kota Danzig (sekarang Polandia) pada tahun 1788 dan wafat tahun 1860. Ia tumbuh di keluarga pebisnis. Ayahnya adalah seorang pengagum Voltaire dan sangat menghormati negara Inggris. Ia dididik di Jerman, Prancis, dan Inggris. Pada 1793, ketika Prussia merebut kota Danzig, keluarga Schopenhauer pindah ke Hamburg, Jerman (Prussia pada masa itu). Empat tahun kemudian, 1797, ia pindah ke Paris, Prancis. Dan setelah enam tahun berikutnya, 1803, ia tinggal di Inggris, di sebuah asrama sekolah. Namun hanya enam bulan bertahan, karena ia tidak menyukai sekolah Inggris dan bahasanya, ia kembali ke Hamburg untuk mencoba karirnya di dunia bisnis.
Ayahnya mempersiapkan Schopenhauer sebagai seorang eksekutif international business. Akan tetapi, setelah ayahnya meninggal, Schopenhauer berbalik arah mengikuti ibunya menjadi seorang filsuf dan sastrawan. Mereka pindah ke Weimar. Ketika berusia 21 tahun, dan setelah menerima sejumlah warisan, Ia melanjutkan studinya di Universitas Gottingen pada tahun 1809. Di situ ia berkenalan dengan filsafat Immanuel Kant. Pada 1811, ia pindah ke Berlin untuk belajar sains. Ia menghadiri beberapa kuliah Fichte, namun kurang menerima dan menghargai filsafatnya. Ia menyelsaikan kuliahnya pada tahun 1813. Dia menulis disertasi doktoralnya dengan judul “Uber die Vierfache Wurzel des Satzes vom zureichen den Grunde” (Tentang Akar Ganda Empat dari Asas tentang Alasan yang Memadai), yang mereduksi kategori apriori Kant manjadi satu, yakni kausalitas.
Setelah ayahnya wafat, ia pindah ke Weimar dengan ibunya yang kemudian membuka salon sastra. Di sana ia bertemu dengan orang-orang terhebat abad itu yang puisinya terkenal sepanjang masa. Ia bertemu dengan Goethe dan keduanya berteman. Suatu ketika ia bertengkar dengan ibunya dan kemudian ia pindah ke apartemen. Tahun 1813 ia berkenalan dengan agama Hindu dan membaca Upanishad. Dari tahun 1818 sampai 1819 ia menulis magnum opus-nya, “Die Welt als Wille und Vorstellung” (Dunia sebagai Kehendak dan Presentasi).
Pada tahun 1819, Schopenhauer mulai memberikan kuliah sebagai dosen privat di Universitas Berlin. Pada saat itu, Hegel talah menjadi dosen yang termashyur di Universitas Berlin. Ia malah menantang Hegel dengan menempatkan waktu kuliah-kuliahnya sama dengan kuliah Hegel. Namun, Schopenhauer gagal menarik para pengikut Hegel dan pada akhirnya meninggalkan universitas. Sejak tahun 1833 ia menetap di Frankfurt, sampai akhir hayatnya. Pada masa-masa itu, Schopenhauer sering melakukan perjalanan dan menulis esai-esai dan etika dan kebebasan. Pada tahun 1836, Schopenhauer menerbitkan karyanya “Uber den Willen in der Natur” (Tentang Kehendak dalam Alam) dan “Die beiden Grund problem der Ethik” (Kedua masalah pokok Etika). Pada awalnya, tulisan Schopenhauer tidak begitu banyak mendapat perhatian, namun memasuki masa tuanya, tulisan-tulisannya mulai dibaca oleh banyak orang karena isi dan gaya bahasanya yang menarik. Tahun 1853, The Westminster Review, menerbitkan kritik tanpa nama untuk tulisan-tulisan Schopenhauer. Ia meninggal karena serangan jantung di Frankfurt pada 21 September 1860. Karya-karyanya berpengaruh kepada Soren Kierkergaard, Nietsche, Thomas Mann, dan Freud. Bahkan, Adolf Hitler mengatakan bahwa ia terinspirasi oleh Schopenhauer.

Dasar Pemikiran Schopenhauer[2]

Filsafat Schopenhauer hadir sebagai suatu reaksi terhadap filsafat Hegel. Dalam Hegel masih ditemui suatu optimisme rasional; segala ‘Ada’ akhirnya bersifat rasional, bermakna dan dapat dimengerti. Schopenhauer berbeda dalam hal rasionalitas dan kebermaknaan Ada tersebut; dasar ada tidak lagi rasional, melainkan irasional, dan tidak berbentuk kesadaran melainkan ketidaksadaran. Karya utama Schopenhauer, yang membuatnya terkenal, “Die Welt als Wille und Vorstellung” (Dunia sebagai Kehendak dan Presentasi) bermula dengan penilaian tentang hakekat dan batas-batas pemahaman, tetapi tidak dengan pernyataan-pernyataan dogmatis tentang prinsip-prinsip metafisika.
Seperti Kant, Schopenhauer berpendapat bahwa rasio tidak dapat mengetahui ‘benda dalam dirinya sendiri’ (das Ding an sich), namun kita memiliki jalan lain menuju realitas, yang tidak bersifat intelektual, yakni lewat ‘Kehendak’ (will). Bagi Schopenhauer, Kehendak adalah kategori metafisika yang paling mendasar, akar dari segala yang kita anggap ‘nyata’ (fenomenal). Menurutnya, hanya dalam tindakan-tindakan Kehendak itulah kita dapat merealisasikan diri sendiri sebagai mahkluk yang punya eksistensi.
Jadi, Kehendak adalah realitas transendental, artinya realitas noumenal, realitas di belakang fenomena atau pengalaman yang kita rasakan. Realitas pada hakikatnya berupa Kehendak. Di belakang dunia pengalaman kita terdapat Kehendak transendental itu. Yang kita tangkap adalah fenomena, yang berupa ‘gejala’ atau dalam bahasa Schopenhauer, ide/presentasi/bayangan (Vorstellung) dari Kehendak transendental itu. Dunia adalah Kehendak dan bayangan (imajinasi); Kehendak adalah realitas noumenal, sedangkan bayang-bayang adalah manifestasinya di alam fenomenal.

· PengaruhKant

Dengan berpangkal dari Kant, Schopenhauer menemukan bahwa segala sesuatu merupakan manifestasi dari Kehendak. Perbedaan utama antara Kant dan Schopenhauer terletak dalam ajaran tentang benda dalam dirinya sendiri (das Ding an sich). Pada dasarnya Kant menegaskan bahwa apa yang kita ketahui dari segala sesuatu hanyalah presentasi-presentasi saja (fenomenon). Dalam hal ini, Kant membedakan antara dunia sejauh dikenal oleh kita, yaitu bidang-bidang gejala, penampakan/presentasi (fenomenon) atau Ding fur mich dengan dunia di belakang gejala, benda dalam dirinya sendiri (noumenon) atau Ding an sich. Menurutnya dunia ‘benda-benda di dalam dirinya sendiri’ betul-betul ada, tetapi bagi kita hanya hadir sebagai ‘ide’. Schopenhauer menerima distingsi ini, tetapi ia tidak setuju bahwa benda-benada di dalam dirinya sendiri, bidang ‘noumenon’ tidak dapat dikenal. Menurut Schopenhauer hati manusia merupakan pintu masuk ke dunia ‘noumenon’. Dunia yang sungguh-sungguh tidak hanya ditemukan sebagai ‘ide’, melainkan juga dalam hati kita sendiri sebagai Kehendak.

· Dunia sebagai Presentasi

Dalam disertasi doktoralnya, Schopenhauer berpendapat bahwa dunia fenomenal yang kita alami adalah objek dari subjek. Dengan kata lain, Schopenhauer menyatakan bahwa dunia fenomenal yang sejauh kita alami dan kenal merupakan presentasi-presentai atau gambaran-gambaran mental kita. Hal ini Nampak sebagai usaha kembali kepada Kant, dimana diakui adanya ‘das Ding an sich’.
Dalam karya utamanya, “Die Welt als Wille und Vorstellung” (Dunia sebagai Kehendak dan Presentasi), Schopenhauer semakin memperdalam pandangannya. Pandangan yang dituangkannya dalam buku tersebut diawali dengan kalimat; “The world is my representation…”. Melalui kalimat ini, Schopenhauer ingin menyatakan bahwa seluruh kenyataan yang tampak adalah presentasi-presentasiku tentangnya, atau objek bagi subjek. Dalam hal ini, Schopenhauer ingin menghindari pandangan Hegel yang menyatakan bahwa kenyataan itu ideal, dan sebaliknya menekankan bahwa kenyataan itu fenomenal.
· Dunia sebagai Kehendak
Schopenhauer menolak pendapat Kant yang menyatakan bahwa dunia numenal atau kenyataan pada dirinya yang terlepas dari persepsi kita itu tidak dapat diketahui. Schopenhauer kemudian menyatakan bahwa ‘das Ding an sich’ itu adalah ‘Kehendak’. Dalam usaha mencapai kesimpulan tersebut, Schopenhauer menggunakan intuisi untuk mengenal kenyataan. Manusia menemukan dirinya bahwa Kehendaklah yang menjadi daya pendorong, naik dari yang tak-sadar ke bagian sadar. Oleh karena itu, Kehendak adalah bagian hidup yang terdalam. Bagaian hidup yang terdalam ini dapat menampilkan diri sebagai Kehendak yang lebih tinggi di dalam pikiran, yang menjadi objek di dalam diri manusia, yang menyebabkan adanya gagasan-gagasan tentang dunia. Juga tubuh manusia dapat tampak sebagai gagasan, menjadi objek pandangan akal, menjadi obvjek diantara objek-objek lain. Kehendak tampil sebagai Kehendak yang lebih rendah di dalam gerakan tubuh yang dapat diamati. Di dalam hal ini, Kehendak yang batiniah dan gerakan tubuh yang lahiriah bukanlah dua hal yang berbeda yang dihubungkan secara kausal, melainkan satu dan sama; identik. Dalam pandangan Schopenhauer, gerakan tubuh yang bersifat lahiriah itu tidak lain dari ‘Kehendak yang diobjektifkan’ dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, Schopenhauer menyatakan bahwa gerakan tubuh itu adalah ‘Kehendak sebagai presentasi’.
Kemudian Schopenhauer menjelaskan adanya keanekaan dalam kenyataan sehari-hari, dalam ruang dan waktu, sebagai suatu yang fenomenal saja; maya. Sedangkan ‘das Ding an sich’, menurutnya, haruslah tunggal. Dengan kata lain, di balik keanekaan lahiriah itu ada sebuah kenyataan tunggal yang bersifat numenal. Dan menurut Schopenhauer, kenyataan tunggal itulah yang disebut sebagai Kehendak yang bersifat metafisis. Jadi segala sesuatu yang tampak merupakan penampakan diri dari Kehendak metafisis yang tunggal. Dan Kehendak ini berbicara melalui Kehendak manusia dan Kehendak alam.
Kehendak metafisis pertama-tama berlaku bagi manusia. Menurut Schopenhauer, hakekat manusia tidak terdapat dalam kesadaran atau akal budi. Kesadaran hanyalah sebagian kecil dari hakekat manusia. Kesadaran hanya mewujudkan lapisan atas hakekat manusia. Pikiran-pikiran kita yang telah kita sadari mewujudkan lapisan atas hakekat kita yang dalam. Pertimbangan-pertimbangan kita tumbuh bukan karena penggabungan pikiran-pikiran yang jelas menurut hokum-hukum yang logis, akan tetapi terjadi di bagian dalam yang gelap. Pertimbangan-pertimbangan itu terjadi hampir tanpa kita sadari seperti halnya dengan pencernaan makanan kita. Di dalam bagian terdalam yang bersifat rahasia itu, berkuasalah Kehendak. Kehendak mendorong akal, karena dunia batin kita (termasuk akal budi) dikuasai oleh Kehendak. Karena Kehendak yang tidak disadari itulah manusia didorong untuk hidup. Jadi, menurut Schopenhauer, manusia tidak ditarik oleh kesadarannya, melainkan didorong oleh Kehendak yang tidak sadar. Dengan ini Schopenhauer menegaskan posisinya yang menolak Hegel, yang menyamakan realitas dengan rasio atau roh. Bagi Schopenhauer, yang sungguh-sungguh nyata bukanlah rasio, melainkan Kehendak.
Manusia didorong oleh Kehendak untuk hidup (der Wille zur Leben). Schopenhauer memahaminya sebagai suatu Kehendak buta, yaitu suatu dorongan untuk hidup, suatu Kehendak purba (Urwille). Segala sesuatu merupakan penampakan Kehendak yang satu dan sama. Kehendak ini sama sekali tak dapat berubah dan mendasari segala gagasan kita. Ingatan, badan dan watak, semua itu ditentukan sebagai ‘melodi dasar’ hidup kita. Demikianlah Schopenhauer melihat bahwa pada hakekatnya manusia adalah Kehendak.
Akan tetapi, Kehendak metafisis tidak hanya menjadi daya pendorong di dalam manusia. Schopenhauer juga menyatakan bahwa Kehendak juga menjadi daya pendorong di dalam seluruh dunia, anorganis, yaitu sebagai Kehendak-dunia. Kehendak-dunia juga berkembang dari yang sadar ke yang-tak-sadar, sedang tiap tahap dalam perkembangan ini memiliki pengalamannya sendiri-sendiri. Semula keluarlah dari Kehendak-dunia yang-tak-sadar itu alam yang tidak organis, kemudian alam tumbuh-tumbuhan dan alam binatang. Kemudian dalam tahap alam manusia Kehendak-dunia sampai pada kesadaran diri.
Demikianlah Kehendak yang metafisis menampakkan diri sebagai asas dunia. Oleh karena itu, segala gejala atau penampakan yang mengelilingi manusia dalam ruang dan waktu harus dipandang sebagai penjelmaan Kehendak. Kekuatan yang menggerakkan planet-planet, kekuatan yang mendorong elemen-elemen untuk membentuk hubungan-hubungan kimiawi, kekuatan di bawah keinginan untuk hidup, semuanya itu merrupakan manifestasi dari Kehendak.
Kehendak ini paling nyata dalam keinginan untuk meneruskan diri dalam keturunan. Melalui prokreasi jenis-jenis mahkluk hidup memperlihatkan keinginan untuk mengatasi batas kematian. Schopenhauer dalam hal ini memberikan suatu ‘metafisika cinta seksual’, yang merupakan bagian dari filsafatnya yang terkenal. Menurutnya, yang mendorong dua individu untuk kawin adalah Kehendak hidup dari jenis. Cinta kasih itu hanya suatu alat dari alam untuk mempertahankan jenis-jenis. Individu-individu bertindak atas dasar Kehendak alam.
Schopenhauer kemudian menegaskan bahwa dorongan pembiakan, yang menjadi penjelmaan paling kuat dari Kehendak itu, bahakan mengalahkan maut (kematian perorangan). Maka, menurutnya, pusat Kehendak berada di dalam genitalia, yaitu tempat dorongan (nafsu) seksual. Jadi, dua orang yang berbeda jenisnya begitu tertarik satu sama lain, tifak lain karena Kehendak untuk hidup yang ada di dalam jenisnya. Di dalam cinta seksual itu, orang perorangan menjadi alat bagi jenisnya.
Schopenhauer juga menyatakan bahwa di bawah sejarah pada umumnya terdapat suatu Kehendak. Di bawah semua perbedaan antara bangsa-bangsa, zaman-zaman, adat istiadat hanya terdapat satu bangsa manusia. Tidak ada kemajuan yang sungguh-sungguh. Sejarah itu peredaran. Oleh karena itu, dalam semua zaman diumumkan hikmat yang sama oleh orang-orang saleh dan dilaksanakan kebodohan yang sama yang berlawanan dengan hikmat itu.

· Pesimisme Metafisis

Bertolak dari pandangannya mengenai Kehendak, Schopenhauer dengan tegas menolak optimisme Fichte, Schelling dan Hegel yang begitu yakin akan sukses rasio dalam sejarah. Menurutnya, jika dunia dipandang sebagai Kehendak, maka hidup adalah penderitaan. Hal ini disebabkan oleh Kehendak itu adalah sebuah dorongan buta yang tidak akan pernah mencapai kepuasan dan tujuannya. Schopenhauer menyebutnya sebagai ‘Kehendak yang kejam’, karena dalam setiap kesempatan selalu menimbulkan penderitaan bagi hidup manusia. Kehendak itu selalu berjuang, tapi tidak pernah mencapai apa-apa. Oleh sebab itu, hidup itu sia-sia dan hanya penuh rasa frustasi. Dan hal itu nampak dalam usaha terus-menerus manusia untuk mencapai kebahagiaan. Pada kenyataan adalah penderitaan. Kebahagiaan hanya bersifat negatif. Kebahagiaan adalah tidak hadirnya penderitaan. Oleh karena itu, Schopenhauer menyebut Kehendak metafisis sebagai ‘Kehendak yang menganiaya’.

· Jalan Pelepasan

Demikianlah manusia dibelenggu oleh Kehendaknya. Agar manusia dapat bahagia, ia harus membebaskan diri dari belenggu Kehendaknya dan dari perbudakan Kehendak perorangan. Hal ini mugkin, menurut Schopenhauer, karena manusia dapat menjadi pelaku atau subjek pengetahuan yang murni, tanpa dibelenggu Kehendaknya. Menurut Schopenhauer, pengetahuan yang demikian dapat dicapai melalui musik. Musik merupakan proyeksi Kehendak sendiri, jadi dari hakekat dunia. Melalui musik Kehendak ini berbicara, sehingga kita untuk sementara diangkat dari dunia maya. Namun, musik tidak hanya sementara, dan tidak juga membebaskan kita dari dunia.
Dan menurut Schopenhauer, jalan yang lebih baik menuju pembebasan itu adalah jalan etika, berupa askese seperti yang ada dalam Budhisme dan Hinduisme (Vedanta). Keduanya mengajarkan bahwa keinginan untuk hidup harus dimatikan, supaya manusia betul-betul lepas dari Kehendaknya sendiri. Bunuh diri bukanlah jalan keluar, karena bunuh diri hanya akan menghancurkan tubuh fenomenal, tetapi tidak menghancurkan Kehendak itu sendiri. Satu-satunya jalan adalah dengan membelokkan Kehendak, sehingga ia melawan dirinya sendiri; dan dengan serangkaian usaha penolakan atau penyangkalan untuk menghapus Kehendak-Kehendak tersebut. Kalau Kehendak sendiri, ‘aku’, dihapuskan, lalu manusia bisa hancur dalam keseluruhan, masuk dalam kebahagiaan, lepas dari peredaran, masuk ke dalam ‘moksa’ atau ‘nirwana’.

· Pengaruh Filsafat Timur

Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh Plato dan Vedanta (Hindu Kuno). Bagi Schopenhauer, pembebasan diri dari Kehendak hanya bisa dicapai lewat ‘kontemplasi estetis’ dan ‘askese’. Namun kontemplasi estetis pun hanya bersifat sementara waktu saja, seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles dengan teori ‘katharsis’. Kontemplasi estetis hanya dapat sementara waktu saja melindungi kita dari keresahan dorongan Kehendak serta keinginan. Konkretnya kita harus berani menghadapi tantangan itu secara langsung.
Masalah yang paling jelas adalah bahwa manusia itu merupakan budak Kehendak, dan Kehendak itu adalah Kehendak untuk hidup. Kita mau hidup, itulah kesalahannya; itulah sumber keresahan danb penderitaan kita. Kehendak transendental yang bermanifestasi sebagai Kehendak itu yang terus mendesak kita, sehingga kita tak dapat tenang dan menjadi sumber penderitaan. Jadi, hakikat hidup adalah penderitaan, karena kehidupan adalah ke-tak-tersampaian. Hidup berarti maju terus. Sumber malapetaka adalah hidup itu sendiri. Hidup itu sendiri adalah semacam ‘dosa asal’. Oleh karena itu, bagi mahkluk yang berakal budi hanya ada satu jalan keluar, yakni penolakan atau penyangkalan diri.
Pemikiran tersebut menunjukkan betapa Schopenhauer mengagumi ajaran Vedanta (Hindu Kuno) yang sangat dekat dengan ajaran Budhisme. Vedanta dan Budhisme mengajarkan pemurnian diri lewat penyangkalan Kehendak sendiri. Dengan melepaskan Kehendak, manusia akan dapat menemukan ketenangan dan masuk ke dalam suatu kondisi yang disebut ‘moksa’ nirwana atau pelepasan.

Estetika Schopenhauer[3]

Estetika yang dikemukakan oleh Schopenhauer adalah sebagai jalan keluar dari penderitaan, walaupun sifatnya hanya sementara. Penderitaan dalam hidup bisa disembuhkan oleh seni. Manusia yang hidup dalam keadaan patologis, dapat diangkat oleh keindahan seni. Schopenhauer menyebut seni-seni yang dapat mengatasi problem ini, seperti arsitektur, seni lukis, seni pahat atau patung, puisi dan musik. Ia sangat meninggikan seni musik dalam filsafat Kehendaknya, dan musik menjadi puncak dari segala bentuk seni yang lain.

· Musik sebagai Seni Tertinggi

Menurut Schopenhauer, musik itu berdiri sendiri, berbeda dari seni-seni yang lainnya. Seni-seni yang lain mengulangi atau menyalin ide tentang eksistensi. Schopenhauer menyatakan bahwa seni-seni yang lain merupakan ungkapan dari Kehendak, sedangkan musik adalah Kehendak itu sendiri. Musik memiliki pengaruh yang sangat kuat pada inti kodrat manusia. Oleh karena itu, musik dimengerti dalam kesadaran sebagai ‘bahasa universal’.
Semua seni mempengaruhi kita secara menyeluruh dengan cara yang sama. Akan tetapi, tetapi pengaruh musik lebih kuat, lebih cepat, lebih bernilai, dan tak dapat salah. Selain itu hubungan representasinya dengan dunia lebih dalam dan tepat, karena musik dapat dimengerti oleh setiap orang. Titik banding antara musik dan dunia sangat jelas. Manusia memainkan musik sepanjang masa tanpa dapat menjelaskannya. Untuk mengerti musik secara langsung, orang meninggalkan semua klaim terhadap pemahaman langsung tersebut.
Ide merupakan objektivasi Kehendak yang mencukupi. Semua seni menggunakan representasi hal-hal pertikular untuk membangkitkan pengetahuan ini. Semua seni mengobjektivasikan Kehendak secara tidak langsung dengan menggunakan ide. Dunia merupakan manifestasi ide dalam penggandaan lewat ‘prinsip alasan memadai’ (principium individuationis). Prinsip ini dipakai oleh Schopenhauer untuk membedakan individu dari individu yang lain sebagai pengetahuan yang mungkin. Musik tidak tergantung pada dunia fenomenal, karena dunia adalah perwujudan ide; dan musik melampaui ide-ide. Seandainya dunia sudah tidak ada, musik tetap dapat ada. Musik tidaklah seperti seni lainnya sebagai tiruan, yakni sebagai ide. Musik merupakan objektivasi serta kopi seluruh Kehendak serperti dunia itu sendiri. Karenanya dampak musik menjadi begitu kuat dan langsung. Musik tidak berbicara tentang bayangan, melainkan tentang dirinya sendiri.
Musik adalah bahasa tentang perasaan dan penderitaan manusia, sedangkan kata-kata merupakan bahasa akal budi. Dalam kodrat manusia yang paling mendasar terdapat suatu Kehendak yang selalu ingin agar Kehendaknya dipuaskan. Kebahagiaan serta kesejahteraan justru terletak di sini. Jika suatu keinginan tercapai, artinya ada suatu kepuasan dan kepuasan ini akan mencari keinginan baru lagi dan lagi. Sedangkan penderitaan adalah jika kepuasan ini tidak terpenuhi.
Dalam musik Kehendak diwakili oleh melodi. Jadi, melodi mengungkapkan berbagai usaha Kehendak, dan kepuasan yang tercermin dalam interval-interval harmonis serta nada dasar. Melodi sebagai pengungkapan perasaan dan Kehendak manusia yang paling dalam merupakan sebuah karya jenius, dan tindakannya melampaui kesadaran biasa. Dalam semua seni konsep-konsep tidaklah bermanfaat serta mencukupi, karena para komponis mengungkapakan inti kodrat manusia paling dalam yang tidak dimengerti oleh akal. Maka dalam semua usaha untuk menjelaskan musik, konsep terlihat tidak mencukupi dan menjadi sangat terbatas. Seperti juga kebahagiaan atau penderitaan yang merupakan rasa puas yang terpenuhi atau rasa puas yang tidak terpenuhi, melodi dalam musik juga menggambarkan hal yang sama. Rasa senang atau gembira digambarkan dengan melodi yang ceria, lincah serta interval konsonan, sedangkan rasa sedih atau penderitaan diwakili oleh melodi yang lambat, melankolis, interval disonan yang menunjukkan kepedihan, keputusasaan atau kegalauan.
Efek mayor dan minor dalam musik memang sangat mengagumkan. Perubahan akord mayor ke minor menimbulkan perasaan yang menyakitkan, seperti rasa sedih, cemas, kasihan dsb. Akord mayor membebaskan kita dari perasaan-perasaan demikian, karena ia mungkin memberikan rasa puas, seperti rasa tegar, gembira, optimis, dst. Sebagai contoh, sebuah karya “Adagio” dalam minor akan mengungkapkan rasa sakit yang mungkin menjadi sebuah ratapan. Musik tarian dalam minor menunjukkan sebuah kebahagiaan yang gagal, kerja keras, serta kesulitan-kesulitan dalam hidup. Seperti dikatakan oleh Schopenhauer sendiri bahwa: “Musik bukan merupakanungkapan sang Kehendak, tetapi adalah Kehendak itu sendiri”.
Jadi, musik tidak memiliki hubungan langsung dengan semua analogi ini, karena musik mengekspresikan esensi kodrat, yakni Kehendak itu sendiri. Musik tidak mengungkapkan rasa senang, dukacita, rasa sakit, rasa cemas dari pikiran tertentu yang partikular. Musik itu sendiri adalah sebuah rasa senang, rasa sakit atau rasa cemas. Musik selalu mengungkapkan esensi kehidupan dan peristiwanya. Karena itu, menurut Schopenhauer sangatlah benar bila memberikan penghargaan tertinggi pada musik sebagai obat bagi penderitaan hidup.
Musik yang menampilkan suasana, aksi, peristiwa yang jelas dan tepat akan menyingkapkan makna tersembunyi (esoteris) dibaliknya. Seseorang yang dapat menyelaraskan dirinya dengan sebuah simponi, akan melihat semua peristiwa hidup dan dunia berlangsung di dalamnya. Dan jika ia mau merenungkannya, maka ia akan melihat bahwa musik bukanlah sebuah kopi dari fenomena, melainkan kopi langsung sang Kehendak; akibatnya ia menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang metafisis atau sesuatu pada dirinya sendiri. Musik menampilkan gambar kehidupan dan dunia dengan makna lebih tinggi, karena melodinya setara dengan esensi roh dari fenomena yang tampil ke permukaan.
Kedalaman musik yang tidak bersifat verbal terletak pada kenyataan bahwa musik memulihkan emosi esensi kodrat manusia serta menjauhkan penderitaan, tanpa realitas sama sekali. Hal yang mendasar dalam musik adalah kenyataan bahwa objek musik bukanlah ide, melainkan Kehendak (will). Pengulangan dalam musik sangat berguna karena untuk benar-benar memahami kita perlu mendengarkan dua atau tiga kali.
Kesenangan yang kita dapat lewat keindahan seni terletak pada kenyataan bahwa Kehendak merupakan sebuah penderitaan yang menyedihkan dan menyakitkan. Tetapi sebagai sebuah kontemplasi ide yang bebas dari penderitaan, Kehendak itu menjadi representasi drama yang sangat bermakna. Seng seniman terikat pada kontemplasi ini sebagai objektivasi Kehendak.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa bagi Schopenhauer, seni bukan merupakan tempelan atau jiplakan saja. Estetikanya tidak dapat dilepaskan dari filsafatnya yang berpusat pada Kehendak. Kehendak adalah dasar dari semua hal, dan juga menjadi sumber penderitaan manusia di dunia ini. Dan manusia yang Kehendakknya tidak terpuaskan akan terus menderita dan mengalami kesengsaraan.
Menurut Schopenhauer, seni membebaskan manusia dari tekanan Kehendak. Kehendak itu mengobjektivasi diri dalam seni. Objektivasi ini terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui ide dalam bentuk seni arsitektur, seni lukis, seni pahat, puisi dan drama. Kedua, secara langsung tanpa perantara, yakni dalam seni musik. Inilah criteria kenapa musik mendapat posisi dan penilaian tertinggi dalam filsafat Schopenhauer.



[1] Dari beberapa sumber, terutama; Ali, Matius, Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Kerindahan, Jakarta: Sanggar Luxor, 2004, hal. 135-137; & http://www.wikipedia.com.
[2] Terutama dari sumber-sumber; Ali, Matius, Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Kerindahan, Jakarta: Sanggar Luxor, 2004, hal. 137-139; Hardiman, F.Budi, Filsaf Moderen: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 214-227; Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Moderen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983, hal. 87-93.
[3] Ali, Matius, Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Kerindahan, Jakarta: Sanggar Luxor, 2004, hal. 140-145.
.........................................................................................................................................................................
Bibliografi
Ali, Matius. Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Kerindahan. Jakarta: Sanggar Luxor, 2004.
Hardiman, F.Budi. Filsaf Moderen: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Hamersma, Harry.Tokoh-tokoh Filsafat Barat Moderen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983.
http://www.wikipedia.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t