Langsung ke konten utama

Setyo Maharso: Pengembang Mulai Was-Was

Sektor properti dinilai mengalami pertumbuhan sangat tinggi beberapa tahun terakhir. Khususnya terhitung pada 2010 lalu, istilah booming properti makin sering terdengar.
Meskipun begitu, sepertinya puncak siklus sudah terlewati dan mulai memasuki fase perlambatan. Di sisi lain, berbagai faktor eksternal khususnya regulasi terkait properti dinilai malah menjadi bumerang. Bagaimana pertumbuhan pasar tahun depan?
Dalam diskusi bersama tim Redaksi Bisnis Indonesia, Ketua Umum DPP Realestat Indonesia Setyo Maharso mengemukakan sudut pandangnya terhadap naik-turunnya pasar properti.

Menurut Anda, bagaimana prediksi pertumbuhan pasar properti pada 2014?

Tahun 2014 itu adalah tahun politik, membawa efek positif dan negatif bagi sektor properti. Positif, karena banyak uang yang beredar di masyarakat terutama jelang pemilu (pemilihan umum). Artinya, dapat menggerakkan daya beli.
Negatif, karena bahkan sejak jelang akhir tahun ini sudah banyak regulasi-regulasi yang berseliweran. Saya berbicara dari sisi pengembang, dari segi pemenuhan pasokan. Regulasi yang ada menyulitkan, khususnya untuk kelas menengah-bawah.
Sebetulnya pertumbuhan yang cukup baik saya rasa akan terjadi pada 2014, bila tidak ada regulasi yang mengejutkan seperti ini. Jangan sampai kita terjatuh karena regulasi yang malah menghancurkan diri kita sendiri.
Dengan kondisi yang ada, properti pada 2014 agak terhambat. Ini bukan disebabkan tahun politik, melainkan karena regulasi yang tidak mendukung.

Bagaimana pertumbuhan properti selama ini?
Berbicara mengenai sektor properti, terkait dengan riwayat tren kenaikan harga. Pada 1998 saat terjadinya krisis, terjadi tren perpindahan ke sektor properti. Lalu pada 2002-2005, mulai terjadi penyesuaian. Dengan latar belakang kondisi krisis ekonomi global, kita meng-create suatu sistem (KPR) untuk memungkinkan pertumbuhan pasar properti. Saat inilah muncul pola KPR inden (pengembangan melalui sistem pesan).
Lalu pada 2008, properti dalam negeri mulai tumbuh. Jadilah, pada 2010-2012 merupakan masa emas sektor properti. Namun, selama 10 tahun sebelumnya sejak 1998-2008, harga properti relatif stabil, dan tidak pernah mengalami kenaikan harga signifikan.
Pada 2013, sebenarnya saya berharap tumbuh dengan baik, jika tidak dengan adanya regulasi-regulasi yang baru dikeluarkan.

Bagaimana Anda menyikapi kebijakan mengenai pengetatan pengajuan KPR oleh Bank Indonesia baru-baru ini?

Aturan LTV yang dikeluarkan tidak menjadi masalah, karena sebetulnya bank mempunyai hitungan sendiri untuk menentukan layak atau tidaknya calon konsumen. Yang dikhawatirkan itu adalah terkait aturan KPR inden, sementara akses pengembang untuk mendapatkan kredit konstruksi tidak ada.
Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, 60% anggota REI atau 1.800 pengembang memiliki permodalan yang pas-pasan, dan sudah merasa kesulitan. Bahkan anggota yang besar pun sudah mulai was-was. Kalau dibiarkan seperti ini, pengembang kolaps dan backlog (kebutuhan rumah) makin besar.
Untuk mengatasi backlog yang katanya sudah lebih dari 15 juta unit rumah ini pemerintah harus memiliki data-data yang akurat. Kalau tidak fokus, dan tidak punya niat untuk mengatasinya, jumlah akan terus bertambah, dan perumahan akan menjadi masalah.

Lalu, langkah apa yang mungkin bisa dilakukan, karena regulasi tersebut telah resmi berlaku sejak 30 September 2013?

Bagi bank, kredit consumer ini merupakan bagian yang paling menarik saat ini. Oleh sebab itu, perlu dicari solusi bersama, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.
Bila dibandingkan antara KPR inden dan kredit konstruksi, sebetulnya KPR inden lebih aman, karena konsumen sudah jelas, izin pembangunan sudah ada, dan tanah juga sudah ada. Kalau tidak bisa dengan KPR inden, ya pengembang akan mencari jalan lain. Artinya, kredit konstruksi harus keluar, karena selama ini tidak berjalan maksimal.
Masalahnya, apakah perbankan bisa mengucurkan kredit konstruksi sesuai dengan kebutuhan. Misalnya saja untuk proyek besar nilainya trilun, apakah bisa dikucurkan uang sebesar itu. Ini yang kita juga belum yakin.

Di saat perekonomian sedang mengalami tekanan diiringi dengan pelemahan rupiah, jenis properti apa yang tetap menjadi pilihan investasi paling menarik tahun depan?

Bagi saya tentu rumah. Kebutuhan akan rumah tidak akan pernah mati selama ada cinta. Artinya, ketika ada cinta, akan muncul keluarga baru. Keluarga ini pasti memunculkan kebutuhan akan rumah. Baik di lokasi mana pun di Indonesia mengalami pertumbuhan permintaan khususnya untuk rumah dengan harga Rp200 juta- Rp600 juta.
Kondisi infrastruktur di daerah ini juga yang mempengaruhi pertumbuhan harga. Kalau ada peluang untuk tumbuh, tentu selain untuk end-user, segmen perumahan ini juga akan menarik bagi kelompok investor. Pertumbuhan harga sulit diprediksi. Inflasi berapa, itu pasti masuk lah.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh salah satu media, properti menjadi pilihan investasi paling menarik tahun depan, dengan kisaran 42,5% investor diprediksi akan berinvestasi di sektor properti. Ini paling tinggi jika dibandingkan emas atau saham.

Apa pendapat Anda terkait dengan kebijakan kepemilikan asing?
Kita sudah mengusulkan hal ini 12 tahun, untuk masa 4 kepala umum REI. Kita dianggap DPR tidak nasionalis. Dia lupa, karena dia juga telah menjual saham BUMN ke asing. Itu juga tidak nasionalis.
Kita kajiannya ada. Sekarang juga dikaji kembali, bersama dengan Prof Maria (Guru Besar Hukum Pertanahan Universitas Gadjah Mada Maria S.W. Sumardjono). Dalam RUU Pertanahan kita mau sisipkan aturan tentang ini. Kita juga usulkan dengan batasan tertentu, yakni properti di atas Rp2,5 miliar. 
Kalau ada kongres dunia, kita nggak bisa apa-apa, nggak bisa jualan. Diam saja, main nggak karuan…hahaha 

Pewawancara: Fatia Qanitat & Oktaviano DB Hana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t