Langsung ke konten utama

Jean-Francois Lyotard: "Kondisi Pengetahuan di Era Postmodern"

Dalam kalangan filsafat di sekitar pergantian abad ke-20, “postmodern”, “postmodernitas’, dan “postmodernisme” merupakan istilah yang kerap kali dijumpai, walaupun bagi banyak orang maksudnya tidak begitu jelas. Bahkan “postmodernisme” kadang-kadang secara luas sekali disamakan dengan seluruh pemikiran filsafat Prancis sesudah strukturalisme yang bersikap kritis terhadap beberapa pandangan strukturalistis. Dengan demikian, postmodernisme dimengerti sebagai identik dengan poststrukturalisme. Akan tetapi, arti seperti itu menjadi terlalu luas, sedangkan di sisi lain diberi kesan tidak betul seolah-olah postmodernisme terbatas pada pemikiran filosofis di Prancis saja. Walaupun artinya sering kali diliputi kesamaran cukup besar, terdapat juga anggapan agak umum bahwa istilah-istilah tersebut di atas memang menunjukkan sesuatu yang nyata dalam situasi intelektual dewasa ini, khusunya dalam konteks dunia Barat. Jean Francois Lyotard adalah orang yang untuk pertama kali mengaikan istilah-istilah ini dengan filsafat dan ia sendiri dikenal sebagai salah seorang tokoh terpenting dari aliran postmodernisme.
Pengertian “postmodern” tidak diciptakan sebagai sesuatu yang baru dalam rangka filsafat. Sebelumnya istilah ini sudah cukup lama dipakai di bidang keseian, khususnya arsitektur dan kesusastraan, terutama di Amerika Serikat. Tidak kebetulan, Jean Francois Lyotard (1924-1998) menjadi orang pertama yang memperkenalkan istilah ini ke dalam filsafat, karena sebagai dosen filsafat kesenian ia akrab dengan bidang itu. Ia mengaitkan masaslah “postmodern” dengan filsafat dalam bukunya Kondisi Postmodern (1979).

Riwayat Hidup dan Karya[1]

Jean Francois Lyotard dilahirkan di Versailles (selatan Prancis) pada tahun 1924. Seusai perang Perang Dunia II, ia belajar filsafat di Universitas Sorbonne, di kota Paris, Prancis. Setelah memperoleh aggregation de philosophie (1950), ia menjadi guru filsafat di sekolah menengah (lycee) di kota Constantine, Aljazair Timur, yang pada masa itu merupakan koloni Prancis (1950-1952)—karena sempat menyaksikan penindasan colonial di sana dengan mata kepalanya sendiri, dalam hati kecilnya mulai tumbuh kesadaran politik—.
Setelah pulang ke tanah airnya ia menjadi guru filsafat di salah satu lycee. Pada tahun 1954, ia menerbitkan bukunya yang pertama; La phenomenologie (Fenomenologi), yang ditujukan sebagai pengantar pada filsafat Edmund Husserl, pencetus fenomenologi. Buku kecil ini mengalami sukses besar (sering dicetak ulang dan diterjemahkan ke dalam bahasa lain), karena dinilai sebagai uraian singkat dan jelas tentang suatu aliran filsafat yang banyak diminati pada waktu itu.
Pada tahun yang sama, Lyotard menjadi anggota kelompok Marxistis yang menerbitkan majalah Socialisme ou barbarie (Sosialisme atau Keadaan Barbar)[2]. Lyotard diberi tanggung jawab atas pemberitaan tentang Aljazair dalam majalah tersebut dan ia sendiri menulis dua belas artikel panjang tentang masalah koloni Prancis itu.[3]
Karena selisih pendapat, pada tahun 1964 bersana sahabatnya Pierre Souyri dan beberapa teman lain, ia meninggalkan kelompok Socialisme ou barbarie dan mendirikan majalah Marxistis lain yang bernama Pouvoir Ouvrier (Kuasa Buruh). Namun demikian, antusiasme Lyotard untuk Marxisme semakin memudar dan pada tahun 1966 periode Marxistis secara definitif lewat dalam hidupnya.[4]
Pada tahun 1971, Lyotard meraih gelar docteur es lettres dengan sebuah tesis tentang topik yang paling popular di antara filsuf-filsuf Prancis waktu itu, yaitu bahasa. Judul tesisnya adalah Discours, figure (Diskursus, Figur). Dalam tesisnya ini, ia berusaha membandingkan fenomenologi dengan strukturalisme, dengan maksud supaya keduanya dapat dilampaui. Dengan demikian Lyotard mendapatkan tempatnya dalam periode poststrukturalisme dari filsafat prancis.
Sementara itu, ia sudah diangkat sebagai dosen di Universitas Nanterre, yang menjadi salah satu pusar “revolusi mahasiswa” pada bulan Mei 1968. Lyotard secara aktif mengikuti dan mengomentari peristiwa yang menggemparkan dunia pendidikan Prancis itu. Kemudian ia diangkat sebagai professor di Universitas Paris VIII, universitas yang didirikan dalam rangka reformasi perguruan tinggi di Prancis di Vincennes, sebelum mendapat tempat definitifnya di Saint Dennis, sebelah utara Paris. Tugas mengajar Lyotard di situ terutama berkonsentrasi pada estetika atau filsafat kesenian.
Dalam disertasinya dari tahun 1971 Lyotard juga membahas tema kesenian dan mau menyelamatkannya dari suatu pendekatan strukturalistis yang terlalu sempit. Setelah menyelesaikan disertasinya, Lyotard menjadi seorang pengarang yang sangat produktif. Di antara buku-bukunya dapat disebut Economie Libidinale (Ekonomi Libidinal; 1974), di mana ia menginterpretasikan pemikiran Karl Marx dengan menggunakan sebagian kerangka psikoanalisa Sigmund Freud. Dengan demikian Lyotard bergabung dengan beberapa percobaan lain dalam paruh kedua abad ke-20 untuk mensintesakan pemikiran Freud dan Marx.[5]
Buku yang membuat namanya mengemuka baik di Prancis maupun di luar negeri adalah La condition postmoderne—rapport sur le savoir (Kondisi Postmodern—Laporan tentang Pengetahuan; 1979). Lyotard menulis buku ini atas permintaan “Conseil des universites” (Dewan universitas-universitas) dari pemerintah Quebec (kanada), sehingga dalam judul ia menyebut bukunya sebuah laporan. Walaupun Lyotard sendiri tidak menyatakan dengan jelas mengapa persisnya buku ini ditulis, rupanya di sini ia menjawab pertanyaan apakah pengandaian-pengandaian yang mendasari politik pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam masyarakat informatika dewassa ini masih dapat dianggap adekuat.
Pada tahun 1979 pula diterbitkan percakapan Lyotard dengan Jean-Loup Thebaud dengan judul Au juste. Conversations (dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Just Gaming, Mineapolis, University of Minnesota Press; 1985). Salah satu buku penting berjudul Le differend (diterjemahkan dalam bahasa Inggris ini mempertahankan istilah Prancisnya karena ekuivalen Inggris seperti “dispute”, “difference of opinion”, dan sebagainya tidak memadai; 1983). Sejumlah surat yang sebelumnya pernah dipublikasikan dalam beberapa majalah, dikumpulkan dalam Le postmoderne explique aux enfants (Yang Post-modern: Dijelaskan Kepada Anak-anak; 1986), buku yang menerangkan posisi Lyotard di bidang postmodernisme.
Di antara buku-buku yang diterbitkan sesudahnya boleh disebut juga: L’enthousiasme. Le critique kantienne de l’histoire (Antusiasme. Kritik Kant tentang Sejarah; 1986); Heidegger et’ les juifs’ (Heidegger dan orang Yahudi; 1998); L’inhumain. Causeries sur le temps (Yang Tidak Manusiawi. Percakapan tentang Waktu; 1998); Peregrinations (Petualangan; 1990) adalah versi Prancis dari sejumlah ceramah yang diberikan pada University of California di Amerika Serikat dan sebelumnya sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris (Peregrinations, New York, Columbia University Press; 1998); Lecons sur l’analytique du sublime (pelajaran tentang Analitika mengenai Yang Sublim; 1991); Moralites postmodernes (Cerita-cerita Moral yang Postmodern; 1993) mengumpulkan beberapa teks yang sudah pernah dipublikasikan sebelumnya.
Lyotard turut mendirikan “College International de Philosophie” (bersama Jaques Derrida) dan untuk beberapa waktu memimpin pusat pendidikan filsafat ini. Tahun 1987 ia memasuki masa pensiunnya sebagai profesor di Universitas Paris VIII, tetapi dengan itu ia tidak mengakhiri kegiatannya sebagai filsuf. Secara penggal waktu ia mengajar di Universitas of California, Amerika Serikat, dan banyak diminta sebagai penceramah di dalam dan di luar negeri, hingga wafatnya dalam usia 74 tahun pada tahun 1998.

Kondisi Postmodern[6]

Sebagai salah seorang konseptor awal dari “postmodrnisme”, Lyotard yakin bahwa masyarakat disusun bukan melulu berdasarkan teknologi namun juga seputar permainan bahasa dan diskursus. Maka ia mencoba mengarahkan perhatian kita pada peran narasi-narasi dalam hidup sosial.
Dalam masyarakat nonindustri, mitos dan cerita (dongeng, fable, dll) mempunyai karakter religius dan ikut membantu menciptakan tatanan sosial. Dalam era pencerahan, muncul segugus narasi baru yaitu sains yang memberi tekanan pada ide kemajuan, nalar, pengetahuan, dan teknologi, yang kesemuanya dipercaya mampu membebaskan umat manusia dari belenggu kegelapan, kebodohan, dan penindasan. Narasi ini bertujuan untuk member itujuan (a sense of purpose) bagi hidup sosial. Mereka (narasi) meligitimasikan tatanan sosial yang ada dan menjadi bingkai untuk mengevaluasi tindakan dan kegiatan manusia.
Dewasa ini, menurut Lyotard kita memasuki era postmodern di mana sains, teknologi, dan sistem administrasi serta komputer berkembang sedemikian pesat sehingga ‘pengetahuan menjadiprinsip produksi yang menentukan selama beberapa dekade ini’. Menurut Lyotard, pengetahuan dan informasi secara mendalam berubah dalam dua macam cara yang saling berkaitan.
· Pertama, pengetahuan dan informasi diproduksi hanya jika mereka bisa dinilai (dijustifikasi) berdasarkan efisiensi dan efektivitas atau dalam terminologi khas Lyotard, prinsip performativitas (a principle of performativity). Hal ini berarti informasi dikumpulkan, dianalisis, dan dihasilkan kembali (direproduksi) hanya jika mereka bisa dinilai berdasarkan kriteria kegunaannya (utility).
· Kedua, pengetahuan atau informasi semakin diberlakukan sebagai sebuah komoditas. Informasi semakin menjadi sebuah fenomena yang bisa diperdagangkan, menjadi subjek dari mekanisme pasar yang mempunyai kuasa menentukan performativitas sesuatu.
Konsekuensi dari dua cara tersebut adalah tampilnya kondisi pasca modern (a postmodern condition) yang mengambil bentuk :
1. Jika prinsip performativitas diterapkan, maka informasi atau pengetahuan yang tidak bisa dinilai dalam terma efisiensi dan efektivitas akan dikesampingkan atau ditinggalkan. Contohnya: pengetahuan estetis dan filosofis tidak begitu mudah diterangkan delam terma performance, sementara pengetahuan atau informasi di bidang keuangan dan manajemen dapat dengan mudah dinilai berdasarkan kriteria kegunaan.
2. Perkembangan pengetahuan lantas bergeser dari universitas atau perguruan tinggi (dimana tadinya di dalamnya sejumlah elite akademisi merasa mengemban amanah untuk mencari “kebenaran”) menuju lembaga-lembaga pemikir independen (think tanks), seksi riset dan pengembangan dari koorporasi privat dan gugus lembaga lainnya yang mengumpulkan, mengolah, dan memanfaatkan informasi atau pengetahuan demi alasan efisiensi dan efektivitas. Konsekuensinya, seluruh konsep pendidikan harus digagas ulang. Pendidikan harus dibuat ‘lebih relevan’ untuk menjawab tantangan dan kebutuhan ‘dunia kerja yang nyata’ dengan cara meningkatkan ‘kompetensi’ dan ‘kecakapan praktis’ siswa-siswi hingga mereka kelak dapat menjadi pekerja-pekerja yang lebih efisien dan efektif.
3. Sebagai konsekuensi dari redefinisi pendidikan tadi, konsep ‘kebenaran’ yang sudah mapan dirongrong, dan proses komodifikasi menggiring kita untuk mendefinisikan kebenaran dalam terma kegunaan (praktis). Kebenaran bukan lagi fakta yang tak terbantahkan dan aspirasi atau penemuan akademisi yang bekerja di universitas. Kebenaran-kebenaran (truths) didefinisikan sebagai permintaan-permintaan praktis yang akan dijawab oleh institusi yang bersangkutan.
4. Dan akhirnya kriteria performativitas mengubah ide tentang apa artinya menjadi seorang yang terdidik, dari yang berarti seseorang dengan pengetahuan tertentu menjadi seorang yang bisa mengakses bank data. Persoalan bagaimana menggunkan komputer lebih penting daripada pengetahuan personal.
Perubahan yang digambarkan Lyotard mempunyai baik dimensi kuantitatif maupun kualitatif. Wacana utopis, visioner dan manusiawi yang dulu mewarnai hidup social pada era pencerahan perlahan-lahan kehilangan aura otoritasnya. Lyotard menyebutnya the decline of grand-narratives. Tidak banyak orang percaya lagi bahwa sains, akal budi, atau ‘kebenaran’ dapat menyediakan jawaban atas persoalan-persoalan sosial atau bahwa dengannya dapat membangun sebuah tatanan dunia yang lebih baik. Di samping itu, banyak orang meyakini bahwa era satu teori tunggal pemersatu (marxisme) sudah berakhir. Kita tidak bisa menemukan posisi ‘mata tuhan’ untuk membangun pengetahuan yang benar atau secara universal valid. Dengan demikian, pengetahuan (dan masayarakat) terkeping-keping menjadi serpih-serpih lapangan lokal dan beraneka ragam, dimana visi agung kemanusiaan menunduk malu dan menyingkir pelan-pelan. Hilangnya grand–narratives berdampak pada tergiringnya kita menuju sebuah masyarakat teknokratis, di mana rasionalitas sarana-tujuan yang sempit akan menyetir hidup sosial.

Pengetahuan Naratif dan Fungsi Narasi Dalam Legitimasi Pengetahuan Ilmiah

Postmodernisme, dalam ranah pengetahun (knowledge) dimengerti Lyotard sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi (metanarrative) atau narasi besar (grand narrative).[7] Selama ini (dalam abad modern) ilmu pengetahuan ilmiah atau sains, sebagai salah satu wacana (discourse) mengklaim diri sebagai satu-satunya jenis pengetahuan yang valid. Namun sains tak dapat melegitimasi klaimnya tersebut oleh karena ternyata aturan main sains bersifat inheren serta ditentukan oleh konsensus para ahli (ilmuwan) dalam lingkungan sains itu sendiri. Sains kemudian melegitimasi dirinya dengan merujuk pada suatu meta-wacana (meta-discourse); secara konkret sains melegitimasi dirinya dengan bantuan beberapa narasi besar seperti dialektika roh, hermeunetika makna, emansipasi subjek yang rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat manusia.[8]
Sebelumnya, terdapat pembedaan yang tegas antara pengetahuan ilmiah dan narasi. Dalam pandangan modern, yang dapat disebut pengetahuan hanyalah yang ilmiah (sains). Narrasi dianggap sebagai seseuatu yang primitif, tradisional, terbelakang, penuh prasangka, dan sebagainya. Pembedaan semacam ini sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Memakai teori “permainan bahasa” menurut Wittgenstein, Lyotard berpendapat bahwa ilmu pengetahuan ilmiah adalah sebuah permainan bahasa yang memiliki aturannya sendiri sehingga tidak dapat memvonis narasi sebagai dongeng, legenda, atau mitos yang “bukan pengetahuan.” Narasi adalah sebuah permainan bahasa lain yang memiliki aturan mainnya sendiri. Ilmu penegtahuan ilmiah tidak dapat menilai secara negatif narasi yang berada di luar kompetensinya. [9]
Selain itu, pengetahuan (savoir) juga tidak bisa direduksi hanya sebagai sains atau bahkan menjadi pembelajaran (connaissance) sekalipun[10]. Pembelajaran adalah seperangkat pernyataan denotatif yang menunjukkan atau mendeskripsikan objek serta dapat dinilai sebagai benar atau salah; sementara itu, sains hanyalah salah satu subset dari pembelajaran. Istilah pengatahuan pengertiannya jauh lebih luas dan tidak hanya terdiri dari pernyataan-pernyataan denotatif saja. Pengetahuan (knowledge) mengandung pengertian: how to know, know how to live, how to listen, how to speak (savoir-faire, savoire-vivre, savoire ecouter, savoir-dire).Dengan demikian kompetensi pengetahuan bukan hanya sekedar menentukan kualifikasi benar-salah (kebenaran), tetapi juga menentukan kriteria efisiensi (kualifikasi tekhnis), keadilan dan atau kebahagiaan (kebijaksanaan etis) dan sebagainya.
Sementara itu, narasi adalah bentuk inti dari pengetahuan tradisional yang mengisahkan kesuksesan atau kegagalan seorang hero (pahlawan). Narasi juga membantu melegitimasi institusi sosial dan memasukkan model-model integrasi yang positif maupun yang negatif ke dalam institusi-institusi yang ada. Dengan demikian, narasi pada satu sisi, memungkinkan masyarakat untuk mendefinisikan criteria kecakapannya, dan pada sisi lain, mengevaluasi apa yang harus dilaksanakan atau apa yang dapat dilaksanakan di dalamnya menurut criteria tersebut.[11]
Dalam kaitannya dengan narasi ini, seorang pencerita mengklaim kompetensinya untuk menceritakan atas dasar fakta bahwa dia telah mendengar cerita itu sebelumnya. Dengan demikian, orang yang sekarang mendengarkan ceritanya (addressee) juga memiliki akses ke otoritas yang sama untuk menceritakannya (sender) kepada orang lain. Narasi, sebagaimana telah dikatakan, menentukan criteria kecakapan dan mengilustrasikan bagaimana naarsi tersebut diaplikasikan. Sehingga, narasi tersebut mendefinisikan siapa yang memiliki hak untuk dikatakan atau dilakukan di dalam budaya. Karena narasi sendiri adalah bagian dari budaya, menurut Lyotard, narasi tersebut dilegitimasi dengan fakta sederhana bahwa narasi tersebut melakukan apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, narasi tidak mempersoalkan legitimasi. Kisah-kisah itu mendapatkan legitimasinya dengan menjalankan fungsinya begitu saja dalam masyarakat.
Berbeda dengan narasi, pengetahuan ilmiah sangat berkepentingan dengan masalah legitimasi. Seorang sender yang mengeluarkan pernyataan harus dapat menyodorkan bukti (proof) bahwa pernyataannya itu benar serta harus bisa menentang pernyataan lain yang menyanggah pernyataannya. Addressee yang memiliki otoritas untuk menyetujui atau menolak suatu pernyataan ilmiah haruslah orang yang memiliki kapabilitas dalam bidang ilmiah. Sementara itu, Kebenaran sebuah pernyataan dan kompetensi seorang sender ditentukan oleh komunitas ilmiah, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan ilmiah setara. Dalam transisi pengetahuan ilmiah, seorang addressee (siswa) tidak mengetahuai apa yang diketahui oleh sender (guru). Siswa mempelajari apa yang telah dilketahui oleh gurunya dan diharapkan menjadi setara dengannya. Dalam proses transmisi ini diandaikan bahwa pengetahuan (seperangkat pernyataan denotatif) yang disampaikan kepada para siswa sudah teruji, walaupun mungkin masih dalam perdebatan para ilmuwan.[12] Berdasarkan kenyataan itulah Lyotard menyimpulkan bahwa sains dan narasi tidak dapat diperbandingkan menggunakan satu ukuran yang sama (incommensurable) karena masing-masingnya memiliki kriteria relevan yang berbeda.
Dalam abad modern, sains hendak melegtimasi kebenaran pernyataannya namun tidak memilki sumber legitmasi pada dirinya sendiri, sehingga justru meminta bantuan narasi untuk melegitimasi dirinya.[13] Pergulatan sains modern dengan masalah legitimasi ini memunculkan dua kisah. Pertama, sains mencoba meninggalkan pencarian metafisis untuk mendapatkan bukti pertama (first proof) atau otoritas transcendental (transcendental authority) ketika ia dihadapkan pada pertanyaan: “bagaimana sains membuktikan diri?” atau “siapa yang memutuskan syarat-syarat kebenaran?” Kedua, seiring dengan kecenderungan modern untuk menentukan aturan main suatu wacana (discourse) dengan atau di dalam suatu diskursus, makin menguatlah kultur naratif. Dengan lebih tegas dapat dikatakan bahwa sains secara eksplisit meminta bantuan narasi dalam proses legitimasinya. Dalam tataran yang lebih bersifat teknis, suatu ilmu itu dianggap modern jika ia berusaha memberikan pengesahan kepada aturan-aturannya sendiri dengan merujuk pada suatu metanarasi—yaitu sebuah narasi yang berada di luar lingkungan kompetensinya.[14]
Ada dua versi narasi besar (grand narrative) yang dipakai untuk meligitimasi sains. Pertama, bersifat politis, yakni narasi mengenai emansipasi (pembebasan) manusia. Subjeknya adalah kemanusiaan sebagai hero dari kebebasan. Kedua, bersifat filosofis, yakni narasi spekulatif (memuncak dalam idealism Hegel). Sains melegitimasi dirinya bahwa pengetahuan hanya absah sebagai pengetahuan (ilmiah) apabila dihasilkan demi pengetahuan itu sendiri (objektivitas). Sains berpretensi seolah-olah pernyataan-pernyataan yang sah dalam sains otomatis benar secara universal (totalisasi kebenaran).[15]
Dalam masyarakat post-industri, narasi-narasi besar yang berkekuatan mempersatukan dan meligitimasi itu sudah tidak dapat dipercaya lagi. Setelah dua narasi itu menjadi out of date, dua praksis dasar pengetahuan ilmiah, riset dan ilmiah (pendidikan), ternyata melegitimasi dirinya dengan kriteria performativitas. Menurut Lyotard, tunduknya riset dan proses transmisi pengetahuan pda kriteria performativitas sistem sosial telah membuat riset dan institusi pendidikan berorientasi pada kekuasaan (power). Yang dapat menyokong riset biaya tinggi adalah memilki kekuasaan (modal).[16]
Ilmuwan, teknisi dan instrument riset diperdagangkan bukan untuk menemukan kebenaran melainkan untuk memperbesar kekuasaan. Barangsiapa dapat memproduksi bukti-bukti (proofs), ia menguasai “realitas”, dan orang yang menguasai realitaslah yang memiliki kekuasaan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang adil. Inilah yang dilakukan tekhnologi dengan prinsip efisiensinya (performativitas). Dengan demikian, intitusi pendidikan juga tunduk pada kekuasaan. Oleh Karena itu, pertanyaan yang diajukan oleh lembaga, negara, pendidikan, dan siswa bukan lagi “apakah ini benar?” melainkan “apakah ini berguna?”, “apakah ini laku di pasaran?” dan dalam konteks meningkatkan kekuasaan: “apakah ini efisien?”.

Sains Postmodenisme sebagai Pencarian Ketidakstabilan[17]

Tunduknya pengetahuan ilmiah pada kriteria performativitas sebenarnya mengandaikan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah tersebut berada pada suatu sistem yang stabil. Dalam sisem tersebut dapat diprediksi input dan output yang dihasilkan. Pandangan ini mengasumsikan alam semesta mengikuti aturan-aturan atau pola-pola hukum alam yang stabil (determinisme). Akan tetapi, teori kuantum menunjukkan bahwa ketidakpastian justru bertambah ketika pengetahuan kita tentangnya bertambah.[18] Sekarang ini muncul paradigma baru postmodern , yakni paradigma yang menekankan ketidakdapatramalan, ketidakpastian, catastrophe (seperti karya Rene Thom, seorang matematikus)[19], chaos, dan terutama disensus atau paralogi. Sains postmodern meneorikan esensinya sendiri sebagai diskontinuitas, katastropis, non-rectiviable, dan paradoksial. Model legitimasi pengetahuan tidak lagi berkaitan dengan maksimalisasi performativitas melainkan dengan paralogi.[20]

Legitimasi dengan Paralogi[21]

Paralogi berasal dari bahasa yunani: para (megnatasi) dan logos (akal budi). Di sini Lyotard tidak melihat akal budi (rasio) sebagai kemampuan manusia ayng universal dan tak berubah, tetapi sebagai kemampuan yang spesifik dan bervariable. Paralogi berarti gerakan menentang cara penalaran mapan.. Dalam hubungan dengan sains berarti paralogi adalah produksi ide-ide baru dengan mengatasi atau berada di luar norma yang mapan. Paralogi adalah pengakuan akan pluralitas logika. Yang harus ditekankan bukan konsensus melainkan disensus.[22]
Teori sistem[23] yang mengabdi pada performativitas bagi Lyotard cenderung membungkam berbagai pernyataan baru yang dibuat oleh para ilmuwan dan yang berpotensi mengubah aturan main sebab sebuah sistem membutuhkan stabilitas demi kinerjanya. Padahal pragmatisme pengetahuan ilmiah dalam proses ilmiah menekankan penemuan-penemuan baru beserta aturannya. Oleh karena itu berbagai macam pernyataan baru yang sifatnya local dan beranekaragam harus dihargai. Upaya untuk memperkuat bukti-bukti suatu penemuan dilakukan dengan pencarian contoh-contoh yang berkebalikan. Mendukung suatu argumen berarti mencari paradoks dan melegitimasinya dengan aturan-aturan dalam games of reasoning.
Jadi paralogi adalah menciptakan pernyataan-pernyataan baru yang dimainkan dalam pragmatism pengetahuan. Dalam hal ini, sains atau pegnetahuan ilmiah menjadi model sebuah sistem terbuka di mana sebuah pernyataan menjadi relevan jika pernyataan itu melahirkan ide-ide.[24] Artinya, pernyataan itu melahirkan pernyataan-pernyataan yang baru lainnya dan aturan-aturan baru yang lain lagi. Sains hanyalah salah satu permainan bahasa di antara permainan bahasa lainnya. Pengakuan keberagaman bahasa ini pada akhirnya menurut Lyotard adalah langkah awal untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Penutup

Sains tidak dicapai dengan homologi melainkan paralogi. Bagi Lyotard postmodernisme rupa-rupanya bukan sekedar periode setelah modernisme melainkan suaut cara yang kemungkinannya sudah terdapat dalam modernisme, yaitu modernisme pada kelahirannya. Postmoderinisme adalah intensifikasi dinamisme yakni upaya yang tak henti-hentinya mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidupan yang terus-menerus. Pengetahuan postmodern bukan hanya sekadar alat di tangan penguasa melainkan dapat memperhalus kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap yang tak dapat diukur.
Kita pun dapat mengajukan pertanyaan kritis pada Lyotard. Pertama, bukankah dengan mengatakan bahwa legitimasi pengetahuan berdasarkan paralogi, Lyotard sendiri menciptakan grand-narrative sistem pemikiran yang baru? Kedua, apabila kita memebri penilaian terhadap narasi-narasi kecil yagn bersifat local, bukankah dengan demikian kita justru memberi kesempatan yang luas pada pelbagai pendindasan dan ketidakadilan lokal untuk merajalela? Kalau kita konsisten mengikuti Lyotard, maka kita juga harus mengakui adanya relativisme moral dan kita tak dapat menilai sistem moralitas daerah tertentu. Akan tetapi bukahkah kita belakangan ini ini ramai berbicara tentang hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai keadilan sosial. Pada kenyataannya tetap ada nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang berlaku universal.
Daftar Pustaka
Hendar Putranto, Hendar (ed. Mudji Sutrisno), “Analisis Budaya dari Postmodernisme dan Postmodernitas”, Yogyakarta: Kanisius, 2005
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Jakarta: Gramedia, 2006
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius. 2005.
Lyotard, Jean-Francois. Postmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan (diterjemahkan dari The Postmodern Condition: A Report On Knowledge). Bandung: Mizan Media Utama. 2004
The Organon, vol 1, terj. Harold Cooke dan Hugh Tredennick. Cambridge, Mass: Havard. 1938


[1] Disarikan dari ‘Riwayat Hidup dan Karyanya’, “Jean-Francois Lyotard dan Postmodernisme”; K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Jakarta: Gramedia, 2006, hal. 378-383.
[2] Nama ini berasal dari perkataan Karl Marx bahwa dunia modern harus memilih antara sosialisme atau keadaan barbar. Claude Lefort, yang dikenal sebagai seorang murid Maurice Marleau-ponty, termasuk juga anggotanya. Kelompok ini menganut suatu pandangan kritis terhadap pemikiran Karl Marx dank karena itu menolak semua interpretasi dogmatis, seperti Stalinisme, Troskyisme, atau Maoisme.
[3] Ketika nama Lyotard menjadi terkenal, artikel-artikel itu dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku La guerre des Algeriens (Perang Orang-Orang Aljazair;1989).
[4] Dengan demikian, Lyotard senasib dengan begitu banyak cendikiawan muda lain di Prancis sekitar tahuan 1950-an yang menaruh harapan besar atas potensi Marxisme untuk membangun masyarakat yang dicita-citakan, tetapi akhirnya kecewa juga.
[5] Di kemudian hari ia menulis agak kritis tentang buku terakhir ini yang dilihatnya sebagai pertanda krisis besar yang dialaminya berhubungan dengan pemikiran Marx.
[6] Sebagian besar isinya merupakan penyarian dari Hendar Putranto, (ed. Mudji Sutrisno), “Analisis Budaya dari Postmodernisme dan Postmodernitas”, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal. 238-242.
[7] Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius. 2005. Hal. 372
[8] Lyotard, Jean-Francois. Postmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan (diterjemahkan dari The Postmodern Condition: A Report On Knowledge). Bandung: Mizan Media Utama. 2004. Hal. 73-83
[9] Lebih lanjut, Lyotard menjelaskan bahwa “tidak mungkin untuk menilai eksistensi atau kesahihan pengetahuan narasi atas dasar pengetahuan ilmiah dan sebaliknya: kriteria relevannya berbeda.” Ibid, hal. 64
[10] Terjemahan connaissance sebagai “pembelajaran” tidaklah seragam. Kadang-kadang perlu diterjemahkan sebagai “pengetahuan” (khususnya dalam bentuk plural)); harus jelas dari konteksnya apakah ini merupakan pernyataan connaissance (yang digunakan Lyotard, suatu bentuk pernyataan denotatif baku) atau savoir (pengetahuan dalam pandangan yag lebih umum). Savoir telah diterjemahkan secara seragam sebagai “pengetahuan.” The Organon, vol 1, terj. Harold Cooke dan Hugh Tredennick. Cambridge, Mass: Havard. 1938. Hal. 121
[11] Lyotard, Jean-Francois. Postmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan (diterjemahkan dari The Postmodern Condition: A Report On Knowledge). Bandung: Mizan Media Utama. 2004. Hal. 53
[12] Ibid, hal 59-61.
[13] Digunakannya permainana narasi dalam legitimasi pengetahuan sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Plato. Plato, misalnya saja, melegitimasi pengetahuan yang sempurna (episteme) dengan narasi tentang gua. Kemudian, Aristoteles mencari legitimasi legitimasi sains dalam wacana mengenai Ada (metafisika). Saran Aristoteles yang lebih “modern” adalah bahwa pengetahuan ilmiah, termasuk pretensinya untuk mengungkapkan “ada” dari referen, terdiri dari argumentasi dan bukti—suatu dialektika. Ibid, hal 69-70.
[14] Lechte, Hohn. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius. 2005. Hal. 373
[15] Ibid, hal. 373
[16] Lyotard, Jean-Francois. Postmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan (diterjemahkan dari The Postmodern Condition: A Report On Knowledge). Bandung: Mizan Media Utama. 2004. Hal. 90-99
[17]Ibid, hal 110-121
[18] Bandingkan dengan prinsip ketidakpastian Heisenberg yang mengatakan pengukuran posisi dan momentum partikel secara serentak, selalu menghasilkan ketidakpastian yang lebih besar dari konstanta Planck.
[19] Thom mengkonstruksi sautu bahasa matematika yang memungkinkan deskripsi formal dari diskontinuitas yang dapat terjadi pada fenomena tertentu, yang menyebabkan bentuk tak terduga: bahasa ini membentuk apa yang dikenal sebagai teori bencana. Op.cit, hlm. 119
[20] Ibid, hlm. 121
[21] Ibid, Lihat hlm. 121-133
[22] Dalam hal ini Lyotard juga mengkritik prinsip konsensus lewat diskursus sebagaimana diusulakn oleh Habermas karena usulan Habermas masih merujuk pada legitimasi pada narasi emansipasi umat manusia. Selain itu, konsensus juga merupakan komponen dari suatu sistem yaitu komponen untuk memanipulasi sistem agar sistem dapat mempertahankan atau meningkatkan perfermance. Ibid, hal, 122
[23] Para teoritisi sistem seperti Luhmann dikritik juga oleh Lyotard karena menegaskan bahwa prinsip performativitas adalah landasan agar suatu sistem sosial bisa mempertahankan dirisaat dunia mengalami kehilangan daya pesonanya akibat kemajuan ilmu dan teknologi. Bdk. John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 375
[24] Op.cit, Lyotard, hlm 128
*Mazhab Galur, kelompok diskusi lepas yang bebas; dengan sekelumit anak2 AZ yang mengidealkan wacana lepas ; berpusat di sekitaran Galur...(Robertus Bellarminus Thundang, Yustinus Patris Paat, dan Oktaviano Donald 'cRita bEbeCk'...!!)

Komentar

  1. no, lajur sebelah kiri kosong tuh...kunjungi http://antofiction.blogspot.com/ trus klik apa saja yg bisa dishare ke blog lo...tq

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t