Langsung ke konten utama

PEKALONGAN: MENGELOLA WARISAN DUNIA




Kota Batik di Pekalongan, Bukan Jogja Bukan Solo, Gadis Cantik Jadi Pujaan, Jangan Bejat Jangan Bodo...

Sepenggal lirik lagu dari grup band ternama Slank menjadi satu penanda, Kota Pekalongan layak masuk sebagai kota kreatif di dunia. Ini awal mula, saat kota berdaya cipta di nusantara lainnya perlu bersiap diri.

Tepat pada 1 Desember 2014, kota di wilayah pantai utara Jawa ini secara resmi dinobatkan oleh lembaga PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai salah satu kota kreatif dunia, bersama dengan 27 kota lainnya.

Lima kota lain yang masuk dalam kategori sama yakni Jacmel (Haiti), Jingdezhen (China), Nassau (Bahamas), dan Suzhou (China). Kini, wilayah berjuluk Kota Batik itu menggenapi Jaringan Kota Kreatif Dunia versi UNESCO yang beranggotakan 69 daerah.

Pekalongan masuk dalam kategori kreatif Crafts & Art Folks, kota pertama di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara yang menjadi anggota jejaring tersebut. Kota Pekalongan dan jejaring kota kreatif dunia sangat mungkin membangun kerja sama internasional memperkuat pengembangan kreativitas, budaya, dan inklusi sosial.

Kebudayaan kerajinan batik dan potensinya sudah dideklarasikan pada 1982 sebagai identitas utama Kota Pekalongan, melalui Peraturan Wali Kota Pekalongan dan Dewan Kota No. 5/1982, tentang Pekalongan Kota Batik.

Akhirnya, bukan Kota Yogyakarta dan Surakarta atau Solo yang mendapat gelar Kota Batik, justru kota kecil yang gaungnya hanya sebatas daerah niaga, kini memiliki label pusat kerajinan batik dunia.

Sejatinya gelar kreatif bukan hanya semata hal administratif. Namun, menilik sejarahnya, kota di jalur Pantura ini tidak bisa untuk tidak dihidupkan dengan nuansa daya kreasi.

Pertimbangannya, kota dengan dengan luas 45,2 kilometer persegi itu dipenuhi jejak sejarah perjumpaan berbagai budaya yang niscaya menghidupkan daya kreasi masyarakatnya.

Kesenian membatik dan corak kerajinan batiknya yang khas merupakan puncak akulturasi budaya di Kota Pekalongan.

Menurut ekonom Universitas Diponegoro Semarang FX Sugiyanto, Pekalongan memang pantas bergelar kota kreatif tingkat internasional. Alasannya sederhana, lantaran kota itu memang identik dengan batik, mulai dari pelestarian hingga perdagangan ada semua.

Memang, tidak menutup kemungkinan kota lain juga memperoleh predikat yang sama dengan potensi dan kreativitas lain yang diselenggarakan dengan baik serta mendukung perekonomian masyarakat setempat.

“Pekalongan punya sejarah panjang. Batik itu perlu kreativitas. Saya pikir Kota Pekalongan punya pengalaman itu,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (26/5).

Sugiyanto mengatakan nominasi dari kota-kota lain seperti Bandung dan Yogyakarta ke depan juga bisa mendapatkan predikat tersebut.

Satu hal, ujarnya, komitmen pemerintah setempat perlu mendorong kemajuan usaha kreatif atau muatan lokal. Kota Pekalongan bisa jadi pemantik agar daerah lain juga bisa lebih berkibar di mata dunia.

“Silakan eksplorasi potensi masing-masing daerah.”

Pekalongan memang punya keistimewaan dalam hal letak geografis. Buktinya, kota itu menjadi pusat perdagangan dengan masuknya pendatang dari China, Arab, dan India sejak abad belasan. Faktor tersebut menyebabkan unsur budaya lain mempengaruhi perkembangan kesenian dan karya tradisi, khususnya batik.

Jejak peninggalan komunitas pendatang masih ada, misalnya Kampung Arab dan kawasan Pecinan sebagai saksi pertemuan budaya tersebut. Ada juga kawasan Sembawan dan Bugisan yang menjadi bukti kehadiran pendatang dan pengaruh budaya luar Jawa, dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dan Bugis, Sulawesi Selatan.

Sejarah batik di Kota Pekalongan bermula pascapeperangan dan perpecahan Kerajaan Mataram masa kepemimpinan Raja Panembahan Senopati. Keluarga raja mengungsi dan menetap di daerah baru antara lain ke Pekalongan dan melanjutkan kebiasaan membatik.

“Keberadaan batik di sini merupakan warisan budaya yang sudah turun temurun,” ujar Wali Kota Pekalongan M. Basyir Ahmad saat membuka perbincangan dengan Bisnis.

Basyir terus memantau perkembangan kerajinan batik di wilayahnya. Perajin batik di kampungkampung didorong terus berinovasi untuk menghasilkan kualitas terbaik. Pemkot juga menggagas kampung batik, kampung canting, museum batik serta mendukung media elektronik lokal, Batik TV.

“Dengan predikat Kota Kreatif Dunia ini, kami berupaya terus mengembangkan kerajinan dan kesenian rakyat,” katanya.

Pascapenghargaan itu, Kota Pekalongan dituntut mengemas kegiatan seni dan kerajinan rakyat. Jika tak mampu meluluskannya, predikat Kota Kreatif Dunia bisa dicabut.

“Muatan lokal batik kini sudah ada di tingkat sekolah dasar hingga universitas. Bahkan, ada kampus khusus batik,” ujarnya.

Pada skala makro, kondisi ekonomi Kota Pekalongan tidak berbeda jauh dari kondisi ekonomi nasional dan Provinsi Jawa Tengah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan sebesar Rp2,46 triliun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi di Kota Pekalongan pada 2013 tumbuh 5,89%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi 2012 sebesar 5,60% dan 2011 hanya 5,45%.

Pada 2013, sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada PDRB Kota Pekalongan antara lain perdagangan (23,65%), industri pengolahan (18,68%), dan konstruksi (15,75%). Sektor perdagangan terutama didukung subsektor perdagangan besar/eceran sebesar 88%.

Pada tahun yang sama, nilai ekspor Kota Pekalongan mencapai US$25,34 juta. Jenis komoditas ikan beku/suremi menjadi penyumbang terbesar dengan nilai ekspor mencapai US$11 juta atau sekitar 43,41%, diikuti ekspor sarung palekat US$ 6,58 juta (25,98%), ikan kaleng US$3,14 juta (12,40%), garmen US$2,29 juta (9,02%), sarung batik 6,82% dari total nilai ekspor atau senilai US$1,73 juta.

BISNIS BERKELANJUTAN


Berbagai upaya menjaga dan mengembangkan seni, kerajinan, dan budaya batik secara sistematis dan berkelanjutan diupayakan dengan melibatkan partisipasi segala pemangku kepentingan.

Caranya lewat pengembangan seni, sosial, dan budaya untuk memungkinkan pemeliharaan, pertumbuhan dan perkembangan produk seni batik, kerajinan dan budaya yang mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, menciptakan sistem yang memungkinkan regenerasi perajin batik.

Ketua Paguyuban Pencinta Batik Pekalongan Dudung Alisyahbana menjelaskan perjumpaan budaya yang heterogen di Pekalongan mewujud pada proses kreatif yang menghasilkan kesenian batik, membentuk masyarakat dan kebudayaan lokal yang turun-temurun.

“Wajar jika Kota Pekalongan dinilai sebagai kota kreatif, sebab kreativitas itu sudah turun-temurun sejak berabad-abad silam,” kata pengajar kesenian batik di Universitas Pekalongan.

“Dengan berbagai foreign influence atau melting pot budaya yang heterogen, dari Arab, China, India, Pakistan, Jepang, dan Eropa, Kota Pekalongan menjadi tempat dengan tingkat kompetitif tinggi,” sebutnya.

Menurutnya, daya kreatif hasil akulturasi budaya juga tampak dalam ciri berbagai motif batik Pekalongan. Berbeda dengan Batik Yogyakarta dan Solo yang memiliki pakem, hasil seni warisan Kota Pekalongan—dan juga umumnya beragam karya batik pesisir—berciri universal.

Batik Jlamprang, misalnya, batik khas Pekalongan yang diadaptasi pedagang Arab dan China sejak abad ke-19 dari motif Patola, ragam hias dari Gujarat, India. Selain itu, Batik Djawa Hokokai yang muncul setelah Perang Dunia II atau pada masa penjajahan Jepang.

Tidak hanya menjadi identitas budaya, kesenian batik dengan beragam kerajinan dan industri kreatif, dari hulu hingga hilir, juga menjadi salah satu penopang ekonomi Kota Pekalongan.

Infrastruktur ekonomi, seperti pasar batik, desa batik dan galeri batik akan mudah ditemui hampir di setiap sudut kota. Sentra kerajinan tersebar seperti di Kampung Kauman, Pesindon, dan Jlamprang yang memperkuat fakta bahwa ekonomi kota ditopang oleh kesenian, kerajinan, dan kebudayaan batik.

Hal itu pula yang mendasari Kota Pekalongan ingin aktif terlibat dalam Creative Cities Network, yang diprakarsai UNESCO. Pemerintah daerah berharap keterlibatan itu akan mengoptimalkan dan memajukan kota melalui berbagi informasi dan pembelajaran.

Dengan penobatan Kota Pekalongan sebagai salah satu kota kreatif dunia, pelaku seni batik berharap pemerintah dapat lebih total menjaga dan mengembangkan warisan kebudayaan, kesenian dan kerajinan yang ada di Kota Pekalongan.

Apalagi, Kota Pekalongan memiliki posisi strategis bagi dunia batik nasional. Batik Pekalongan sudah masuk pasar Yogyakarta, Solo, Jakarta dan berbagai kota besar, serta mancanegara. Juga menjadi pusat produksi berbagai bahan baku yang disalurkan ke sentra kerajinan seperti Cirebon, Madura, Surabaya, dan Semarang.

Pihaknya berharap pemkot mendorong bertumbuhnya ruang publik yang mendukung kreativitas masyarakat, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, memberikan bantuan atau hibah, serta mendukung perajin memamerkan karyanya baik di dalam dan luar negeri.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Pekalongan, Ricsa Mangkulla mengatakan sudah semestinya pemkot berupaya keras menjaga agar predikat Kota Kreatif Dunia tidak dicabut.

Ke depan, kerajinan batik yang menjadi unggulan bisa dikembangkan dan semakin dikenal dunia. “Infrastruktur untuk menunjang pariwisata juga harus dikembangkan,” terangnya.

Kadin menyayangkan kampung batik dan kampung canting di Pekalongan belum fokus pada satu tempat, sehingga wisatawan kesulitan mendapatkan lokasi yang benarbenar menjadi tempat tujuan wisata.

Haris Riyadi, perajin batik dari limbah kertas semen menambahkan predikat itu harus menjadi cambuk untuk terus berinovasi dalam produk kerajinan maupun cendera mata.

Menurutnya, sudah saatnya pelaku usaha dan perajin batik untuk memanfaatkan bahan baku yang dianggap sampah bisa diolah menjadi produk kerajinan. “Kalau ingin maju, harus menampilkan sesuatu yang beda. Kerajinan batik itu bisa diperoleh dari beragam bahan baku.”

Sementara itu, Fatchurrahman, perajin Batik Jlamprang, salah satu motif Batik Pekalongan yang turun temurun di wilayah Krapyak, mengakui produk garmen bermotif batik sangat memengaruhi pemasaran produk batik tulis dan cetak atau cap yang semakin menekan perajin.

Dia berharap pemerintah ke depan mampu melindungi para perajin batik bermodal kecil.

Perajin dan desainer kontemporer Batik Pekalongan dari Kampung Kauman, Ferdinan Damond, menegaskan pekerjaan rumah Pemkot Pekalongan adalah soal limbah batik. Sudah menjadi rahasia umum, limbah produksi batik dan garmen menjadi ekses dari kegiatan kreatif di kota.

“Sulit untuk saling mengingatkan pentingnya menjaga lingkungan, karena di lingkungan komunitas pasti ada reaksi pro dan kontra. Pemerintah perlu turun tangan di situ, sebab belum semua memiliki IPAL [instalasi pengolahan limbah],” jelasnya.

Dengan begitu, keberlanjutan produk budaya lokal dapat direalisasikan.

Batik sebenarnya bukan hanya milik Pekalongan secara ekslusif. Hampir semua daerah di Pulau Jawa ini jelas punya dan bisa mengembangkan batik.

Hanya, tinggal bagaimana daerah lain bisa berkreasi dan berinovasi agar apapun potensi yang dimilikinya bisa mengantarkan ke level lebih tinggi, mendunia.

 

*Tulisan ini ditulis bersama Muhammad Khamdi dan  Pamuji Tri Nastiti, serta telah tayang untuk Laporan Khusus di harian Bisnis Indoonesia, edisi 29 Mei 2015.

Komentar

  1. Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @TaipanQQinfo
    • WA :+62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t