Langsung ke konten utama

ArtScience Museum: Menikmati Seni dan Ilmu Pengetahuan



M
enjejaki setiap sisi ArtScience Museum, Marina Bay Sands, Singapura, tidak bisa tidak menggugah rasa takjub.


Seperti visi yang dituturkan dalam perhelatan pameran karya-karya Leonardo da Vinci yang bertajuk Da Vinci: Shaping The Future, museum tersebut secara keseluruhan ingin menyampaikan ide visioner dalam seni dan ilmu pengetahuan yang senantiasa mendorong peradaban manusia.

Lihat saja apa yang ArtScience Museum selalu sajikan dalam pameran bertajuk A Journey Through Creativity. Pameran tetap tersebut membawa pengunjung dalam sebuah perjalanan untuk melihat daya kreatif melalui rasa ingin tahu, inspirasi dan ekspresi terus menggelorakan api zaman.

Pengunjung sungguh akan dibawa kepada A Journey Through Creativity melalui tiga ruang,  Curiosity, Inspiration and Expression.

Sebagai galeri pembuka, Curiosity akan membawa pengunjung dalam permenungan mengenai hakikat seni dan ilmu pengetahuan, apa artinya bagi manusia, dan bagaimana hal itu memengaruhi dunia.

Inspiration menjadi sebuah galeri interaktif yang berfokus pada ide-ide besar yang merupakan produk dari penyatuan seni dan sains. Hal-hal itu niscaya menjadi inspirasi bagi manusia. Demikian pula dengan ArtScience Museum yang akan terus menghasilkan dan menghadirkan karya-karya baru dari ide-ide besar tersebut.


Sedangkan Expression menjadi galeri multi-media yang secara dinamis mempertunjukkan daya yang dihasilkan inspirasi bagi kekuatan manusia yang ekspresif dan penuh semangat. Pertunjukkan itu mewujudkan ide-ide yang mengubah cara manusia mengalami dunia.



Selain pameran tetap, ArtScience Museum juga menyajikan pameran bulanan dengan variasi tema yang tetap mengedepankan daya kreasi dalam seni dan sains, yakni ArtScience Late. Pagelaran ini diadakan sekali sebulan pada hari Kamis, pukul 19.00-22.00 waktu setempat.

Pada Mei 2014, misalnya, ArtScience Late bertemakan Beat box it! dengan menampilkan Charles "Stitch" Wong dan seniman video Quincy Teofisto dari Achtung! Achtung!. Pertunjukan itu menyajikan seni perkusi vokal dan media visual dari dua seniman asal Singapura.

Stitch, yang dalam sepuluh tahun terakhir berkarir solo dengan berbagai suara vokal drumbeats dan instrumen klasik asal China berbagi panggung untuk pertama kalinya dengan Quincy Teofisto.


Ada lagi, Life Circuit yang dihelat Juni 2014 menampilkan kolaborasi dua seniman Singapura, Urich Lau dan Kai Lam dengan seniman dari Jepang, Yuzuru Maeda. Kolaborasi ini menghadirkan pertunjukan musik dengan gadget audio dan visual yang berasal dari peralatan keselamatan industri seperti kacamata las, masker gas dan penutup telinga.

Tidak hanya didominasi seniman dari Singapura, ArtScience Museum menampilkan seniman asal Fiilipina pada Juli tahun lalu. Mereka adalah Lirio Salvador, ansambel musik Elemento dann Wawi Navarroza.

Lirio Salvador dalam dua dekade terakhir telah menciptakan alat musik dari benda-benda unik seperti bagian-bagian sepeda, peralatan dapur, besi tua dan lainnya. Inovasi tersebut akan dipadukan dengan ansambel dari Elemento yang menggunakan instrumen karya sendiri, yakni 'Sandata'. Perpadun instrumen musik kontemporer itu akan dipadu dengan vokal Wawi Navarroza.

Seniman asal Indonesia pun sempat 'manggung' di ArtScience Late pada September 2014. Dalam pergelaran bertajuk Body as Object, Eko Supriyanto dan Solo Dance Studio tampil.

Eko, yang dikenal dengan gabungan berbagai teknik tari kontemporer yang berakar pada tradisi Jawa klasik,  mengembangkan karya anyar dengan menggunakan hujan oculus di ArtScience Museum sebagai latar belakang para penari. Karya ini mengeksplorasi tubuh para penari sebagai objek yang dipamerkan dalam inti dari struktur museum.

Seniman asal Asia Tenggara lainnya, Chey Chankethya dan Amrita Performing Arts juga dihadirkan pada November 2014. Penari asal Kamboja itu berkolaborasi dengan seniman asal Amerika Serikat, Blake Shaw dari Sweatshoppe dalam pagelaran Transporting Rituals. Koreografi Chey Chankethya dipadukan dengan penciptaan media baru melalui lukisan karya Blake Shaw.

Tidak hanya sampai di situ, ArtScience Museum juga terus menghadirkan pagelaran seni dan sains. Pada 12 Februari, museum akan menghadirkan pertunjukan The Orchestra of Futurist Noise Intoners, ensambel yang didirikan pada 2009 oleh kommposer Italia, Luciano Chessa.

Dalam perhelatan ini, Luciano akan memipin ensambel membawakan replika awal Intonarumori, orkestra yang didirikan komposer dan pelukis Futurist, Luigi Russolo (1885-1947). Terinspirasi oleh mechanical noisemakers karya Leonardo da Vinci, Russolo mengembangkan sebuah orkestra instrumen tangan yang menjadi synthesizer mekanik pertama dengan beragam bunyi-bunyian menakjubkan.

Selain itu, pada akhir Maret nanti, museum akan menghadirkan Robert Casteels, Dirk Johan Stromberg and Andrew Thomas dalam pertunjukkan berjudul 2015:time:space:.

Pagelaran ini menghadirkan dua instrumen elektronik baru, Sphere dan Strombophone, dari kolaborasi karya melalui suara, instrumen elektronik,  tape dan video. Pertunjukkan audio ini menyajikan gambaran metropolitan Singapura dalam melintasi ruang dan waktu.



Berminat menyaksikan kolaborasi seni dan ilmu pengetahuan tersebut?

Yang pasti, mengalami hal itu tidak bisa tidak menggugah rasa takjub. Dari situlah kreasi baru hadir. "Experience is indispensable for the making of any instrument," kata da Vinci.


*naskah ini disiapkan untuk Bisnis Indonesia Weekend dan baru tayang pada Maret 2015. Sebenarnya, artikel ini hanya tambahan dari tulisan utama, http://kampusbebeck.blogspot.com/2014/12/da-vinci-merasakan-inovasi-seni-dan.html

NB: Hampir seluruh gambar diambil dari dari http://www.marinabaysands.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t