Langsung ke konten utama

Komoditas Bawang Jateng: Masih Perlukah Impor?




Tidak terlalu berlebihan, jika komoditas bawang merah dikatakan menjadi cerminan ironi bagi Provinsi Jawa Tengah. Berlimpahnya produksi bawang merah di provinsi seluas 3,25 juta hektar ini nampak tidak sejalan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakatnya.

Buktinya, tidak jarang bawang merah berandil pada peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi bulanan di enam kota di Jateng. Coba tengok data BPS yang dilansir Januari 2015 mengenai laju inflasi Jateng pada Desember 2014.

Bawang merah menjadi salah satu komoditas dominan yang memberikan sumbangan inflasi pada kelompok bahan makanan; kelompok pengeluaran kedua setelah transportasi, komunikasi dan jasa keuangan, yang mendongkrak inflasi sebesar 2,25% dan IHK 118,60 atau yang tertinggi di Jateng pada tahun lalu. Hal serupa juga terjadi pada Oktober, Juli, Juni, Mei, dan Maret 2014. Bawang merahbersumbangsih pada kenaikan IHK dan inflasi.

Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik Jawa Tengah Jam Jam Zamachsyari menjelaskan inflasi yang terjadi di Jawa Tengah, selain dipengaruhi barang yang harganya diatur pemerintah seperti bahan bakar minyak, juga tidak terlepas dari gejolak sektor bahan makanan. Komoditas bawang merah, bersama cabai merah, kata dia, dalam 2-3 tahun terakhir seringkali menjadi penyumbang bagi inflasi Jawa Tengah.

Pada 2014, lanjutnya, kelompok bahan bakar minyak menjadi penyumbang inflasi terbesar. Sedangkan, kelompok bahan makanan juga masih masuk dalam lima besar kelompok penyumbang inflasi. Walau tidak setiap bulan menyumbang secara signifikan, Jam menuturkan bawang merah menyumbang hingga 0,34% bagi inflasi 2014.

“Memang hanya bulan tertentu pada 2014, tetapi tidak kalah samai cabai,” ungkapnya saat ditemui Bisnis baru-baru ini.

Sumbangsih bawang merah bagi peningkatan IHK atau inflasi/deflasi tesebut pada dasarnya menujukkan pergerakan harga komoditas yang dikonsumsi oleh rumah tangga dari waktu ke waktu. Jam mengakui seringkali bawang merah mengalami fluktuasi harga yang signifikan.

Padahal bobot konsumsinya relatif lebih kecil dibandingkan komoditas seperti cabaimerah. Artinya, secara kuantitas kebutuhan rumah tangga akan cabai merah masih jauh lebih besar dibandingkan komoditas bawang merah. Namun, fluktuasi harga komoditas umbi tersebut seringkali di luar kewajaran.

“Harganya fluktuatif, bahkan sering di luar perhitungan. Misalnya pada awal bulan Rp15.000/kg bisa menjadi Rp65.000/kg di akhir bulan,” ungkapnya.

Menurut Jam, kondisi tersebut tidak bisa tidak menghadirkan pertanyaan lebih lanjut terkait kemampuan produksi komoditas bawang merah di Jateng. Pasalnya, Jateng menjadi salah satu penghasil bawang merah utama di Indonesia.

Data BPS Jawa Tengah mencatat produksi bawang merah di Provinsi Jawa Tengah pada 2013 sebesar 419.472 ton. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 37,66 ribu ton atau 9,86% dibandingkan 2012 dan menjadi yang tertinggi sejak 2011.

Peningkatan produksi itu disebabkan meningkatnya luas panen di Kabupaten Brebes sebesar 1.779 hektar atau sebesar 7,69%. Padahal, seluruh kabupaten/kota lainnya mengalami penurunan luas lahan hingga 7,03% atau sebesar 892 hektar.

Brebes yang memang dikenal sebagai sentra produksi bawang nasional bersumbangsih sekitar 304.757 ton atau mencapai 72,65% dari total produksibawang merah Jateng dengan luas panen mencapai 24,91 ribu hektar. Sebaliknya, kabupaten/kota lainnya mengalami penurunan produksi pada 2013 yang hanya mencapai 114.715 ton, turun 6,59% dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi itu sejalan dengan penurunan lahan yang pada 2013 hanya sekitar 11.805 ha.

Lantas dengan pasokan yang ada  seperti itu bagaiaman mungkin fluktuasi harga tidak terhindarkan?

Jam mengatakan fenomena tersebut sangat mungkin terkait dengan kontinuitas produksi bawang merah yang masih bersifat siklik atau tergantung musim. Di samping itu, alur distribusi atau tata niaga juga memengaruhi fluktuasi harga. Arus distribusi komoditas ke sejumlah pasar induk memengaruhi keseimbangan pasokan dan permintaan, sehingga pada akhirnya memengaruhi fluktuasi harga yang signifikan.

Namun, dia menilai ada faktor yang tak kasat mata yang memengaruhi peredaran komoditas tersebut. “Seolah ada invisible hand.” 

Hal itu berpotensi terjadi dengan pola distribusi bawang merah di Jateng yang masih konvensional, yakni dari petani kepada pengumpul yang akan mendistribusikan komoditas kepada pedagang besar di sejumlah pasar induk.

Pasokan tersebut kemudian disalurkan ke sejumlah wilayah di Jateng dan juga ke wilayah lain, bahkan hingga ke luar Jawa. Komoditas bawang merah Jateng, lanjutnya, misalnya diminati daerah lain di luar Jawa, seperti Kalimantan. Di sisi lain, Jam menuturkan kebutuhan komoditas Jateng juga dipenuhi oleh pasokan bawangdari daerah lain, terutama dari Probolinggo dan Banyuwangi, di Jawa Timur.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia Juwari mengatakan selama ini pasokan bawang merah dari Brebes kebanyakan didistribusikan ke wilayah barat pulau Jawa, seperti ke Jabodetabek, Jawa Barat dan Bandung. Selain itu, jelasnya, aliran komoditas seringkali dipasok ke pulau lain, terutama ke Sumatera dan Kalimantan.

Menurutnya, hasil panen dari Brebes yang didistribusikan ke wilayah Jawa Tengah, seperti ke Semarang, Solo, Salatiga atau bahkan ke DI Yogyakarta, relatif sedikit. Pasalnya, harga komoditas cenderung ditawar rrelatif lebih kecil oleh konsumen di kawasan tersebut. Alhasil, komoditas yang beredar di bagian tengah dan timur Jawa Tengah sebagian besar dipasok dari Kendal, Demak, dan bahkan dari Nganjuk dan Probolinggo di Jawa Timur.

“Sulit untuk memasok [komoditas bawang merah] misalnya ke Pasar Johar, Semarang. Saya bertemu kepala pasarnya dan ternyata penwarannya lebih murah, yakni Rp8.000/kg. Padahal pasokan ke Jabodetabek dihargai Rp9.000/kg,” jelas Juwari yang juga adalah Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Brebes.

Juwari menuturkan Kabupaten Brebes layaknya daerah lain di pantai utara Jawa. Panen raya komoditas bawang merah terjadi pada Juli-Agustus. Menurutnya, dalam setahun kabupaten yang menjadi sentra bawang nasional tersebut mampu menghasilkan 10 ton bawang merah per hektare lahan. Adapun, lahan yang ada saat ini mencapai 23 ha. Di samping itu, masa panen bawang merah juga dapat dilangsungkan pada periode Desember-Januari.

Namun, bukannya tanpa masa paceklik. Masa tanpa panen komoditas bawangmerah di Brebes berlangsung pada Februari-April. Bertanam bawang terlalu riskan saat musim penghujan seperti itu. Banjir dan ancaman hama menjadi momok bagi petani. Sebagai gantinya, pada masa itu umumnya petani bawang merah di pantura akan memanfaatkan lahan untuk budidaya komoditas lainnya.

Kurun waktu tersebut, lanjut Juwari, menjadi saat yang tepat untuk pemerintah melakukan impor komoditas untuk memnuhi kebutuhan nasional. “Kalau pun ada impor untuk kebutuhan nasional, kalau bisa hanya pada Februari-April. Jangan di atas April,” ungkapnya.

Surplus Bawang Merah


Kebutuhan bawang merah secara nasional, jelas Juwari, sebenarnya hanya berkisar 800.000-900.000 ton dalam setahun. Dengan angka kebutuhan tersebut, komoditasbawang merah nasional sebenarnya masih mengalami surplus dengan kemampuan pasokan rata-rata sekitar 1,1 juta ton setahun.

Secara lebh detil, Juwari menuturkan kebutuhan nasional setiap bulan berkisar 68.000-70.000 ton. Sedangkan, pasokan bawang merah di Indonesia bergantung pada musim. Sedangkan pada masa panen, Juwari menegaskan pasokan komoditas dari Kabupaten Brebes saja mampu mencapai 140.000 ton per bulan pada Juli-Agustus. Pasokan yang cenderung lebih sedikit terjadi pada Desember- Januari, yakni sekitar 30.000 ton.

Kendati begitu, Juwari menuturkan jumlah pasokan komoditas tidak merata di sepanjang tahun. Kondisi itu niscaya mendorong terjadinya fluktuasi harga komoditas di pasar. Secara lebih luas, hal itu menjadi celah bagi masuknnyabawang merah impor. Kekurangan Pasokan bawang merah akan membayangi pasar Indonesia dalam kurun waktu Februari-Juli.

Di satu sisi, tanpa aliran komoditas dari luar negeri akan mendorong terjadinya inflasi akibat kenaikan harga barang. Hal itu, kata Juwari tercermin dari harga komoditas pada 2013. Namun di sisi lain, dia berharap keran impor juga mesti diselaraskan dengan kebutuhan.

“Kalau tidak ada impor akan memicu inflasi. Kekurangan ditutup dengan impor. Jika tidak flluktuasi harga tajam. Tetapi mesti dibatasi agar tidak merugikan petani,. Pemerintah mesti menghitung distribusnya,” ungkapnya.

Impor Jadi Solusi?

Juwari menuturkan permasalahan kontinuitas pasokan untuk memenuhi kebutuhanbawang merah nasional sebenarnya tidak mesti diselesaikan dengan impor. Menurutnya, penyediaan fasilitas penyimpanan produk sebenarnya bisa menjadi solusi.

Dia menuturkan kelebihan panen raya pada periode Juli-Agustus sebenarnya bisa dimanfaatkan bagi cadangan kebutuhan bawang merah nasional. Namun, lanjutnya, karakteristik komoditas tersebut cenderung tidak bisa disimpan lama.

Pasalnya, degan suhu konvensional penyusutan bawang merah dalam kurun waktu dua bulan mencapai kisaran 30% dari bobot awal. “Satu ton bawang merah misalnya bahkan hanya tersisa 6 kw dalam dua bulan.”

Kendala tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan penyediaan sarana penyimpanan berteknologi tinggi, seperti cool storage. Akan tetapi, Juwari menyangsikan kesanggpuan para petani Indonesia. Lantas siapa yang akan menanggung beban penyediaan fasilitas tersebut?  “Siapa petani yang mampu? Siapa yang membiayai? Padahal, secara nasional pasokan tahunan kita berlebih,” tegasya.

Selain itu, Juwari mengatakan kondisi tata niaga atau distribusi bawang merah turut berandil bagi tidak meratanya pasokan dengan kebutuhan daerah dan akhirnya menyuluh fluktuasi harga. Flukutasi harga yang menjadi fenomena pasar riil bisa menjadi cerminan kebutuhan akan tana niaga atu distribusi yang lebih apik.


Juwari menjelaskan pasokan bawang merah Brebes yang didistribusikan ke barat Pulau Jawa, terutama akan ditujukan ke pasar Kramat Jati di Jakarta, Cibitung dan Caringin di Jawa Barat.

Pada musim panen, rata-rata pasokan bawang merah dari Brebes setiap hari mencapai 20 truk angkutan per hari. Setiap truk akan membawa sekitar 70 tonbawang merah. Jumlah angkutan bahkan dapat melonjak hingga 40 truk per hari. Sebaliknya, pada musim paceklik pasokan tertinggi hanya sekitar 15 truk setiap harinya.

Dengan begitu, Juwari menuturkan fluktuasi harga tidak terhindarkan. Pasokan berlebih niscaya menyebabkan harga pasar komoditas jatuh. Sementara, harga meroket tak terkendali ketika pasokan relatif berkurang. “Kalau lebih misalnya30 truk saja harga jatuh. Tapi, kalau 15 truk pembeli berebut, harga naik.

Pengendalian pasokan tersebut, jelas Jumar, sulit dilakukan oleh asosiasi. Karena itu, dia berharap pemerintah bisa mengantisipasi fenomena tersebut. Apalagi hal itu sudah menjadi fenomena tahunan.

Menurutnya, pemerintah semestinya mampu menjaga pasokan agar setara dengan permintaan. Pemerintah pusat atau daerah dapat memberikan informasi teraktual mengenai kebutuhan nasional dan titik-tiki distribusi sehingga dapat disesuaikan dengan pasokan dari sentra-sentra penghasil komoditas.

“Jika pemerintah memberi informasi yang luas soal pasar, petani atau distributor bisa tahu, kapan untuk menambah atau menahan pasokan. Jangan lebih terlalu banyak atau jangan sampai kurang,” ujarnya.

Pengaturan tata niaga tersebut, sambung Juwari, juga mengisyaratkan kebutuhan akan fasilitas penyimpanan untuk menjaga kontinuitas pasokan.

Lebih jauh, Juwari menuturkan pasokan bawang merah yang berlebih di Jateng dapat dialoksasikan bagi ekspor ke sejumlah negara seperti Thailand, Malaysia dan Singapura. Thailand, jelasnya, menjadi negara tujuan dengan kebutuhan terbesar.

“baru-baru ini kami ekspor 3.000 ton ke Thailand. Ekspor pada September dimungkinkan karena kami kelebihan pasokan,” ujarnya.

Namun, Juwari menuturkan pihaknya masih kesulitan untuk mendapatkan eksportir bagi komoditas bawang merah. Karena itu, dia berharap pemerintah juga memfasilitasi para petani.

Menurutnya, para importir yang dipilih untuk memenuhi kekurangan pasokan pada pasa paceklik dapat diarahkan sebagai eksportir pada periode panen.

“Importir mesti juga melakukan ekspor. Jadi, pemerintah jangan merekomendasikan importir yang ndak bisa memfasilitasi ekspor bawang. Karena mereka seringkali tidak peduli,” katanya.

*Tulisan ini disiapkan untuk Laporan Khusus bertema Komoditas Bawang Jawa Tengah yang ditayangkan Februari 2015 di Bisnis Indonesia.

Komentar

  1. Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @TaipanQQinfo
    • WA :+62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t