Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi
sebuah perubahan global. Hal
ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme
dunia. Semua bidang
kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak
terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada
kecenderungan dimana hukum pasar yang berlaku diantara para
pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai
dengan hukum penawaran-permintaan,
pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan
cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk
bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya.
Berhadapan dengan gejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat
dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan
merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut
sebagai “hominisasi dan humanisasi”.
Pemikiran Driyarkara kiranya dapat mencegah pendidikan yang berorientasikan
gambaran manusia yang tidak fundamental. Gambaran Driyarakara tentang
pendidikan sebagai suatu aktifitas fundamental, pemanusiaan manusia muda
kiranya merupakan suatu antisipasi yang efektif untuk meredam kecenderungan
industrialisasi pendidikan.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai ‘Pendidikan sebagai
Pemanusiaan Manusia Muda’ ini akan diuraikan dalam beberapa bagian. Bagian
pertama berupa riwayat singkat dari filsuf Nicolaus Driyarkara. Kemudian akan
disusul dengan uraian pemikirannya tentang pendidikan. Dan pada bagian terakhir
‘Pendidikan vis-a-vis Industrialisasi’
akan diuraikan relevansi pemikiran Driyarkara mengenai pendidikan dengankondisi
masyarakat global masa kini.
- Riwayat Singkat Nicolaus Driyarkara[1]
Nicolaus Driyarkara dilahirkan di Pegunungan Menoreh,
tepatnya di Desa Kedunggubah (kurang lebih 8 km sebelah timur Purworejo, Kedu),
Jawa Tengah, pada 13 Juni 1913. Ia diberi nama Soehirman, tetapi biasa
dipanggil Djenthu yang berarti kekar dan gemuk. Baru waktu masuk Girisonta
tahun 1935, ketika memulai hidup baru dalam Serikat Jesus, ia mengambil nama
Driyarkara. Ia dilahirkan sebagai anak bungsu dari keluarga Atmasendjaja. Driyarkara
memiliki seorang kakak laki-laki dan dua
orang kakak perempuan.
Semula Driyarkara masuk Volksschool dan Vervolgschool
di Cangkrep. Diteruskan dengan HIS (Hollandsch
Inlandsche School) di Purwurejo dan Malang. Pada tahun 1929 ia masuk
Seminari Menengah—sekolah menengah khusus untuk calon imam Katolik, setingkat
SMP dan SMA dengan program humaniora Gymnasium di Belanda—. Setelah tamat sekolah
menengah ini ia mulai menempuh pendidikan tinggi untuk para calon imam dengan
bergabung dengan tarekat religius Serikat Jesus (anggotanya sering disebut
Jesuit atau SJ). Pada saat itu Driyarkara menjalani dua tahun sekolah ascetika
(kehidupan rohani), satu tahun humaniora (bahasa Latin, Yunani kuno serta
sejarah kebudayaan Timur dan Barat) sebagai propedeusis
untuk studi filsafat di Girisonta. Sesudah itu selama tiga tahun ia belajar
filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta yang waktu itu disebut
Ignatius College. Semua ini dijalani antara tahun 1935-1941.
Sesudah menamatkan studi filsafatnya, Driyarkara menjadi
guru bahasa Latin dalam program humaniora di Girisonta selama satu tahun. Selama
di Girisonta ini, dalam bulan Maret 1942 ia mengalami penyerahan tanpa syarat
pemerintah Hindia Belanda kepada Bala Tentara Jepang. Antara Tahun 1942-1943 ia
belajar teologi di Kolese Muntilan bersama beberapa rekannya sesama Jesuit.
Juli 1943 Kolese Muntilan ditutup oleh Bala Tentara Jepang. Driyarkara sempat
tinggal beberapa waktu di Mendut dekat candi Borobudur. Dari situ ia dipanggil
ke Yogyakarta berhubung para misionaris Belanda termasuk dosen-dosen filsafat,
harus masuk interniran. Driyarkara ditugasi mengajar Filsafat. Selama
pendudukan Jepang dan dilanjutkan dua tahun lagi, yaitu sampai pertengahan
tahun 1947, ia menjadi dosen filsafat pada Seminari Tinggi, Yogyakarta—Pendidikan
Tinggi untuk imam Katolik, dimana mereka belajar filsafat 2 tahun dan teologi 4
tahun setelah mereka selesai pendidikan setingkat Gymnasium—. Sementara itu ia banyak
belajar sendiri teologi sebagai persiapan untuk ditahbiskan menjadi imam
Katolik. Tahbisan diberikan pada tanggal 6 Januari 1947 oleh Mgr.
Soegijapranata SJ--yang berkedudukan di Semarang dan membawahi umat Katolik di
sebagian Jawa Tengah dan seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta—.
Perjanjian Linggarjati, 15 November 1946, menyebabkan
Mgr. Soegijapranata mengira bahwa sengketa antara Republik Indonesia dan
Kerajaan Belanda pada prinsipnya sudah dapat diatasi sehingga beliau bersama
pimpinan Serikat Jesus di Indonesia menugasi Driyarkara untuk menyelesaikan
studi teologinya di Maastricht, Belanda. Dengan berat hati, tidak tanpa
pergumulan batin, hanya demi ketaatan, ia berangkat ke Belanda pada tanggal 24
Juli 1947. Setelah tamat teologi di Maastricht (1949), ia meneruskan pelajaran
tentang kehidupan rohani di Drongen (dekat Gent), Belgia. Kemudian pada tahun
1950-1952 ia melanjutkan studi filsafat program doktoral di Roma pada
Universitas Gregoriana. Studi ini diakhiri dengan gelar doktor setelah ia
mempertahankan disertasinya mengenai ajaran seorang filsuf Prancis, Nicolas
Malebranche (1630-1715) dengan judul Participationis
Cognitio In Existensia Dei Percipienda Secundum MalebranceUtrum Patrem Habeat
yang dalam bahasa Indonesia oleh Driyarakara sendiri diterjemahkan: “Peranan
Pengertian partisipasi dalam pengertian tentang Tuhan menurut Malebranche”. Selama
menyelesaikan disertasinya, ia masih menyempatkan diri mengirim tulisan-tulisan
ringan—tetapi sesekali mempunyai makna yang dalam juga—untuk majalah dalam
bahasa Jawa di Yogyakarta Praba
dengan seri “Serat Saking Rome”. Dari tulisannya dalam Praba yang terbit tanggal 11 November 1951, ia terbukti layak
mendapat sebutan Djenthu. Dengan judul “Napels pralambanging kadojan sing
larut” yang berarti “Napels simbol keduniawian yang lenyap” ia mengisahkan
bagaimana ia betul-betul menikmati pendakian gunung barapi tersohor di Italia
yaitu Visuvio. Ia memang sudah ketagihan naik gunung setelah 10 tahun absen
dari kegiatan ini. Tulisan NN dalam Kompas,
13 Februari 1967, menegaskannya “Sewaktu mudanya Pater Drijarkara justru
termasuk orang yang kuat fisiknya. Teman-temannya selalu mengakui keunggulannya
kalau naik-turun-gunung.”
Sekembalinya ke tanah air, Driyarkara diangkat menjadi
pengajar filsafat pada Ignatius College di Yogyakarta. Waktu PTPG (Perguruan
Tinggi Pendidikan Guru) Sanata Dharma, Yogyakarta didirikan pada awal tahun
ajaran 1955-1956, Driyarkara diangkat manjadi pimpinannya. PTPG ini kemudian
berubah menjadi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), dan ia tetap
menjadi dekannya. Kemudian waktu FKIP berubah menjadi IKIP (Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan), Driyarkara tetap menjadi rektornya sampai saat ia
meninggal. Sejak tahun 1960 ia merangkap menjadi Guru Besar Luar Biasa pada
Universitas Indonesia dan Hassanuddin. Tahun 1963-1964 ia mengajar sebagai Guru
Besar tamu pada St. Louis University di kota St. Louis, Missouri, USA. Diawali
dengan peranannya dalam simposium “Kebangkitan Angkatan 66” di Universitas
Indonesia, Mei 1966, prasarannya dimuat dalam majalah Basis. Sejak itu berama Prof. Dr. Slamet Iman Santoso dan Porf. Dr.
Fuad Hassan, ia sering mengisi forum-forum diskusi tentang Pancasila. Selaku
anggota Tim Ideologi ia juga diminta mengajar pada SESKOAD di Bandung dan
SESKOAL di Cipulir. Pada bulann Desember 1966 diselenggarakan Praseminar
Pancasila di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia yang merupakan awal
kristalisasi kegiatan-kegiatan sebelumnya. Tanggal 22 November November 1966 ia
diusulkan menjadi Guru Besar Tetap pada Universitas Indonesia. Sejak tahun 1960,
Driyarkara juga menjadi anggota MPRS. Tahun 1965 ia diangkat menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tetapi lembaga negara ini sudah sejak bulan
Januari 1965 tidak pernah mengadakan rapat. Setelah kejadian-kejadian sekitar
11 Maret 1966, Presiden membentuk DPA(S) baru. Ia termasuk 18 orang yang
menolak secara resmi pengangkatannya, dengan alasan bahwa selama menjadi
anggota DPA tidak pernah dimintai nasihat, ditambah pertimbangan bahwa proses
pengangkatan DPA(S) baru ini dinilainya berjalan di luar ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
Pada 11 Februari 1967, Driyarkara dipanggil Tuhan untuk
selama-lamanya dan dimakamkan di Tanah Abang, Jakarta. Beberapa tahun kemudian
jasad Driyarkara dipindahkan ke Girisonta di Desa Karangjati dekat kota kecil
Ungaran, di Jawa Tengah dan dimakamkan kembali di antara-rekan-rekan Jesuit
lainnya. Di sana pada tahun 1935, ia memulai hidupnya sebagai novis atau semacam cantrik selama dua tahun, menjalani latihan-latihan dan mengalami
tempaan-tempaan. Setelah lulus dari latihan dan tempaan ini ia secara resmi
dinyatakan menjadi anggota Serikat Jesus atau Jesuit. Di sana pulalah ia akhirnya
dimakamkan. Ia datang dalam kesederhanaan dan kembali untuk menetap
selama-lamanya dalam kesederhanaan pula.
- Fenomena Pendidikan menurut N. Driyarkara[2]
Dalam
bagian Fenomena Pendidikan Driyarkara menulis tentang pendirian-pendiriannya
mengenai pendidikan: bahwa pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk
memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi dan humanisasi”. Untuk itu, berikut ini akan diuraikan ringkasan
pemaparan Driyarkara mengenai Fenomena Pendidikan. Pertama-tama akan diberikan
uraian Driyarkara tentang pendidikan sebagai aktivitas fundamental. Kemudian
disusul dengan gambaran dasar pendidikan, yang akan menjadi latar bagi
pendirian Driyarkara bahwa pendidikan merupakan pemanusiaan manusia muda, atau dengan kata lain hominisasi dan
humanisasi. Berikutnya akan
dilanjutkan dengan penjelasannya mengenai bapak, ibu dan anak sebagai
Bhineka-Tunggal dan struktur (kesatuan) pendidikan. Dan pada akhirnya diberikan
penegasan Driyarkara mengenai definisi Pendidikan.
- Pendidikan Sebagai Aktivitas Fundamental
Driyarkara
menyebutkan, dalam menyusun ilmu pendidikan, yang pertama kali harus dilakukan
adalah mencari tahu apa itu fenomena pendidikan.
Secara etimologi, phainomenon berarti sesuatu yang tampak. Dalam hal itu, Driyarkara mempertegas
fenomena bukanlah hanya apa yang tampak di hadapan mata, melainkan di hadapan
manusia; di hadapan budi, jiwa, serta pribadinya. Lalu
seperti apakah fenomena pendidikan itu? Menurut Driyarkara, tidak ada satu perbuatan pun yang an
sich sudah berupa pendidikan. Kenyataan
tersebut tidak menurunkan makna pendidikan, karena justru semua perbuatan bisa
dijadikan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dibatasi dalam perbuatan tertentu.
Perbuatan
menjadi pendidikan karena diberi arti tertentu, yaitu membawa anak ke taraf insani. Perbuatan mendidik sama dengan
perbuatan manusia yang sifatnya mendalam dan tidak terikat pada bentuk
tertentu. Sama halnya dengan cinta
kasih antara suami-istri. Dalam
perbuatan manusia arti tidak hanya diberikan, melainkan juga dibuat. Karena
dibuat, maka harus ada bahannya, yang dimaksud adalah bahwa kompleks keadaan
atau situasi secara potensial sudah harus mengandung arti itu. Manusia tidak
hanya memberi arti; arti itu juga diambil. Arti yang dibangun oleh manusia itu
berupa kemungkinan dalam situasi yang dihadapinya. Jadi jika
hari ini perbuatan tertentu merupakan penjelmaan, lalu di hari lain mungkin
saja sebaliknya.
Menurut Driyarakara, perbuatan fundamental terkait dengan perbuatan yang
menyentuh akar kehidupan sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Perbuatan fundamental itu keluar dari sikap fundamental,
seperti sikap moral, sosial, atau religi. Sikap fundamental mengubah,
menentukan, membangun hidup manusia, baik hidupnya sendiri maupun hidup sesama.
Sikap ini berdasarkan kodrat manusia sendiri sehingga manusia dalam hal ini
saling mengangkat; menyebabkan kita saling terhubung dan membuat berbagai macam
kesatuan dalam hidup kita. Oleh karena itu, bagi Driyarakara perbuatan mendidik
merupakan perbuatan fundamental, yang mengubah dan menentukan hidup manusia.
- Gambaran Dasar dari Pendidikan
Bagi Driyarkara, sangat mungkin bahwa bila orang yang berpikir tentang pendidikan dan mencari
sesuatu yang lebih dalam hanya
sampai ke satu hal yang biasa disebut pergaulan.
Namun, Driyarkara menegaskan bahwa
tidak setiap pergaulan antara setiap orang dewasa dan anak bersifat mendidik.
Tetapi justru pergaulan antara pendidik dan anak didik yang sekalipun tanpa pikiran mendidik, pada dasarnya bersifat mendidik. Driyarkara di sini ingin mempertanyakan; Apakah arti
perbuatan mendidik?
Melalui
pergaulan, pendidik memimpin si anak dalam eksplorasinya untuk menemukan yang
disebut Driyarkara sebagai dunia manusia. Dalam gejala pendidikan terdapat hubungan
timbal balik antara pendidik dan anak didik, yang bisa disebut pendidikan.
Perbuatan mendidik, seperti perbuatan-perbuatan lain merupakan penjelmaan dari sesuatu.
Sesuatu yang menjelmakan pendidikan itu bisa disebut dengan jiwa pendidikan atau gambaran dasar
dari pendidikan. Dalam hal ini,
Driyarkara menjelaskan arti dari perbuatan mendidik ialah bahwa
dengan tindakannya itu pendidikan hendak memanusiakan
manusia muda. Jadi, eidos
atau ide pokok perbuatan mendidik: pemanusiaan manusia muda. Itulah gambaran dari setiap perbuatan mendidik.
·
Pendidikan
Sebagai Hominisasi dan Humanisasi
Berbeda
dengan
pandangan Thomas Hobbes dalam Leviathan yang menyiratkan pandangan bahwa
manusia harus mengangkat dirinya ke taraf manusia, berupa pengalahan nafsu atau dorongan
kodrati, bagi Driyarkara, yang harus diangkat dalam pemanusiaan manusia ialah seluruh manusia. Manusia harus mengangkat dirinya sendiri
untuk hidup dan berada sesuai dengan kodratnya. Jadi, manusia harus memanusiakan dirinya atau dengan kata lain
hominisasi dan humanisasi.
Menurut
Driyarkara, hominisasi merupakan proses pemanusiaan secara umum,
yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Berbeda
dengan binatang, manusia tidak dengan sendirinya bersifat manusia sesudah
kelahirannya. Di situlah peran pendidikan. Sesudah
masuk dalam lingkup manusiawi dengan memenuhi kodratnya niscaya, pendidikan
selanjutnya memanusiakan manusia secara khusus dalam proses humanisasi. Humanisasi adalah perkembangan
kebudayaan yang lebih tinggi, seperti tampak dalam kemajuan-kemajuan budaya dan
ilmu pengetahuan. Manusia turun tangan dalam mengangkat alam menjadi alam manusiawi. Tidak ada
batas antara hominisasi dan
humanisasi.Tidak akan ada hominisasi tanpa humanisasi sedikit pun.
Driyarkara
menjelaskan bahwa perbutan mendidik keluar dari suatu sikap
fundamental tertentu. Sikap
fundamental tersbut adalah cinta murni, karena yang menjadi tujuan bukanlah kepentingan diri sendiri, melainkan
kepentingan yang dicintai. Di sini cinta, yang juga melahirkan kesatuan hidup, berusaha
menyejejajarkan diri dengan subjek, karena mereka belum sejajar. Lalu cinta
turun ke bawah, tetapi tidak tinggal di bawah, melainkan turun, mengambil (menerima dan memasukkan yang
dicintai ke dalam dirinya), dan mengangkat (menyebabkan
subjek-yang-sedang-menjadi tumbuh menjadi subjek paripurna).
·
Bapak,
Ibu, dan Anak Sebagai Bhinneka-Tunggal
Seluruh pendidikan bisa disebut
perwujudan dalam dua arti: pertama,
pendidikan sebagai keseluruhan berisi banyak wujud. Mirip dengan kata
perkebunan atau perbukitan. Kedua,
perwujudan juga berarti pelaksanaan yang konkret. Istilah perwujudan digunakan
Driyarkara untuk menunjuk bentuk pokok yang memuat semua bentuk, yaitu hidup
bersama atau kesatuan hidup di mana anak terkandung di dalamnya (bukan hanya
secara biologis, tetapi juga dikandung dalam keluarga, sehingga menjadi manusia
paripurna). Kesatuan hidup
antara orang tua dan keturunan itu merupakan perwujudan dan tempat utama serta
primer dari pendidikan. Dalam hal
ini, Driyarkara
tidak setuju dengan konsep negara dari Plato. Baginya, kandungan ibu hanya dapat
dilanjutkan dengan kandungan keluarga.
Bagi
Driyarkara, kesatuan hidup terwujud nyata terutama dalam perkawinan. Perkawinan adalah pelaksanaan cinta
kasih dalam kesatuan hidup. Cinta kasih itu antara dua pribadi yang sama
tingginya, derajatnya, haknya. Dua pribadi menjadi satu; dua aku menjadi kita.
Itulah ideal perkawinan. Dalam
kesatuan hidup lalu muncullah keturunan. Kesatuan
cinta kasih, selain biologis, juga merupakan kesatuan jasmani-rohani. Anak manusia itu tidak hanya lahir dari
badan, melainkan juga “lahir dari jiwa”. Karena
terdapat anak, kesatuan itu menjadi lebih erat. Kesatuan hidup ini dapat disebut
Bhinneka Tunggal atau tritunggal karena ketiganya merupakan konfigurasi
tersendiri. Jadi hubungan
bapak, ibu dan anak merupakan relasi Bhineka Tunggal, tempat perwujudan primer
dari pendidikan.
Dalam
perwujudan
primer pendidikan dalam kesatuan hidup tersebut, kebapakan itu berupa relasi (hubungan), sikap dan pelaksanaan sikap. Menurut Driyarkara, bila pria
menerima kebapakannya, belum tentu ia berhasil menjadi bapak. Dalam kebapakan
terdapat berbagai variasi keadaan (Tergantung watak, pandangan, dan sikap
hidup). Dalam hal ini, pria
memandang anak sebagai pelaksanaan impian-impiannya. Dia merasa lahir dan hidup
kembali dalam diri anaknya. Bapak
mengidentifikasikan dirinya dengan si anak, juga mengidentifikasikan anak
dengan dirinya; dengan cita-citanya. Semuanya
dialami dalam kesatuannya dengan si anak. Sebelum ada anak, suami tidak sendiri
karena sudah se-Aku dengan istri. Sesudah ada anak, maka termuatlah dia. Bapak mengakui dan menerima anak itu
dalam kesatuan dengan istri. Bapak telah menunjukkan
cinta kasih; ingin memanusiakan anak. Misalnya dengan pemberian nama anak. Bapak memasukkan anak ke dalam kehidupan
(baik jasmani maupun rohani). Memasukkan itu untuk “melahirkan”; membuat anak
itu lambat laun menjadi manusia paripurna. Proses kelahiran itulah yang disebut
pendidikan.
Berbeda
dengan Bapak, bagi Driyarkara, Ibu tidak perlu mengakui dan
menerima. Sejak awal anak sudah dirasakan sebagai buah dirinya (bukan hanya
buah badan). Saat lahir, anak
“lebih terkandung” karena kelemahan si anak tampak jelas oleh ibunya. Hidup
anak masih terus diselenggarakan oleh ibunya. Ibu
selalu mengalami anak dalam perspektif atau pandangan ke depan. Semua
perbuatannya didasarkan atas pandangan itu; dalam kesemuanya itu sang ibu ingin membesarkan anak. Yang termuat dalam kesatuan ibu-anak
adalah kehendak untuk memanusiakan si anak. Kehendak itu menjelma menjadi
berbagai macam perbuatan yang
jelas tujuannya yakni,
memanusiakan.
Dalam
perwujudan
primer pendidikan dalam kesatuan hidup dari sudut anak, menurut
Driyarkara, terdapat skema dasar dari seluruh keadaan dan
kehidupan anak, yaitu Geborgenheit
dan partisipasi. Yang pertama, Geborgenheit
(secara harfiah: tersimpan, tersembunyi) adalah kondisi yang menjamin hidup dan
perkembangan. Contoh konkritnya, anak saat dalam kandungan ibunya dalam keadaan
yang lengkap dan serba terjamin. Geborgenheit
dalam hidup anak bervariasi. Kalau anak sudah besar; sudah mengerti keadaan
orang tuanya, maka dalam keadaan menderita, anak bisa juga menangkap kesukaran
orang tuanya. Dari sudut anak,
ada keadaan tidak berdaya. Dari sudut orang tua, dengan sendirinya terdapat
rasa yang menyebabkan orang tua menyelenggarakan segala-galanya. Rasa kebapakan
dan keibuan mendorong orang tua untuk memberi keadaan serba terjamin dalam Geborgenheit. Rasa itu tidak cukup. Rasa bisa membawa
berbagai macam tindakan keliru, yang tidak sesuai dengan kepentingan anak. Rasa
dan kecenderungan harus juga “dimanusiakan” (dihayati dan dilaksanakan secara
manusia, dengan pikiran). Bisa
disebut bahwa orang tua memberi keadaan serba terjamin, tetapi dapat juga
dikatakan bahwa bapak dan ibu adalah Geborgenheit
itu. Geborgenheit
menyuburkan atau menumbuhkan
manusia. Di samping itu
ada partisipasi. Partisipasi (participate atau participation)
berarti mempunyai bagian, atau lebih tepatnya ikut serta. Orang tua mengikutsertakan anak dalam
kehidupan; anak diperlakukan sebagai manusia. Hal ini nampak ketika anak belajar
bahasa, juga dengan
berpartisipasi. Dalam hal ini, orang tua memandang dan mengalami anak sebagai
manusia yang sedang dalam proses penjadian. Dengan
menerima anak sebagai kesatuan mereka, itu berarti orang tua mengikutsertakan
si anak dalam hidup mereka. Lambat
laun anak menjalankan kehidupan manusia. Anak akan terbuka dan “bertemu” dengan
ibunya: dari hati ke hati; seperti dua manusia yang berada dalam cinta suci. Cinta tersebut suci, sejati, dan luhur
(manusia tidak diobjekkan; manusia bertemu dengan manusia; pribadi dengan
pribadi.) Di sinilah
terwujud Liebende Wirheit:
dua pribadi bersatu, tapi tidak kehilangan diri sendiri. Sebaliknya, justru
dalam bersatu itu masing-masing lebih mempribadi. Dalam “kekitaan” yang penuh cinta
itu, anak mengalami bahwa dunia manusia itu spasial (terbentang, ada di sini,
ada di sana) dan temporal (ada
sekarang, ada nanti).
·
Struktur
Pendidikan
Menurut
Driyarkara, struktur atau organisasi adalah kesatuan. Dalam realitanya, Driyarkara membedakan dua macam
kesatuan, yakni kesatuan buatan dan kesatuan makhluk hidup. Kesatuan buatan merupakan kesatuan yang berasal atau terbentuk dari unsur luar. Jadi, jika rusak tidak dapat pulih
sendiri. Misalnya, arloji
yang tersusun dari perangkat-perangkatnya. Berbeda dengan kesatuan
buatan, kesatuan mahkluk hidup berasal dari dalam. Jadi mahkluk hidup membangun kesatuannya
sendiri, sehingga jika
terjadi kerusakan
dalam kesatuannya, ia akan mencoba memulihkan kerusakan itu sendiri. Dalam hal ini, Driyarakara menegaskan bahwa realita pendidikan
jelas merupakan pertumbuhan suatu makhluk hidup (manusia).
Terkait
dengan itu, menurut Driyarkara, unsur pertama yang
mengorganisir pendidikan adalah kesatuan hidup (yang membesarkan dan mendidik
anak). Dalam diri anak, kedua orang tua melihat
dirinya sendiri dalam diri anak. Mereka memasukkan anak ke dalam kehidupan mereka,
dan anak “melekat” serta memasuki diri mereka. Orang
tua tidak secara sadar dan terang-terangan menempatkan anak dalam kehidupan
mereka. Penerimaan dan penempatan anak itu adalah untuk selama hidup. Kesatuan tampak dalam hukuman. Ada
masa-masa di mana misalnya ibu menghilangkan kebersamaan dengan si anak sebagai
hukuman. Anak “diceraikan” supaya melekat kembali. Kesatuan
tritunggal keluarga itulah yang “mengorganisir” perbuatan-perbuatan mendidik. Kesatuan dapat juga disebut hidup
bersama. Hidup
bersama ini bisa dibandingkan dengan hidup bersama lain yang bukan merupakan
pendidikan seperti orang yang hidup bersama dalam penjara. Maka, pendidikan dilihat melalui
kesatuan atau hidup bersama tritunggal keluarga, merupakan suatu bentuk hidup
bersama yang membawa anak ke tingkat manusia purnawan.
Unsur lain yang mengorganisir pendidikan, bagi Driyarkara, adalah pengejaran dan
pelaksanaan nilai-nilai. Manusia
dalam perbuatannya pasti mengejar dan melaksanakan nilai. Nilai itu diantaranya
adalah nilai vital (memenuhi kebutuhan hidup jasmani, misalnya menanam padi),
nilai estetika atau nilai keindahan, dan nilai kebenaran (pengertian dan
perkembangannya dalam bentuk ilmu pengetahuan merupakan suatu nilai). Namun, dua nilai paling fundamental untuk
manusia adalah nilai moral dan nilai keagamaan. Nilai
moral: manusia harus berkembang menjadi
sempurna (rohani-jasmani). Maka manusia harus melaksanakan hukum-hukum yang
melekat pada dirinya sebagai manusia. Hukum itulah yang kita sebut hukum moral
(melaksanakan kewajiban, cinta kepada sesama, menghormati keluhuran martabat
manusia dengan tidak mengobjekkan, dll.). Nilai
moral tidak bisa dipisahkan dari nilai keagamaan. Manusia tidak bisa sempurna
sebagai manusia jika tidak juga sempurna sebagai ciptaan Tuhan. Nilai moral dan keagamaan melekat pada
perbuatan sebagai sifat. Manusia menjadi bernilai karena perbuatannya itu.
Maka, dapat dikatakan bahwa sebetulnya yang merupakan nilai itu adalah manusia
sebagai pribadi atau persona. Tetapi dia adalah nilai yang masih harus diaktivasi
lebih lanjut. Dengan kata lain, dia harus menjadi sempurna dengan melaksanakan
nilai moral dan keagamaan. Untuk
aktivisasi tersebut diperlukan barang. Maka dari itu barang-barang kita sebut
“mempunyai nilai” (diperlukan sebagai objek dalam pelaksanaan nilai manusia
itu). Nilai-nilai itu merupakan kesatuan dan
merupakan susunan hierarkis.
Driyarkara
menegaskan bahwa pengejaran nilai-nilai merupakan unsur
yang mengorganisir dan datangnya dari pihak pendidik. Tidak ada unsur yang hanya melulu dari
satu pihak: perkembangan anak pun mempersatukan perbuatan-perbuatan yang
bersifat mendidik sehingga tidak tercerai-berai; tidak terpisah-pisah tanpa
hubungan, melainkan merupakan suatu kesatuan. Ada
masanya saat anak mau menceraikan diri dari kesatuan keluarga atau sama sekali
menolak suatu bagian dari pendidikkan, maka dari itu, ada tindakan
“penyelamatan dan pemulihan” pendidikan oleh orang tua. Dari tindakan itu,
terlihat adanya usaha untuk menjamin kelangsungan kesatuan. Tindakan-tindakan mendidik disesuaikan
dengan usia anak. Hal itu berarti bahwa perbuatan-perbuatan itu tidak sama
kedudukannya, tetapi diatur menurut perkembangan anak. Orang tidak akan memperlakukan anak
tujuh tahun sama dengan anak tujuh belas tahun. Tindakan-tindakan mendidik
disesuaikan dengan usia anak. Itu berarti perbuatan-perbuatan itu tidak sama
kedudukannya, tetapi diatur menurut perkembangan anak. Jadi, semua memiliki
kedudukan dalam perkembangan anak. Struktur
pendidikan bukanlah jumlah tindakan, melainkan “tampak” jika kita melihat
pertumbuhan ke kemanusiaan. Struktur tumbuh, berkembang dari bentuk yang kurang
sempurna menjadi bentuk yang sempurna. Jika
dilihat dari sudut “melekatnya” si anak, maka harus dikatakan bahwa
perkembangan berarti berkurangnya kelekatan, tetapi tidak mengurangi kesatuan.
Justru dengan makin “berdikari”, kesatuan yang sebenarnya (antarmanusia) makin
berkembang. Prosesnya dapat
digambarkan sebagai: kesatuan melalui perpisahan ke kesatuan yang lebih tinggi.
·
Definisi
Pendidikan
Dari
pemaparannya, Driyarkara merumuskan definisi pendidikan dalam tiga
rumusan yang satu sama lain
tidak terpisah, melainkan saling memuat. Tiga rumusan itu adalah sebagai berikut:
Berdasarkan pemanusiaan yang
dilakukan pendidik dan anak didik: pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan
tritunggal bapak-ibu-anak, di mana terjadi pemanusiaan anak, dengan mana dia
berproses untuk akhirnya memanusia sendiri sebagai manusia purnawan.
Berdasarkan ide mengenai hominisasi
dan humanisasi: pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal
bapak-ibu-anak, di mana terjadi pembudayaan anak, dengan mana dia berproses
untuk akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia purnawan.
Berdasarkan pandangan mengenai
pelaksanaan nilai-nilai: pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal
bapak-ibu-anak, di mana terjadi pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana dia
berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan sendiri sebagai manusia purnawan.
- Pendidikan vis a vis Industrialisasi
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa bagi Driyarkara
pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda atau hominisasi dan humanisasi. Pendidikan mesti diarahkan pada kodrat
rohani manusia tersebut. Terkait
dengan kondisi masa kini dimana masyarakat dunia
menghadapi sebuah perubahan sosial besar-besaran, Pemikiran Driyarkara dapat dijadikan suatu refleksi.
Gambaran Driyarakara tentang pendidikan sebagai suatu aktifitas fundamental,
pemanusiaan manusia muda kiranya merupakan suatu antisipasi yang efektif untu
meredam kecenderungan industrialisasi pendidikan. Untuk itu, berikut ini
pertama-tama akan diuraikan kondisi masa kini yang kiranya dapat digambarkan
dengan istilah ‘Industrialisasi Pendidikan’ (dalam hal ini, pendidikan yang
ter-industrialisasi terutama dalam institusi pendidikan formal). Kemudian akan
diuraikan relevansi pemikiran Driyarkara dalm kondisi tersebut.
- Industrialisasi Pendidikan
Pada
saat ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan sosial besar-besaran
dengan corak, istilah, peluang, hambatan, serta makna historis yang berbeda-beda.
Perubahan global ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan
industri kapitalisme dunia. Istilah “globalisasi” merupakan salah satu upaya
terkemuka untuk memahami atau memaknai perubahan besar-besaran ini. Lalu bagaimanakah kondisi dunian pendidikan di Indonesia
yang mau tidak mau juga menjadi bagian dari perubahan besar-besaran ini?
Dalam perubahan yang dihadapi masyarakat dunia ini, yang
sedang berkecamuk bukanlah
sekadar perubahan tata-politik dunia, atau tata perimbangan kekuatan militer,
atau suatu dinamika ekonomi dan keuangan dunia yang baru. Berbagai sektor
perubahan itu memang terjadi dan semua itu menjadi sorotan utama ketika orang
berdiskusi tentang masyarakat mutakhir dengan menggunakan istilah-istilah kunci
seperti industri, kapitalisme, atau globalisasi. Tetapi, perubahan sejarah
besar-besaran yang sedang kita alami dalam beberapa tahun belakangan juga
memperlihatkan hal-hal yang biasa disebut sebagai kebudayaan, nilai-nilai,
selera, gaya hidup, ideologi, solidaritas sosial, gairah identitas sosial, dan
sebagainya. Semua yang tersebut belakangan ini jarang mendapatkan perhatian dan
pengamatan sebesar yang diberikan orang kepada persoalan-persoalan ekonomi
atatu politik.[3]
Sebagai
bagian dari masyarakat dunia, Indonesia tidak kebal dari gelombang perubahan
besar-besaran itu. Tidak
terkecuali pranata sosial yang dinamakan “pendidikan” di
Indonesia tidak bisa tidak terjerat dan sekaligus tergerak dalam berbagai arus
perubahan sosial yang menggelisahkan dan sering membingungkan ini. Ada beberapa
kecenderungan yang terjadi dalam bidang pendidikan tinggi di Indonesia dalam
periode dan proses perubahan yang ditandai oleh kuatnya watak industrialisasi
global. Proses industrialisasi pendidikan sudah dan sedang secara besar-besaran
terjadi di Indonesia; proses ini menjadi gencar dalam kurang-lebih dua puluh
tahun terakhir dan mungkin akan berlanjut.[4]
Apa
yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia seperti banyak di tempat lain,
telah diamati dan dibahas secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. dua diantaranya tampak
saling bertolak belakang. Di
satu pihak, kita jumpai mereka yang menyaksikan nasib pendidikan dengan wajah
muram, dan membahasnya dengan penuh ratapan, penyesalan, kalau bukan kemarahan.
Antara lain, mereka mengatakan bahwa mutu pendidikan kita semakin merosot
(dengan berbagai ukuran dan penyebab yang tidak seragam dalam berbagai uraian
mereka). Hal-hal seperti industrialisasi atau globalisasi dianggap sebagai
suatu ancaman atatu musuh pendidikan. Di pihak lain, kita juga jumpai mereka yang dengan giat membuka
berbagai wilayah baru dalam dunia pendidikan. Dengan bersemangat mereka
menyebarkan berita seakan-akan dunia pendidikan sedang menikmati suatu
kebangkitan baru dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Terknologi infomasi, jaringan kerja antar lembaga pendidikan mancanegara, serta
semakin meluasnya kesempatan belajar bagi kaum muda usia sekolah dari berbagai
latar belakang sosial dikemukakan sebagai contoh kemajuan terpenting yang pantas
dirayakan dan disyukuri dalam bdang pendidikan.[5]
Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan
di Indonesia telah mengalami proses industrialisasi dan juga internasionalisasi. Gejala makro
ini menjelmakan diri secara keseharian dalam suasana perkuliahan di kelas-kelas
di berbagai tempat di dunia. Hukum pasar yang berlaku diantara para pesaing
industri pendidikan pada tingkat global juga merebak pada tingkat lokal di
kampus dan bahkan di ruang kelas serta bermuara pada interaksi dosen-mahasiswa.
Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan,
fakultas atau jurusan yang laris dianak-emaskan, misalnya ekonomi, bisnis,
manajemen, kedokteran, teknik atau komputer. Adapun bidang pendidikan seperti
filsafat, bahasa, sejarah, pendidikan atau etika diancam tutup karena kurangnya
peminat. Para mahasiswa sendiri berbondong-bondong memilih bidang studi yang
laris bukan berdasarkan minat dan bakat, tetapi prospek pasar kerja yang
tersedia seusai lulus pendidikan. Di masing-masing jurusan yang kering dan
kurus, terjadi persaingan dan ancaman serius terhadap status kepegawaian dosesn
yang kuliahnya kurang diminati mahasiswa. Kelas kecil sama dengan toko yang
sepi. Ia harus ditutup karena membebani ongkos lembaga yang bersangkutan., dan
dosennya diberhentikan atau diminati mengajar di bidang yang bukan minatnya,
tetapi punya nilai pasar.[6]
Di
hampir semua kampus di negara-negara industri, setiap fakultas dihargai dan
hanya bisa bertahan hidup apabila berhasil mendatangkan sejumlah mahasiswa
peminat dan pembayaran uang kuliah. Akibatnya, setiap dosen yang bekerja di
fakultas itu juga dihargai menurut kemampuannya menjual “perkuliahan” yang
dihitung menurut jumlah mahasiswa. Semua ini bisa berakibat buruk apabila tidak
ada mekanisme kontrol kualitas secara kelembagaan.untuk menarik mahasiswa
sebanyak-banyaknya, para dosen bisa saja berlomba membuat pelajaran seringan
mungkin, ujian semudah mungkin, nilai semakin murah, pekerjaan rumaha sesedikit
mungkin, dan supaya mahasiswa senang, membuat perkuliahan sesantai mungkin
dengan lelucon dan bukan analisis kritis. Promosi pangkat, bonus tahunan, cuti,
dan sejumlah hak kerja sang dosen ditentukan antara lain oleh perhitungan
semacam itu menurut sebuah rumusan matematika yang sudah dibakukan secara
resmi. Akibatnya, di sejumlah fakultas atau jurusan ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, jumlah dosen teramat kecil, gaji mereka ditekan seminimal mungkin,
dan beban tugas mereka berlimpah. Semua ini demi menekan ongkos produksi
pendidikan. Akibat berikutnya,
para dosen ini terlalu sibuk mempertahankan status kepegawaiaannya, tak pernah
punya waktu cukup untuk berinteraksi dengan mahasiswa di luar jam kuliah, atau
bahkan untuk mengembangkan diri secara intelektual.[7]
Jauh-jauh hari dalam dunia pendidikan di Indonesia
sendiri sudah ditanamkan semangat kapitalisme dan hukum pasar, walau pada saat
itu patrimonialisme dan feodalisme politik masih menjadi payung besarnya.
Bentuknya yang paling konkret adalah sistem kredit. Proses pendidikan
dipecah-pecah menjadi satuan unti perkuliahan (atau penelitian, atau kerja laboratorium,
atau tugas praktek lapangan) dan dijualbelikan secara eceran. Setiap mahasiswa
bekerja dan dinilai secara individual dan dihargai secara kumulatif dalam
sebuah medan kegiatan yang bersifat kompetitif. Hal yang sama berlaku untuk
sistem penghargaan terhadap kinerja dosen. Juga kinerja fakultas dan jurusan.
Proses ini akan dikembangkan secara lebih terbuka dan menyeluruh dalam bentuk
otonomi kampus bersamaan dengan melenyapnya otonomi kerja intelektual.[8]
Dalam perubahan ini, pendidikan Indonesia yang semula
lebih banyak bertumpu pada birokrasi yang berpusat pada partai elite politik
yang sedang berkuasa digeser oleh sebuah kompetisi global yang berpusat pada
“pasar” yang juga tidak pernah sepenuhnya bebas dan adil. Suka atau tidak,
sebuah proses besar-besaran, yakni industrialisasi atau kapitalisme global,
memukul telak sebuah tata sosial dan tradisi pendidikan yang pra-industrial,
atau proto-industrial, atau industri awal di Indonesia dan memaksakan sebuah
tata sosial dan tradisi baru yang semakin industrial dan global. Proses ini
bukan baru terjadi sekarang. Ia sudah mulai gencar pada masa awal bangkit dan
berjayanya pemerintahan Orde Baru dan terlebih sejak berakhirnya Perang Dingin,
di mana Indonesia semakin tercekam dalam kancah pasar kapitalisme global
pasca-Perang Dingin yang ditandai oleh kebijakan ekspor non-minyak,
swastanisasi, dan demiliterisasi. Pada mulanya proses ini berlangsung gencar
dalam bidang perdagangan. Tetapi, segera ia melebar ke bidang-bidang lain dalam
tempo dan irama yang berbeda-beda: pendidikan, politik, keluarga, kesenian, dan
sebagainya.[9]
Demikianlah deskripsi perubahan yang melanda dunia masa
kini.
Indonesia tidak tidak bisa tidak
terkena pengaruh dari gelombang perubahan besar-besaran tersebut. Di sini, terutama dunia “pendidikan” di
Indonesia niscaya
larut dalam arus perubahan sosial.
Jadi, proses industrialisasi pendidikan
sudah dan sedang secara besar-besaran terjadi di Indonesia. Kondisi muktahir ini yang menjadi konteks masa kini bagi
lembaga dan watak pendidikan tinggi di Indonesia hadir sebagai tantangan tersendiri. Pendidikan sebagai
suatu perbuatan yang seharusnya fundamental dihadapkan pada tawaran-tawaran
yang dapat mengurangi maknanya bagi manusia.
- Relevansi Pemikiran Driyarkara tentang Pendidikan
Perubahan
yang digambarkan secara sederhana di atas berlangsung dalam jumlah besar-besaran dan
dinamika yang jauh lebih kaya warna serta nuansa daripada yang dapat
digambarkan di sini. Dari
deskripsi tersebut dapatlah digarisbawahi sebuah kondisi muktahir yang
bersifat global yang menjadi konteks masa kini bagi lembaga dan watak
pendidikan tinggi di Indonesia. Gambaran di atas juga sekaligus menjadi sebuah
peringatan bagi dunia
pendidikan Indonesia, juga secara umum bagi masyarakat Indonesia dalam usahanya
memanusiakan “manusia Indonesia”.
Terkait dengan itu, kiranya pemikiran Driyarkara mengenai
pendidikan bisa dijadikan suatu sarana refleksikan bagi pendidikan (terutama
formal dalam institusi pendidikan) dalam masa sekarang, agar arah dan tujuan
pendidikan tidak bergeser ke pengejaran gambaran manusia yang tidak
fundamental.
Driyarkara sebenarnya, dalam tulisan-tulisannya mengenai
pendidikan, sudah mengantisipasi perubahan yang digambarkan di atas. “Dalam
abad teknik ini”, tulis Driyarkara, “bisa saja orang hanya memburu kecakapan
kerja dan bukan perkembangan manusia. Maka, dengan memasukkan anak sekolah,
misalnya orang tua belum tentu perbuatannya itu utuh sebagai perbuatan mendidik
karena dirongrong oleh konsep yang salah.”[10]
Dalam pernyataan tersebut, kiranya Driyarakara ingin menunjukkan suatu
kekeliruan dalam mengejar gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan
mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Jadi dalam
memperkembangkan manusia muda dalam lapangan pengertian menurut Driyarkara harus
sesuai dengan kodrat manusia.
Jelaslah bahwa bagi Driyarkara pendidikan
merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, atau juga disebut hominisasi dan
humanisasi. Melalui hominisasi, manusia masuk dalam lingkup hidup
manusiawi secara minimal. Setelah masuk dalam lingkup manusiawi
dengan memenuhi kodratnya yang niscaya, pendidikan selanjutnya memanusiakan
manusia secara khusus dalam proses humanisasi. Dalam humanisasi manusia berproses dan berkembang untuk bisa meraih
perkembangan yang lebih tinggi. Dalam
hal ini, manusia turun tangan dalam mengangkat alam menjadi
alam manusiawi. Alam manusiawi
ini
disebut Driyarkara sebagai kebudayaan dalam arti luas.
Dalam pemikiran mengenai pendidikan tersebut, Driyarkara
menguraikan bahwa mendidik itu termasuk dalam kategori aktivitas fundamental.
Karena merupakan aktivitas fundamental, antara pendidikan, mencakup mendidik
dan dididik, dengan pelaksanaannya yang konkret terdapat perbedaan. Hal yang
serupa terjadi dalam cinta dan bentunknya yang konkret. Jadi, perbuatan
mendidik adalah penjelmaan dari sesuatu, seperti pemberian hadiah atau cincin
merupakan penjelmaan dari cinta. Seperti cinta yang menjelma dalam berbagai
macam bentuk, demikian juga sesuatu yang menjelma dalam perbuatan mendidik itu
bisa menjelma dalam berbagai aktivitas yang bersifat mendidik. Sesuatu itu bagi
Driyarkara disebut jiwa pendidikan atau gambaran dasar dari pendidikan. Jiwa
pendidikan tersebut niscaya merupakan pemanusiaan manusia muda. Arti dari
perbuatan mendidik ialah bahwa dengan tindakannya itu pendidikan (hendak)
memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani. Itulah
gambaran manusia yang menjelma dalam semua perbuatan mendidik, yang jumlah dan
macamnya tidak terhitung.
Gambaran Driyarakara tentang pendidikan sebagai suatu
aktifitas fundamental, pemanusiaan manusia muda kiranya merupakan suatu
antisipasi yang efektif untuk meredam kecenderungan industrialisasi pendidikan.
Berhadapan dengan gejala makro yang terutama efeknya paling terasa dalam dunia
pendidikan formal, pemikiran Driyarkara kiranya dapat mencegah pendidikan yang
berorientasikan gambaran manusia yang tidak fundamental. Karena tidak dapat
dipungkiri bahwa hukum pasar yang berlaku diantara para
pesaing industri pendidikan pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis.
Sesuai
dengan hukum penawaran-permintaan,
pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Pendidikan hadir sebagai
toko-serba-ada yang menyediakan barang bagi kehidupan global. Pendidikan
(formal) pada masa ini, dengan demikian, rentan terhadap kecenderungan
pragmatis yang berorientasikan nilai pasar, atau dengan kata lain tidak
fundamental. Pendidikan cenderung mengarahkan anak-didik kepada gambaran
manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran
manusia yang sebenarnya.
- Penutup
Dalam memperkembangkan manusia muda dalam lapangan
pengertian menurut Driyarkara harus sesuai dengan kodrat manusia. Karena bagi Driyarkara, pendidikan merupakan kegiatan sadar
untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai hominisasi dan
humanisasi. Berhadapan dengan
situasi global yang membawa serta kapitalisme dan juga kecenderungan
industrialisasi pendidikan, Pemikiran Driyarkara mengenai pendidikan kiranya
relevan. Driyarkara menegaskan suatu pendidikan humanis, dimana pendidikan mesti diarahkan pada
kodrat rohani manusia. Jadi, pembentukkan
manusia yang berkeahlian saja tidak cukup, melainkan pemanusiaan manusia secara utuh.
Pragmatisme dalam dunia pendidikan formal sebagai suatu
konsekuensi dari industrialisasi pendidikan kiranya dapat mengurangi makna
fundamental pendidikan. Sebagaimana dikatakan Driyarkara, “Pandangan pragmatis
adalah pandangan yang hanya mengingat guna yang langsung dan konkret dari
sesuatu… Pandangan yang pragmatis itu membawa bahaya kesempitan… Pendidikan
(pengajaran) adalah untuk mengatasi soal itu….memang, sudut pragmatis itu harus
ada, tetapi hanya sebagai sudut. Jadi, jangan dijadikan sesuatu yang eksklusif
(satu-satunya), jangan dijadikan inti sarinya. Sebetulnya, sudut pragmatis itu
sudah dengan sendirinya termuat dalam konstruksi pengajaran yang baik. Karena
sudut pragmatis itu sudah dengan sendririnya termuat dalam sistem pengajaran
yang baik, dan karena jika ditonjolkan dan dilebih-lebihkan membawa bahaya,
maka dalil kami menganjurkan janganlah pandangan itu diutamakan.”[11]
Bagi Driyarkara, pendidikan yang keliru tersebut hanya mengejar gambaran
manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang. Orientasi nilai pasar
menjadi tujuan bukanlah gambaran manusia yang sebenarnya. Pendidikan menjadi
komoditi ekonomis. Padahal bagi Driyarkara, dalam memperkembangkan manusia muda
dalam lapangan pengertian harus sesuai dengan kodrat manusia. Jadi jelaslah
pemanusiaan manusia muda adalah jiwa pendidikan.
***
Daftar Pustaka
Danuwinanta, F., SJ. (editor). Karya
Lengkap Driyarkara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Haryanto,
Ariel, “Industrialisasi Pendidikan”, dalam
Sindhunata (editor), Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan,
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
[1] Disarikan
dari “Kata Pengantar” oleh F. Danuwinanta, SJ. Dalam buku, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006,
hal. xix-xxiii.
[2] Bagian ini
merupakan ringkasan dari karya Driyarkara, “Fenomena Pendidikan” dalam;
Danuwinanta, F., SJ. (editor), Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat
Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2006, 255-418.
[3] Haryanto, Ariel, “Industrialisasi Pendidikan”, dalam
Sindhunata (editor), Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan,
Yogyakarta: Kanisius, 200, hal. 36.
[10] Danuwinanta,
F., SJ. (editor), Karya Lengkap
Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal. 363.
[11]Driyarkara,
“Capita Selecta”, dalam; Danuwinanta, F., SJ. (editor), Karya
Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam
Perjuangan Bangsanya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, 425-426.
Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
BalasHapusSITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
dengan kemungkinan menang sangat besar.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
• AduQ
• BandarQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• FaceBook : @TaipanQQinfo
• WA :+62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
Come & Join Us!!