Langsung ke konten utama

Diyarkara: Agama-Negara dalam Perspektif Pancasila

Dewasa ini,  berhadapan dengan arus globalisasi yang membawa serta gejala sekularisme di satu sisi dan fundamentalisme agama pada ekstrem yang lain, problematika tentang hubungan antara agama dan negara seringkali menjadi sorotan. Bagaimanakah seharusnya posisi yang tapat bagi agama dalam negara modern. Indonesia pun tidak lepas dari problem tersebut. Berbagai kasus pelanggaran kebebasan beragama dan diskriminasi agama tak jarang mewarnai langit republik ini. Negara Pancasila kadang-kadang bersikap kurang memperhatikan religi dan juga campur tangan lebih dari semestinya. Bagaimanakah seharusnya sila Ketuhanan dalam dasar negara Indonesia dimaknai dan dilaksanakan dalam kehidupan bernegara?

Untuk itu perlulah kita melihat kembali pemikiran N. Diyarkara, yang juga kurang lebih 40  tahun lalu telah mengggali pemahaman filosofis mengenai hubungan Pancasila (sebagai dasar negara) dengan religi. Pancasila, menurut Driyarkara, merupakan pusaka nan kaya raya dari rakyat Indonesia. Dalamnya, terpadatkan rumusan kodrat manusia. Pancasila inherent pada kodrat manusia. Dalam pancasila itu, menjadi jelas bahwa baik agama (sebagai konkretisasi religi) maupun negara berakar pada kodrat manusia.
Pembahasan Driyarkara mengenai hubungan agama dan negara ini berdasarkan karya N. Diyarkara, ‘Pemikiran Pancasila Sebelum 1965’ dalam buku “Karya Lengkap Driyarkara”[1]. Dalam karyanya ini, Driyarkara tidak memaksudkan suatu pemikiran praktis            tentang bagaimana sila Ketuhanan dalam praktiknya, melainkan lebih secara teoritis.

  1. Pancasila sebagai Rumusan Kodrat Manusia

Driyarkara menegaskan bahwa Pancasila diyakini sebagai pusaka yang merupakan kebenaran fundamental nan kaya raya. Dengan begitu, Pancasila haruslah dipikirkan, diselami, disebarluaskan, dicintai dan dilakukan. Dalam hal ini, Driyarkara mengemukakan suatu filsafat manusia yang secara mendasar sudah terpadatkan dalam Pancasila.

a.      Rumusan Kodrat Manusia

Menurut Driyarkara, melalui pengamatan atas manusia dalam eksistensi konkretnya (cara berada), akan selalu tampak bahwa manusia tidak berdiri sendiri/ terpisah. Manusia tidak dapat dimengerti, kecuali sebagai “serba-terhubung-dalam-segala-galanya” (manusia dalam kesatuannya dalam segala sesuatu). Manusia dalam hidupnya bersatu dengan alam jasmani yang direalisasikan dalam hidup membudaya dan membudayakan; menciptakan barang-barang dan syarat-syarat kelengkapan (in-der-welt-sein). Hidup manusia juga berada-bersama-dengan-sesama-manusia (liebendes mis-sein). Keduanya harus dijalankan, jika tidak demikian manusia tidak hidup menurut kodratnya: melanggar moral. Menjasmani-Meng-Kita bukanlah dua bagian yang berbeda. Keduanya adalah kesatuan, yakni manusia dengan caranya berada. Jadi, menurut Driyarkara cara berada manusia dapat disebut: menjasmani-meng-Aku-meng-Kita.

  • Kesatuan dengan alam jasmani untuk merohani.

Manusia dalam kesadarannya melihat diri sendiri terhubung dengan alam semesta. Pengertian ini tersirat dalam kesadaran eksplisit—bukan berarti “ini” mendahului intersubjektivitas—. Manusia itu adalah sesuatu yang dengan mengasingkan diri sendiri dari diri sendiri menemukan diri sendiri dalam dirinya sendiri (berdialektik). Jadi, untuk menjadi sungguh manusia, ia harus memanusiakan diri sendiri dan itu harus dengan dan dalam mengalami kesatuan dengan alam jasmani. Manusia tidak bisa hidup, bahkan berpikir, tanpa hubungan atau kesatuan dengan alam jasmani. Manusia itu pribadi, harus mempribadikan dirinya hanya dapat dalam kesatuan dengan alam jasmani.
Karena berunsurkan kejasmanian, manusia bersifat potensial, ia merupakan bakat. Menjalankan kesatuan dengan alam jasmani untuk mempribadikan diri itu disebut “membudaya”. Dunia jasmani yang dalam membudaya itu diangkat dan dijadikan satu dengan diri manusia disebut “kebudayaan”. Hanya dalam dan dengan membudayakan alam jasmani, manusia membudayakan diri sendiri. Dalam membudaya termuat unsur-unsur teknik, ekonomi, dan peradaban.
Dalam dan dengan afirmasi (pengakuan) adanya diri sendiri, manusia juga mengakui adanya alam jasmani. Berdasarkan kesatuan dengan alam jasmani, bagi manusia menjalankan hidupnya berarti juga menjalankan kesatuannya dengan alam jasmani. Bagi manusia menghidup berarti menjasmani, tetapi menjasmani adalah untuk merohani. sebab manusia itu person (persoon) rohani. Semua kesibukan manusia adalah untuk mempribadikan diri. Caranya manusia berada dapat disebut “diakletis rohanisme”.

  • Kesatuan dengan manusia lain dalam Cinta Kasih.

Menurut strukturnya, ada manusia berupa ada bersama (mit-sein). Aku selalu memuat engkau. Manusia dalam dan dengan mengakui adanya sendiri juga mengakui adanya manusia lain. Hal ini nyata dalam ‘bahasa’. Manusia bukan berbahasa, tapi membahasa. Bahasa adalah pertumbuhan kodrati. Membahasa berarti keluar dari diri dan masuk pada diri lain. Di samping itu dalam analisis kesadaran nyata bahwa sadar berarti menghadapkan diri. Manusia tak bisa menghadapkan diri sendiri kepada diri sendiri kecuali dalam anggapan bahwa kita menghadapkan diri sendiri kepada orang lain. Percakapan dengan diri sendiri merupakan bukti bahwa ada dorongan berkomunikasi dengan orang lain. Sadar berarti membuka diri untuk orang lain dan siap sedia untuk memasuki orang lain. Kesadaran tentang Aku adalah meng-Aku yang sudah berarti dialog atau percakapan. Jadi, nyata bahwa struktur (ada) manusia: berada berarti berdialog dengan orang lain, jadi manusia selalu meng-Kita.
Ada bersama (mit-sein) itu seharusnya berarti berada bersama dengan hormat dan cinta kasih. Adanya kebencian memperkuat kebenaran cinta kasih. Benci tidak mungkin jika tidak harus ada cinta. Benci adalah peniadaan (negation) cinta kasih. Manusia menurut kodratnya merupakan kecintaan, tapi manusia tidak niscaya akan kodratnya (bisa menyangkal). Jika taat berarti cinta dan bila menyangkal berarti benci. Dalam hal ini, yang primer atau lebih fundamental adalah cinta kasih. Jika ada bersama kodratnya adalah benci, maka ada sama dengan tidak ada. Pengakuan (affirmation) sama dengan menyangkal (negation). Hidup sama dengan mati. Benci berkontradiktif jika jadi dasar. Jadi jelaslah bahwa hidup manusia juga berada-bersama-dengan-sesama-manusia-dalam-cinta-kasih (liebendes mis-sein).

b.      Pancasila sebagai Rumusan Kodrat Manusia

Pancasila sebagai dalil-dalil filsafat adalah jawaban atas pertanyaan, apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas. Driyarkara menegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan dari kodrat manusiawi (human nature) dipandang secara lengkap, artinya dipandang menurut semua hubungannya karena kodrat manusia memang serba terhubung. Untuk menjelaskanya, Driyarkara menjelaskan Pancasila sebagai rumusan kodrat manusia melalui perspektif filosofis dan juga dalam posisinya sebagai dasar negara.

  • Pancasila sebagai Dasar Negara dan Filsafat

Menurut Driyarkara, secara teoritis, Pancasila dapat dipandang sebagai dalil-dalil filsafat atau sebagai dasar negara. Keduanya tidak tepat sama. Pancasila sebagai dalil-dalil filsafat merumuskan realitas manusia dalam semesta-realitas, jadi merupakan Weltanschauung. Sedangkan Pancasila sebagai dasar negara pada konkretnya adalah negara yang berdasarkan pancasila. Dalam Pancasila sebagai filsafat, Perikemanusiaan diambil dalam arti seluas-luasnya, sedangkan sebagai dasar negara perikemanusiaan terutama berarti intenasionalisme. Keadilan sosial, dalam Pancasila sebagai filsafat, juga diambil dalam arti yang seluas-luasnya, sedang sebagai dasar negara keadilan sosial harus dijelmakan oleh negara. Pancasila sebagai Filsafat menekankan bahwa tiap-tiap kesatuan karya harus melaksanakan demokrasi, sedang sebagai dasar negara berarti cara menegara. Dan dalam Pancasila sebagai Filsafat, kebangsaan ditandai oleh kelahiran & tanah air (bangsa) dan bahwa tanda itu harus dijadikan dasar dalam tingkah laku warga-negara, terutama dalam  membentuk kesatuan karya, sedang sebagai dasar negara kesatuan yang sudah ada haruslah menjadi dasar negara.
Weltanschauung tak sama dengan filsafat. Dalam zaman primitif, Weltanschauung tidak diawali filsafat. Pengertian abstrak (filsafat) “beralih” menjadi pandangan atau lebih baik “pendirian hidup” (Weltanschauung) ketika manusia yang berpikir tentang realitasnya sendiri terdorong untuk menerima realitas itu dan menjalankannya. Pancasila sudah lama merupakan Weltanschauung bagi bangsa Indonesia tetapi tanpa dirumuskan sebagai filsafat. Dengan hanya mengakui pancasila sebagai dalil-dalil, orang masih tinggal dalam lingkungan filsafat. Pancasila menjadi pendirian atau sikap hidup jika akan melakukan hidup atas dasar lima sila itu. Sebagai dalil-dalil filsafat, Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut:
I.                    Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada-bersama-dengan-cinta-kasih (liebendes Miteinandersein). Jadi, adaku harus aku jalankan sebagai cinta kasih pula. Cinta kasih dalam kesatuanku dengan sesama manusia, jika dipandang pada umumnya, disebut Perikemanusiaan.
II.                 Perikemanusiaan itu harus kujalani dalam bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan barang-barang dunia yang berguna sebagai syarat-syarat, alat-alat, dan perlengkapan hidup. Penjelmaan Perikemanusiaan dalam sektor ini disebut Keadilan Sosial.
III.               Perikemanusiaan harus kulaksanakan juga dalam memasyarakat. Aku manusia niscaya memasyarakat. Memasyarakat berarti mengadakan keasatuan-karya itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari Perikemanusiaan, setiap anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya. Cara melaksanakan Perikemanusiaan dalam sektor ini (ialah pembentukan kesatuan karya) kita sebut Demokrasi. Cara ini harus dijalankan baik dalam masyarakat-kecil (kooprasi dan sebagainya) maupun dalam masyarakat besar.
IV.              Perikemanusiaan harus juga kulaksanakan dalam hubunganku dengan kesatuan, yang dengan proses lambat laun ditimbulkan oleh sejarah, keadaan tempat, keturunan, kebudayaan, peradaban bersama, dan faktor yang lain. Kesatuan itu ikut serta menentukan dan membentuk diriku sebagai manusia yang konkret dengan perasaannya, semangatnya pikirannya dan sebagainya. Ada bersama pada konkretnya berupa hidup dalam kesatuan itu. Jadi hidupku dalam kesatuan itu harus merupakan pelaksanaan dari Perikemanusiaan. Kesatuan yang besar itu, tempat aku pertama harus melaksanakan Perikemanusiaan, disebut Kebangsaan.
V.                 Aku mengakui bahwa adaku itu ada bersama, serba terhubung, serba tersokong, serba tergantung. Jadi, adaku itu tidak sempurna, tidak atas kekuatan sendiri. Jadi, aku bukanlah sumber dari adaku. Semua hal yang ada dengan terbatas, justru karena terbatasnya (sama dengan aku) tidak mungkin menjadi sumber adaku. Yang dapat merupakan sumber adaku pada akhirnya hanyalah Ada Yang Mutlak, Sang Maha-Ada. Sang Maha-Ada itu bukanlah sesuatu, melainkan Pribadi yang Mahasempurna. Itulah Tuhan Yang Maha Esa.
Adaku yang berupa cinta kasih itu sebetulanya adalah cinta kasih kepada Sang Maha-Cinta-Kasih, Sang Maha-Penyayang. Dalam pikiran ini aku menemukan dasar dari adaku; jadi, dasar dari semua perbuatanku; jadi dasar dari pelaksanaan Perikemanusiaan, Keadilan Sosial, dan lain-lain.

  • Pancasila timbul dari Kodrat Manusia

Bagi Driyarkara, pertanyaan, apakah manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas, merupakan pertanyaan abadi yang pada dasarnya terkandung dalam setiap manusia. Dan, Pancasila sebagai dalil-dalil filsafat adalah jawaban atas pertanyaan tersebut. Atau dengan perkataan lain, menurut Driyarkara, Pancasila merupakan rumusan dari kodrat manusiawi (human nature) dipandang secara lengkap, artinya dipandang menurut semua hubungannya karena kodrat manusia memang serba terhubung.
Empat sila muncul dari kodrat manusia, sebagai pemerincian dari “ada-bersama-dengan-cinta-kasih” (Liebenandes mit-sein). Refleksi manusia dalam melihat realitasnya, menghantarnya pada kewajiban hidup seturut realitasnya. Mengakui, taat kepada dan menjalankan eksistensi seturut kodratnya dapat dirumuskan dalam satu kata; Perikemanusiaan. Perikemanusiaan adalah menghormati, menjunjung tinggi segala manusia, itulah cinta kasih: mengakui manusia sebagai pribadi/persona. Jika manusia taat pada prinsip ini, maka hidup bersama merupakan persaudaraan—mencakup dalam lingkungan kecil (bangsa Indonesia) atau perikemanusiaan dalam arti khusus atau satu seginya dan lingkungan besar (seluruh bangsa), menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa—.
Perikemanusiaan merupakan rumusan yang memuat segala kebajikan yang harus dilakukan oleh manusia menurut hakikat kodratnya. Dan karena hidup itu dinamis yakni memperkembangkan diri, maka pelaksanaan pengkhususan perikemanusiaan akan segera tampak ketika melihat lebih jauh. Keadilan sosial merupakan pengkhususan yang tampak ketika kita memandang manusia sebagai berhadapan dengan alam jasmani yang dikerjakan, dibangun dijadikan perlengkapan dan syarat hidup. Dalamnya manusia harus menjalankan eksistensinya sebagai Mit-Sein. Dalamnya manusia harus memanusia bersama, mempribadikan diri bersama. Oleh karena itu membudayakan alam jasmani harus ditujukan pada Mit-Sein karena ada bersama bersifat fundamental layaknya ada pribadi. Jadi, keadilan sosial adalah perikemanusiaan, sepanjang dilaksanakan dalam suatu bidang tertentu; ekonomi atau bidang penyelenggaraan perlengkapan dan syarat-syarat hidup kita sepanjang hidup itu tergantung dari barang-barang materil.
Negara merupakan bentuk masyarakat dalam jumlah besar manusia. Bernegara adalah suatu cara menjalankan liebendes mit-sein (ada bersama dengan cinta). Dalam negara bahaya kegagalan lebih besar—berbeda dengan pelaksanaan ada bersama dengan cinta dalam bentuk keluarga—sehingga perlulah prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi intrinsik dalam liebendes mit-sein. Cinta kasih yang dilaksanakan dengan pemasyarakatan, yang berbentuk negara, menuntut untuk dijalankan dengan demokrasi. Prinsip demokrasi bermaksud bahwa para warga harus dipandang dan diterima sebagai person atau pribadi menurut ketinggiannya sebagai person, dengan semua hak-haknya yang asasi. Namun, bentuk demokrasi belumlah merupakan jaminan adanya demokrasi, apalagi adanya demokrasi yang baik. Demokrasi adalah prinsip, yang menyebabkan para warga masyarakat saling memandang, menghormati, menerima, dan kerja sama dalam kesatuan sehingga masyarakat dapat bertindak sebagai satu subjek, yang menyelenggarakan kepentingan bersama. Jadi, demokrasi muncul dari kodrat manusia: cara kita berada ada-bersama-dalam-cinta-kasih. Karena ada bersama, jadi memasyarakat. Memasyarakat dalam suatu bentuk yang tertentu disebut menegara. Dan seharusnya penegaraan harus berupa pelaksanaan cinta kasih. Agar itu terjadi pada warga harus bercinta kasih. Itu hanya mungkin bila mereka saling menerima dan menghormati sebagai pribadi, dengan hak-hak asasinya. Dengan semua ini para warga harus menciptakan kesatuan dan pimpinan yang mengemudikan kehidupan maysarakat.
Ada manusia berupa ada bersama. Faktor-faktor suku, geografis, iklim, potensi tanah, berbagai kejadian dalam sejarah, aksi dan reaksi bersama terhadap bangsa asing menentukan terbentuknya suatu bangsa. Hidup bersama dalam suatu jangka waktu lama dalam keadaan dan kejadian yang dialami bersama serta pemecahan, menghadirkan kebudayaan, kesadaran dan cara hidup yang sama. Itulah tanah tumpah darah atau Ibu Pertiwi. Manusia itu sangat ditentukan oleh Ibu Pertiwinya. Tanah Air adalah Prinsip dari Ada manusia. Menegara pada konkretnya berarti Menegara pada suatu tanah air. Menegara berarti penegaraan suatu bangsa. Kebangsaan merupakan suatu cara dari ada bersama. Dalam hal ini, menegara berarti memperkembangkan kesatuan kultural, ekonomi, geografis, sejarah. Berada bersama sebagai bangsa belum tentu menegara (penjajahan), tetapi bangsa merdeka dan menegara dengan sendirinya kebangsaan menjadi dasar menegara.
Ada manusia merupakan ada bersama. Kita ada bersama seluruh manusia. Pemasyarakatan juga meliputi seluruh manusia (de jure), tetapi karena terbatasnya cara-cara memasyarakat terkait dengan keadaan yang konkret, maka manusia yang umum itu dilaksanakan dalam manusia-manusia yang lebih. Pelaksanaan berdasarkan perkelompokkan itu yang kita sebut bangsa. Dari kodratnya nasionalisme itu menuju ke intenasionalisme (negara-negara menuju ke kesatuan mondial atau meliputi seluruh dunia). Fundamennya tetap pelaksanaan cinta kasih. Pelaksanaan perikemanusiaan dan juga prinsip demokrasi merupakan tujuan dari  “Bhinneka Tunggal Ika”. Internasional atau disebut juga perikemanusiaan (dianjurkan dalam arti khusus: hubungan antar bangsa yang baik).
Jadi, empat sila pada dasarnya adalah satu: liebendes mit-einander-sein (ada-bersama-dengan-cinta-kasih). Menurut Driyarkara, secara keseluruhan lima sila bisa dirumuskan dalam dua sila: “cinta kasih sesama manusia” yang “termuat dalam cinta kasih kepada Tuhan”. Lima menjadi satu, empat yang terlihat dahulu merupakan satu yakni cinta kasih, yang pada akhirnya nampak pada dasarnya sebagai cinta kasih kepada Tuhan. Dalam hal ini jelaslah bahwa Tuhan adalah dasar dari segala sila, walaupun dalam kesadaran kita yang jelas (eksplisit) tidak kita mengerti sebagai yang pertama. Manusia berpangkal kepada pengertiannya tentang alam dan diri sendiri. Dan dalam persentuhan kesadaran dengan alam jasmani yang bersifta terbatas, relatif dan tidak niscaya, tersirat pengertian tentang Tuhan. Jadi, sila ketuhanan timbul dari kodrat manusia untuk mengerti Tuhan.
Sila ketuhanan tak terpisah dari sila-sila lainnya. Ada manusia adalah liebendes mit-einander-sein, maka Tuhan adalah Maha Cinta Kasih. Taat pada wujud kita sebagai cinta kasih berarti taat kepada Tuhan (pelanggaran=dosa). Dalam semua sila cinta kasih Tuhanlah yang berdialektika atau menggejala. Semua sila dijiwai cinta kasih Tuhan dengan demikian bersifat mutlak (kebenarannya). Lima sila tak terpisah, tapi kesatuan. Ada manusia adalah cinta kasih dalam suatu dinamika atau dorongan ke arah sesama manusia, yang pada dasarnya ke arah Tuhan sebagai asal atau tujuan dari rasa haus akan kebahagiaan yang hanya dapat dipenuhi oleh Tuhan sendiri. Dorongan itu hanya dapat dilaksanakan dengan memperkembangkan hidup di dunia, yakni dengan memasyarakat, membangsa dan menegara. Perikemanusiaan, kebangsaan, keadilan sosial dan kerakyatan (demokrasi) adalah pelaksanaan cinta kasih manusia kepada Tuhan di dunia lain.

  1. Hubungan Agama-Negara dalam Perspektif Pancasila

a.      Negara dan Agama berakar pada kodrat manusia

Sudah disebutkan sebelumnya bahwa secara keseluruhan lima sila bisa dirumuskan dalam dua sila: “cinta kasih sesama manusia” yang “termuat dalam cinta kasih kepada Tuhan”. Lima menjadi satu, empat yang terlihat dahulu merupakan satu yakni cinta kasih, yang pada akhirnya nampak pada dasarnya sebagai cinta kasih kepada Tuhan. Dalam hal ini jelaslah bahwa Ada manusia adalah cinta kasih dalam suatu dinamika atau dorongan ke arah sesama manusia, yang pada dasarnya ke arah Tuhan. Dorongan itu hanya dapat dilaksanakan dengan memperkembangkan hidup di dunia, yakni dengan memasyarakat, membangsa dan menegara. Perikemanusiaan, kebangsaan, keadilan sosial dan kerakyatan (demokrasi) adalah pelaksanaan cinta kasih manusia kepada Tuhan di dunia lain. Dalam hal ini, negara yang merupakan konkretisasi dari religi dan negara yang bertujuan menciptakan kesejahteraan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kodrat manusia.

  • Agama sebagai konkretisasi Religi

Religi merupakan suatu keterarahan yang ada pada diri terdalam manusia, memperkembangkan manusia dan mengarahkannya kepada Tuhan. Menurut Driyarkara, gejala sedalam religi niscaya berakar pada kodrat manusia. Karena religi merupakan perkembangan, maka manusia merupakan bakat atau dinamika ke arah itu. Religi merupakan fenomena atau gejala yang sangat padat dan dalam isinya. Dalamnya manusia mengikat diri pada Tuhan adalah lebih manusia menerima ikatannya, yang dialami sebagai sumber kebahagiaan. Dengan begitu, religi adalah dengan langsung mengenai seluruh manusia. Dalamnya manusia menyerahkan diri pada Tuhan, bahwa penyerahan itu dirasakan sebagai syarat bahkan syarat mutlak untuk bahagia, juga dalam hidup di dunia ini--dalam perbuatan lain, manusia mencari bagian—. Dengan memeluk dan melakukannya, manusia hendak menyelenggarakan kepentingan yang memuat seluruh dirinya.
Religi sebegitu mendalam pada eksistensi manusia. Dalam gejala tampak religi merupakan pusat dan tujuan dari seluruh hidup, karena di situ dicurahkan seluruh kodrat, maka yang berupa dinamika itu bukanlah hanya sebagian dari kodrat manusia, melainkan seluruh kodrat manusia sebagai keseluruhan. Dalam kehidupan sehari-hari, religi nampak terkontretisasi dalam agama. Manusia yang akan selalu dan tetap terdorong ke arah sesuatu yang mutlak atau dipandang sebagai mutlak, umumnya mewujudkan keterarahannya melalui sikap beragama. Dengan begitu, Religi atau pada konkretnya agama berakar pada kodrat manusia.

  • Negara demi Kemakmuran Umum

Manusia memasyarakat. Manusia timbul dengan sendirinya karena manusia menurut kodratnya ada bersama, manusia bermasyarakat, atau lebih sempurna manusia itu memasyarakat. Memasyarakat adalah pelaksanaan dari liebendes mit-sein. Masyarakat adalah bentuk konkret dari pemasyarakatan. Fundamennya adalah cinta kasih.
Negara merupakan bentuk masyarakat dalam jumlah besar manusia. Bernegara adalah suatu cara menjalankan liebendes mit-sein (ada bersama dengan cinta). Karena ada bersama, jadi memasyarakat. Memasyarakat dalam suatu bentuk yang tertentu disebut menegara. Tujuan Negara ialah Kemakmuran Umum. Kesejahteraan umum berupa barang-barang yang berguna sebagai syarat-syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan hidup di dunia ini. Dalam hal ini, penegaraan harus berupa pelaksanaan cinta kasih. Agar itu terjadi pada warga harus bercinta kasih. Itu hanya mungkin bila mereka saling menerima dan menghormati sebagai pribadi, dengan hak-hak asasinya. Dengan semua ini para warga harus menciptakan kesatuan dan pimpinan yang mengemudikan kehidupan maysarakat.

b.      Agama-Negara dalam perspektif Pancasila sebagai Filsafat

Menurut Driyarkara, Pancasila merupakan dorongan Kereligian. Dalam perspektif sebagai filsafat, hubungan Pancasila dengan Religi tidaklah bertentangan. Pancasila pada dasarnya ekasila, yaitu cinta kasih kepada Tuhan. Jadi, Pancasila menunjuk manusia sebagai bakat, potensi ke religi, dorongan ke religi. Dalam hal ini, Pancasila merupakan dukungan bagi religi.
Driyarkara juga mengetengahkan keberatan yang dapat diajukan dalam hal ini ialah bahwa religi merupakan anugerah dan bukan bakat. Bagi Driyarkara, jawabannya ialah bahwa bisa menerima anugerah adalah bakat (religi pun masih merupakan perkembangan bakat). Dalam kehidupan konkret, Pancasila sebagai Weltanschauung (manusia dengan Pancasila sebagai weltanschauung atau manusia yang bersikap dan bertekad hendak melaksanakan Pancasila) memungkinkan hubungan agama dengan negara secara tidak bertentangan.

c.       Agama-Negara dalam perspektif pancasila sebagai dasar negara

Bagaimanakah hubungan antara Pancasila-sebagai-dasar-negara dan Religi (yang pada konkretnya ini sama dengan negara-yang-berdasarkan-Pancasila), negara Pancasila.
Menurut Driyarkara, tujuan negara ialah kemakmuran umum. Ketuhanan tidak bisa menjadi tujuan langsung dari karya yang kita sebut menegara. Sebab semakin tinggi nilai suatu tujuan makin rohani sifatnya, makin kurang tergantung dari kesatuan karya, lebih tergantung kepada pribadi. Jadi, sebagai prinsip Ketuhanan bukanlah prinsip langsung. Negara tidak langsung melaksanakan Ketuhanan, negara adalah dengan langsung melaksanakan kesejahteraan umum, jadi dapat menjadi alat untuk pelaksanaan sila Ketuhanan. Ketuhanan juga menjadi prinsip dan tujuan, tetapi secara tidak langsung, yaitu sebagai prinsip dan tujuan terdasar. Karena pelaksanaan sila Ketuhanan itu ada di atas aturan negara, maka pelaksanaan harus diserahkan kepada Religi, yang merupakan pelaksanaan itu.
Bai Driyarkara, religi tidak bisa dipaksakan oleh negara, sebab religi berdasarkan keyakinan, dan keyakinan tidak bisa dipaksakan. Kehidupan religi tidak masuk dalam tujuan negara secara langsung. Semua itu bukan berarti mengurangi hak-hak negara, melainkan menegaskan bahwa hak-hak itu memang tidak ada. Pengaturan religi tidak masuk dalam karya yang kita sebut menegara, namun tidak berarti bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara negara dan religi. Negara kita berpendirian, sebagaimana tercantum dalam dasara negara, terutama sila Ketuhanan. Dengan sila ini kita mengakui bahwa Ketuhanan merupakan prinsip yang lebih dalam dari penegaraan kita, jadi tujuan lebih lanjut/akhir. Tujuan akhir/pokok bukan hanya kemakmuran, melainkan Tuhan sendiri. Dengan itu juga berarti menciptakan kondisi yang baik bagi religi, tapi bukan berarti negara tunduk di bawah religi.
Driyarkara dengan begitu menegaskan bahwa negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama. Hubungan yang sebaik-baiknya hanya terdapat dalam negara Pancasila. Negara yang tanpa sila Ketuhanan, pada dasar dan prakteknya bertentangan dengan Religi, dan akan selalu melanggar Demokrasi dan Perikemanusiaan. Kecenderungan yang lain, negara dan agama  dijadikan satu. Keduanya berkontradiksi sebab dua karya yang berlainan itu dijadikan satu. Nilai tertinggi hendak dilaksanakan dengan karya, yang menurut kodratnya sudah mempunyai tujuan sendiri. Berdasarkan Pancasila, Negara kita berhasrat menentukan hubungan yang sebaik-baiknya dengan Religi. Negara Pancasila bukanlah negara-agama, tetapi sebaliknya juga bukan negara bersifat acuh tak acuh atau tidak mengakui kedudukan religi, dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, negara Pancasila memberi tempat yang sewajarnya kepada Religi.
Negara yang berdasakan Pancasila, menurut Driyarkara, bukanlah negara profan. Negara Pancasila itu negara profan sebatas profan berarti bukan penjelmaan religi. Akan tetapi jika profan diartikan sebagai sikap tidak peduli terhadap religi, bahkan permusuhan, maka Pancasila bukanlah sama sekali negara profan. Negara Pancasila mengakui bahwa seluruh hidup manusia itu merupakan gerak kepada Tuhan, bahwa apa yang diselenggarakan dengan menegara itu pada akhirnya untuk melaksanakan ada kita sebagai cinta kasih kepada Tuhan. Jadi, negara Pancasila mengakui ketinggian dan kesucian hidup.

Paper untuk mata kuliah Filsafat Driyarkara, STF Driyarkara, 2012.


[1]  Sudiarja, A. (editor), Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Komentar

  1. Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @TaipanQQinfo
    • WA :+62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t