Langsung ke konten utama

Hermeneutika Schleiermacher



Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 – 1834)[1]


Di dalam Hermeneutika Filosofis, Schleiermacher dipandang sebagai pelopor hermeneutika modern—meskipun ia sendiri sebenarnya bukanlah seorang filsuf, melainkan seorang teolog dan pendeta protestan. Schleiermacher yang melihat hermeneutika sebagai ‘seni-memahami’, membawa ‘pemahaman’ kepada suatu seni dalam disiplin pendidikan.[2]
Di Jerman, teolog-filsuf Schleiermacher berupaya menyelamatkan Kristianitas dengan menginterpretasikannya sebagai agama perasaan dan intuisi atau sebagaimana ia katakan: the sense of infinite in the infinite.[3] Berkenaan dengan hal tersebut, Schleiermacher pun mengembangkan pemikirannya di bidang hermeneutika dan menjadi filsuf Jerman pertama yang merefleksikan secara serius suatu hermeneutika filsafat. Pewaris tradisi hermeneutika yang dibangun oleh Schleiermacher di Jerman antara lain Wilhelm Dilthey dan Max Weber.
Untuk lebih mengenal dan memahami pribadi dan pemikiran hermeneutika Friedrich Schleiermacher, tulisan ini pertama-tama akan menyajikan deskripsi singkat (A) Hidup dan Karya dan (B) Latar Intelektualnya. Setelah itu, tulisan ini akan memberikan ringkasan pokok-pokok pemikiran (C) Hermeneutika Schleiermacher. Kemudian, tulisan ini akan digenapi dengan (D) Sumbangan Hermeneutika Schleiermacher dan (D) Catatan Akhir, yang akan memberikan gambaran cikal-bakal perkembangan Hermeneutika modern.

A. Hidup dan Karya[4]

Pada 21 Maret 1768, Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher, lahir di Breslau (daerah Silesia, dahulu daerah Jerman, kini Polandia). Schleiermacher berasal dari lingkungan ‘pietisme’[5] reformasi luteran yang berkembang di Moravia. Pendidikan sekolah dipercayakan orang tuanya pada Moravian Brotherhood. Pada tahun 1785, dalam usia 17 tahun, Ia masuk seminari di Barby/Elbe, sebuah seminari yang lebih menekankan pendidikan hati ketimabanag rasio. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Halle, dengan spesifikasi teologi—walaupun ia kehilangan kepercayaan pada beberapa doktrin fundamental kristiani. Dalam dua tahun pertama di bangku kuliah, ia meluangkan ketertarikannya pada Spinoza dan Kant, dibanding dengan mat-kuliah teologi.
Pada tahun 1790, ia menyelesaikan kuliah serta ujian-ujiannya di Berlin. Ia kemudian mengambil tempat tugas tutorial di suatu keluarga. Tahun 1794 – 1795, ia bertugas sebagai pendeta di Landsberg, dekat Frankfurt. Tahun 1796 – 1806, Ia memegang suatu posisi kegerejaan di Berlin. Pada masa ini, Ia berhubungan dengan lingkungan para-romantik (the circle of the romantic), khususnya dengan Friedrich Schlegel. Dengan begitu, Schleiermacher bisa mengembangkan ketertarikannya pada Spinoza[6], tema-tema umum romantik tentang totalitas, serta mulai menyukai pandangan Plato.
Di Berlin ini pula, Schleiermacher jatuh cinta pada Eleonore Granau, istri seorang rekan pendetanya yang tidak bahagia dalama hidup perkawinannya. Sebelum perkaranya menjadi skandal besar dan atas nasihat Dewan Jemaatnya, ia pergi ke ‘pembuangan’ di Stolp dan mengurus sebuah jemaat kecil di sana yang jumlahnya hanya sekitar 250 jiwa, —sambil menantikan Eleonore yang rencananya akan datang untuk dinikahi. Eleonore ternyata tidak jadi meninggalkan suaminya. Maka cintanya pun kandas di tengah jalan.
Karya pertamanya berjudul Uber Die Religion: Reden an die Gebildeten unter ihren Verachten (1799)[7]. Kemudian disusul oleh karya berikutnya berupa terjemahan dari bahasa Jerman, Plato’s Dialog. Kemudian karya itu diikuti dengan Monologues (Monologen) pada tahun 1800, dan kumpulan kotbahnya yang pertama pada tahun 1801.
Pada tahun 1802, ia mengundurkan diri dari tugas kegerejaan dan dua tahun kemudian mempublikasikan Grundlinien einer Kritik der bisherigen Sittenlehre (Outlines of a Critiquw of the Doctrine of Morals Up to Present). Ia menyibukkan diri dengan terjemahan Dialog Plato ke bahasa Jerman. Pada tahun 1804, dengan dilengkapi dengan pengantar dan catatan, ia menerbitkan bagian pertama terjemahannya tersebut dan diikuti dengan bagian kedua serta bagian ketiga pada tahun 1809 dan 1828.
Pada tahun 1804, ia menerima suatu jabatan di Universitas Halle. Dan ketika Napoleon menutup universitas tersebut, ia tetap tinggal di situ sebagai seorang pengkotbah. Kemudian pada tahun 1807 – 1825, ia kembali lagi ke Berlin dan bekerja di sini, a.l. sebagai pastor dosen, sekretaris akademi ilmu pengetahuan kerajaan Prussia, rektor universitas. Pada tahun 1809, dalam usia 41 tahun, Schleiermacher menikahi Henriette von Willich (janda berumur 20 tahun, dari seorang rekan pendetanya yang telah meninggal); mendapat seorang 3 putri dan seorang putra yang sayangnya meninggal dalam usia 9 tahun. Tahun 1821, ia mempublikasikan Der christische Glaube nach den Grunsatzen der evangelischen Kirche (Christian Faith according to the Principles of the Evangelical Churh)—edisi kedua ditambahkan pada tahun 1830. Dan pada 12 Februari 1834, sesudah merayakan perjamuan terakhir, Schleiermacher meninggal di lingkungan keluarganya lantaran sakit paru-paru. Ia dimakamkan di pemakaman kaum Hugenot di Berlin dengan dihadiri oleh 20 sampai 30 ribu pelayat dari pelbagai kalangan. Setelah itu, diterbitkan suatu kumpulan catatan-catatan kuliahnya, yang tak hanya berbicara mengenai Teologi, tapi juga Filsafat dan tema-tema edukasis. Salah satunya adalah Hermeneutik und Kritik: Mit besonderer Beziehung auf das Neue Testament (Hermeneutika dan Kritik: Dengan Hubungannya yang Khusus dengan Perjanjian Baru) yang diterbitkan pada 1838.

B. Latar Intelektual[8]

Schleiermacher tidak membuat hermeneutikanya dari suatu kevakuman. Karyanya harus dilihat dalam skema latar belakang perkembangan diri dan zamannya. Hermeneutika Schleiermacher harus dilihat sebagai bagian dari pergerakan romantik awal, 1795 – 1810, yang merevolusi kehidupan intelektual di pusat Eropa.[9]
Schleiermacher hidup di masa ketika monopoli kognisi, estetika, dan etika Gereja yang amat pervasive dalam kehidupan sehari-hari mulai memudar. Pada masa ini, Immanuel Kant muncul dan mempertanyakan daya jangkau kognitif akal budi terhadap ‘yang transenden’—yang kemudian melahirkan aliran romantisisme. Pada masa inilah sistem-sistem kritisisme, protestantisme, dan romantisisme membentuk latar hermeneutika Schleiermacher.
Kritisisme[10] yang dibangun oleh Immanuel Kant bersumbangsih melalui pemilahan antara fenomena yang penuh aturan dan noumena yang bebas-unik-batiniah. Pemahaman inilah yang kemudian dipakai Schleiermacher untuk melihat teks sebagai fenomena berupa aturan-aturan sintaksis komunitas bahasa si pengarang yang supraindividual dan noumena berupa muatan batin individual pengarang yang ingin diungkapkan.
Protestantisme[11] mendekonstruksi dogmatisasi penafsiran teks suci oleh kalangan magisterium gereja sehingga penafsiran teks menjadi monopoli kalangan elite tertentu gereja saja. Pemberontakan terhadap dogmatisasi penafsiran mengembangkan pemikiran Schleiermacher tentang pemahaman sebagai seni yang menekankan kebebasan individu penafsir dari segala dogmatisme tafsir untuk secara intuitif menangkap maksud batiniah teks asli.
Romantisisme[12] sejalan dengan Kant dalam hal tekanan pada kehendak bebas dan doktrin bahwa realitas semesta pada dasarnya spiritual, dengan alam sendiri merupakan cermin dari jiwa manusia. Pengetahuan tentang semesta spiritual tidak dapat diperoleh lewat cara-cara analitik rasional, tetapi hanya dengan keterlibatan—ketertenggelaman emosional dan intuitif dalam suatu proses. Sumbangan romantisisme bagi hermeneutika Schleiermacher adalah hermeneutika sebagai upaya pemahaman teks, bukan sebagai objek intelektual dengan memetakan aturan-aturan sintaksis semata, melainkan sebagai upaya memeroleh kembali yang subjektif-individual dari balik teks tersebut dengan kebebasan imajinasi intuisi.
Problema awal yang ingin dilampaui oleh romantisisme adalah tentang pikiran lain (other mind). Problem ini muncul tatkala sistem-sistem filsafat modern dari Immanuel Kant, Rene Descartes, selalu berpusat pada aku yang transenden dan menguniversalkannya. Muatan benak semua orang dianggap seragam. Selama ini problem pemahaman sebuah teks hanya pada penentuan aturan-aturan normatif pemahaman untuk mendapatkan makna suatu teks dan lupa bahwa teks yang ditulis oleh si pengarang yang mempunyai benak yang kaya akan muatan emosi, perasaan, dan batin.
Reduksi pemahaman pada aturan-aturan sintaksis-literal semata akan membawa kita pada kesalahpahaman dari maksud si pengarang. Sebuah contoh klasik dalam bahasa Latin, yaitu kalimat yang diucapkan oleh seorang dukun dari kota Delphi pada zaman Romawi yang disampaikan pada seorang jenderal yang akan maju ke medan perang memimpin pasukannya. Dukun tersebut mengatakan kepada sang jenderal sepotong kalimat yang berbunyi ‘Ibis redibis numquam peribis in armis’. Jika sang jenderal meletakkan koma sesudah kata redibis, sehingga secara gramatikal menunjukkan negasi numquam yang dikenakan pada kata peribis, maka kalimat tersebut akan dipahami sebagai ‘engkau akan pergi dan engkau akan kembali, engkau tidak akan gugur dalam medan perang’. Malangnya jenderal kalah dan gugur di medan perang. Anak buahnya segera pergi ke dukun tersebut dan memohon penjelasan dengan ancaman akan mengenakan denda uang kalau dukun tersebut tidak bersedia. Dukun yang cerdik itu berkilah dengan mengatakan bahwa pada dasarnya maksud ucapannya adalah ‘engkau akan pergi dan engkau takkan pernah kembali, engkau akan gugur dalam pertempuran’. Ini dapat terjadi hanya dengan memindahkan koma sesudah kata numquam, sehingga kalimatnya menjadi ‘Ibis redibis numquam, peribis in armis’.
Apa yang romantisisme kehendaki adalah realitas akan yang lain (the other) dari teks yang selama ini direduksi pada aturan-aturan sintaksis-literal saja. Pemahaman kemudian dipahami sebagai apropriasi suatu kesadaran asing; membuatnya menjadi kesadaran kita sendiri (one’s own consciousness).

C. Hermeneutika Schleiermacher[13]

Schleiermacher pertama kali memberi kuliah Hermeneutika pada tahun 1805, dan melanjutkannya hingga akhir hidupnya.[14] Di dalam karyanya Uber den Begriff der Hermeneutik (Tentang Paham Hermeneutik, 1829) dan Hermeneutik und Kritik: Mit besonderer Beziehung auf das Neue Testament[15] (Hermeneutika dan Kritik: Dengan Hubungannya yang Khusus dengan Perjanjian Baru, 1838), Schleiermacher mencoba menjawab bagaimana suatu teks yang ‘asing’ dimengerti oleh pembaca?
Menurut Schleiermacher, hermeneutika merupakan kecakapan atau ‘seni memahami’[16]. Schleiermacher yakin bahwa pada zamannya seni memahami ini ‘tidak ada lagi yang berupa hermeneutika umum, melainkan hanya ada sebagai hermeneutika-hermeneutika khusus’[17]. Jadi apa pun macam, ciri-corak dan objek hermeneutika itu, semua hermeneutika adalah seni memahami pikiran atau maksud orang lain dalam bentuk lisan atau tulisan. Dengan demikian, Hermeneutika mencari intensi-intesi spesifik yang individual di dalam konteks ucapan (bahasa)[18].
Menurut Schleiermacher, setiap ‘memahami’ selalu merupakan konversi dari ‘berbicara’. Ketika orang lain mengungkapkan pikirannya dengan ‘berbicara’, Subjek-pendengar harus memasukkan pembicaraannya itu ke dalam pikirannya. Dalam hal ini, pemahaman mengandaikan bahwa rekan-konversasi bisa menyejajarkan diri dengan subjek-pembicara bukan melulu sebagai pendengar atau pembaca begitu saja, melainkan sebagai orang yang mengetahui hidup luar dan dalam sang pembicara. Dengan demikian, rekan-konversasi mampu merekonstruksi perkataan subjek-pembicara, sambil tetap berpikir; menilai, mengritik, mengevaluasinya.
Hermeneutika Schleiermacher pada intinya meyakini bahwa tidak ada pemahaman yang berjarak (understanding at a distance).[19] Pemahaman artinya memiliki keterlibatan internal dengan apa yang dipahami. Menurut Schleiermacher; ‘memahami suatu teks adalah memahami sebaik dan bahkan lebih baik dari pengarangnya’. Hal ini berarti menempatkan teks pada waktu dan tempat penyusunannya, seperti yang dikemukakan Schleiermacher, “Penafsir dapat menempatkan dirinya ‘di dalam’ pengarang.”
Dengan demikian, hermeneutika Schleiermacher memiliki implikasi bahwa, ‘keasingan’ suatu teks bersifat tidak total, sebab hal inilah yang memungkinkan ‘pengertian’. Asumsinya ialah bahwa suatu teks tidak sama sekali asing, tidak pula sama sekali biasa bagi si pembaca. Jadi, untuk memahami suatu teks atau pertanyaan, diperlukan pemahaman ‘awal’ mengenai hal-hal yang diungkapkan di dalam teks atau pernyataan itu (terkait dengan apa yang nanti dikenal dengan ‘lingkaran hermeneutik’ [Hermeneutischer Zirkel]).
Hermeneutika Schleiermacher tidak terlepas dari konsepsi Schleiermacher tentang bahasa dan praktik penafsiran. Memahami berarti mengarahkan perhatian pada suatu objek, yaitu bahasa. Bahasa dapat dipahami sebagai dimensi supra-individual dan dimensi individual. Bahasa sebagai dimensi supra-individual berarti bahasa dipahami sebagai aturan-aturan sintaksis pengungkapan makna yang dianut oleh suatu komunitas bahasa tertentu. Setiap ungkapan berupa bahasa haruslah tunduk pada aturan-aturan sintaksis yang ada. Bahasa sebagai dimensi individual adalah bahasa sebagai media pengungkapan suatu interioritas batin yang unik—individual, dimana manusia tidak selalu berpikir tentang hal yang sama pada saat berhadapan dengan kata yang sama. Bahasa sebagai dimensi individual tidak lagi dipandang sebagai aturan-aturan sintaksis yang umum, supra-individual, melainkan sebagai media pengungkapan muatan batin manusia.[20]
Schleiermacher sendiri memandang bahasa sebagai dimensi individual dimana upaya pemahaman memerlukan suatu hermeneutika filosofis yang memandang teks tidak semata-mata sebagai suatu yang objektif-berjarak, sebagaimana terjadi dalam hermeneutika tradisional yang menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan ayat-ayat yang tak jelas. Praktik penafsiran yang dimaksud Schleiermacher bukan praktik penafsiran yang melulu intuitif yang tidak mentaati aturan atau seni (sewenang-wenang), melainkan suatu praktik penafsiran yang mengikuti suatu aturan dari teknik penafsiran. Hal itu disebabkan karena apabila hanya mengandalkan kesewenangan intuitif semata maka pemahaman akan menjadi suatu yang labil karena keterbatasan, kontingensi, hipotesis, dan perspektifis suatu upaya pemahaman. Dalam setiap pemahaman, kita tidak pernah bisa menafikan kemungkinan adanya kesalahpengertian.

1. Pendekatan Gramatikal dan Pendekatan Psikologis

Apakah ada cara yang bisa membantu agar pemahaman saya atas suatu teks yang ‘asing’ bagi saya sungguh tepat? Untuk menjawab pertanyaan ini, Hermeneutika Schleiermacher mengasumsikan bahwa setiap tulisan selalu mempunyai dua aspek. Pertama, aspek gramatikal: yang merupakan intisari dari keseluruhan pemikiran atau perkataan seseorang yang diungkapkan dalam tertib berbahasa. Kedua, yakni aspek psikologis meliputi latar belakang personal dari kehidupan penulis yang menggerakkannya dalam ekspresi bahasa demikian.
Schleiermacher percaya bahwa pemahaman suatu tuturan atau ucapan (bahasa), baik verbal maupun tertulis, niscaya melingkupi dua aspek tersebut. Pertama, terkait dengan pemahaman akan suatu ekspresi yang hanya berhubungan dengan bahasa sebagai wadahnya. Tiap ucapan harus dilihat sebagai bentukan suatu bagian dari sistem linguistic interpersonal yang ada (Sprache). Kedua, ekspresi tersebut harus juga bisa dilihat sebagai bagian dari proses-hidup sang-penutur/pembicara; sejarah internal atau mentalnya.[21]
Dengan demikian, menurut Schleiermacher ada dua pendekatan untuk dapat menelusuri keasingan suatu teks. Kedua pendekatan ini bisa dibedakan, namun tidak boleh dipertentangkan. Sebab keduanya saling memerlukan dan melengkapi satu sama lain.
Pertama, pendekatan objektif yang berdasarkan bahasa atau gramatika. Dalam pendekatan gramatikal, pemahaman atas suatu teks dicapai melalui penelitian objektif atas arti kata-kata di dalam teks itu, gaya bahasa, etimologi, dan tata-bahasa yang dipakai oleh si penulis. Pendekatan gramatikal adalah upaya rekonstruksi konteks linguitik-historis suatu teks; aturan-aturan sintaksis suatu komunitas bahasa dimana teks itu ditulis.
Kedua, pendekatan subjektif dengan memperhatikan psikologi si penulis (interpretasi psikologis atas teks).[22] Untuk mengerti suatu teks dari masa lampau, penafsir perlu keluar dari zamannya, merekonstruksi zaman pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang dahulu berada pada saat ia menulis teksnya. Penafsir harus menyamakan diri dengan pembaca yang asli, yang menjadi sasaran utama tulisan tersebut. Penafsir merekonstruksi pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang, gaya bahasa yang dipakainya, dan keunikannya. Dengan demikian, penafsir seolah-olah harus pindah ke dalam hidup batin pengarang.
Pendekatan gramatikal merupakan pendahuluan (preliminary) menuju suatu pemahaman psikologis yang akan menuntut kita untuk, melalui, teks kembali kepada orang yang memroduksi teks tersebut pada awalnya. Pemahaman adalah pemahaman terhadap orang lain (other people) secara individual, tidak sekadar makna-makna atau konsep-konsep yang sifatnya umum dan supra-individual. Kedua pendekatan tersebut, baik gramatikal maupun psikologis, adalah dua pendekatan yang saling melengkapi.[23]
Jadi, bagi Schleiermacher, pemahaman yang tepat atas suatu teks akan tercapai bila pembaca memiliki pengetahuan bahasa yang dipakai oleh teks itu, entah itu bahasa sendiri, maupun bahasa asing dan pengetahuan tentang psikologi si penulis itu.

2. Metode Kerja Pemahaman: Komparatif dan Divinatoris

Dari mana pemahaman kita mengenai suatu teks berasal? Menurut Schleiermacher, ada dua metode untuk mendapatkan pemahaman yang benar: Cara komparatif dan cara divinatoris.[24]
Metode komparatif bekerja dengan menempatkan si pengarang dalam suatu tipe umum. Metode ini lebih bersifat klasifikatoris untuk keperluan komparasi antara satu teks dengan teks lain atau satu pengarang dengan pengarang lain. Metode ini ditempuh dengan membuat perbandingan antara teks-teks yang ada, dan juga antara aneka terjemahan, serta mempelajari konteks hidup si pengarang, tokoh dan aliran yang berpengaruh pada zamannya. Cara ini terkait dengan segala sesuatu yang bisa menjadi referensi untuk memahami dengan tepat suatu teks.
Metode divinatoris merupakan cara intuitif untuk memahami suatu teks. Hal ini dilakukan, misalnya, dengan membuat diri betah dan ‘masuk’ ke dalam teks itu (Einleben). Metode divinatoris berupaya memeroleh pemahaman langsung tentang si pengarang sebagai individual dengan membawa sang penafsir untuk mentransformasi dirinya ke dalam diri si pengarang. Menurut Schleiermacher, cara intuitif seperti ini dapat ditemukan di dalam diri anak-anak. Seorang anak, misalnya, akan mengalami apa itu ‘cinta’, ‘kepercayaan’, ‘iman’, ‘bahaya’ tanpa penyelidikan lebih dahulu, melainkan langsung saja menghayatinya dalam sikap pasrah-aktif kepada ibu dan lingkungannya. [25] Dalam hal ini, Schleiermacher menekankan hermeneutika sebagai seni dimana seorang penafsir harus mampu menggunakan daya imajinasi-intuisi, tebak-tebakan kreatif, untuk secara jitu menebak maksud si pengarang.
Schleiermacher menekankan bahwa distingsi-distingsi, termasuk pendekatan gramatikal dan psikologis, ini tidak boleh dipertentangkan, melainkan harus diterapkan sekaligus untuk memahami suatu teks, sebab semua ini saling memerlukan dan melengkapi.

D. Sumbangan Hermeneutika Schleiermacher

Hermeneutika abad pertengahan bersifat teleologis dan menempatkan ilmu-ilmu lain sebagai hamba sahaya teologi.[26] Ilmu-ilmu lain hanya dianggap pembantu, dan apabila kritik-kritik dari ilmu-ilmu lain dirasakan menggangu dan merugikan maka bisa langsung disingkirkan. Pembakuan dogmatisasi penafsiran yang membelenggu kebebasan individu dalam proses penafsiran ditolak oleh Schleiermacher. Menurutnya, kritik-kritik dari ilmu-ilmu lain jangan dibentengi atas nama suatu otoritas pemaknaan, melainkan justru diterima sebagai masukan yang akan memperkaya pemaknaan teks suci itu sendiri.
Melalui pemikirannya tentang eksegesis, Schleiermacher ingin mendobrak dua ototritas sekaligus, yaitu supremasi akal dan dogmatism eksegesis. Schleiermacher banyak dipengaruhi Kant, dimana ia pun mengesampingkan unsur pengetahuan dalam iman. Namun, jika Kant meletakkan yang transenden di ranah noumena yang terasing dan menganjurkan suatu keberagaman dalam batas-batas penalaran saja (religion within the limits of reason alone), maka Schleiermacher ingin memberi tempat pada perasaan, emosi dalam beragama yang ia mengerti sebagai rasa ketergantungan darri Allah yang dialami manusia.prinsip pemahaman menurut Schleiermacher, adalah bahwa setiap pemahaman merupakan suatu pembalikan tindak wacana, yaitu mengangkat pemikiran yang mendasari wacana itu ke kesadaran. Tugas utama seorang hermeneut adalah membawa kembali kehendak makna yang menjadi jiwa suatu teks. Apabila teks suci dilihat sebagai wacana dimana ada suatu yang mau diungkapkan, ada yang dituju (umat), ada waktu (saat teks disusun), dan mengacu wahana tertentu (teks tertulis), maka teks-teks yang dianggap mengungkapkan iman harus didekati dari sudut ‘rasa saya apabila teks itu dibaca’. Proses interpretasi harus masuk menembus segala dogmatisasi penafsiran untuk sampai pada maksud si pengarang (interioritas rohani yang mendahului penyusunan teks) melalui daya intuisi yang dimiliki manusia.[27]
Eksegesis Schleiermacher ingin ‘meloncati’ segala ajaran iman atau dogma dari sejarah Gereja dan teologi langsung ke makna asli teks itu bagi ‘pengalaman imanku’. Schleiermacher seringkali dipandang sebagai bapak teologi liberal, yakni teologi yang menekankan kebebasan setiap orang dalam memperkaya intensitas keimanannya. Kebebasan si penafsir dan segala dogmatism penafsiran membantu penafsir untuk secara intuitif mengalami proses batin pengarang teks dan menghayati dengan mesra proses-proses keimanan si penyusun teks tersebut. Hal itu merupakan kebalikan dari komposisi sebagai penyususnan suatu teks, yaitu dengan bertitik tolak dari yang sudah jadi untukmundur merekonstruksi pengalaman batin yang dahulu kala telah menghasilkan teks tersebut. Lewat pemikirannya tentang eksegesis, Schleiermacher telah mengubah iman dan agama menjadi ‘pengalaman religius’, ‘teologi menjadi antropologi’, dan wahyu menjadi kesadaran religius bangsa manusia.[28]
Lebih dari itu, Schleiermacher dipandang sebagai seorang yang mempelopori perkembangan hermeneutika modern. Schleiermacher menyumbangkan hal-hal substansial pada teori dan praktek interpretasi tekstual. Ia menemukan dimensi-dimensi linguistik pemahaman manusia dan kepentingannya. Ia memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan hermeneutika filologis dan historis abad XIX dan hermeneutika filosofis abad XX.[29]

 Catatan Akhir

Schleiermacher berjasa dalam menetapkan prinsip-prinsip heremeneutis penting untuk memahami suatu teks. Beberapa posisinya akan mempengaruhi para pemikir hermeneutika sesudahnya, terutama Dilthey, Heidegger, dan Gadamer. Namun demikian, tekanan yang terlalu kuat untuk mencari maksud suatu teks seobjektif mungkin membuat hermeneutikanya dianggap hanya berurusan dengan persoalan tempoe doloe saja, tanpa melihat relevansinya untuk hidup dan keberadaanku (eksistensialisme) kini. Padahal intensi dalam memahamai adalah bukan demi pemahaman itu sendiri, melainkan untuk menarik relevansinya dengan hidup saat ini dan di sini (hic et nunc). Namun, justru aspek ke-di-sini-an dank e-kini-an ini kurang mendapat aksentuasi di dalam hermeneutikanya, untuk tidak mengatakan tidak sama sekali.[30]
Psikologisme yang dikemudian hari lebih ditekankan Schleiermacher dalam proses penafsiran suatu teks, lebih bersifat epistemologis daripada ontologisme. Schleiermacher tidak ambil peduli pada apa yang terjadi ketika muatan rohani orang lain dipahami secara divinatoris. ‘Apa yang akan terjadi tatkala seorang mentransformasi dirinya menjadi orang lain?’, ‘apa yang terjadi apabilasuatu ‘ada’ menghayati keberadaan ‘ada’ lain dimana keduanya terpisahkan oleh ruang dan waktu?’. Kedua pertanyaan itu lepas dari perhatian Schleiermacher. Sebagaimana yang Heinz Kimmerle ungkapakan, bahwa hermeneutika Schleiermacher lebih berupa metode dibanding pengalaman. Hermeneutika Schleiermacher tidak menyentuh aspek ontologism, namun masih bermain-main dalam ranah epistemologis.[31]
Schleiermacher juga tidak memberikan suatu distingsi yang jelas antara pemahaman dan interpretasi. Ia sering mengimplikasikan bahwa seni memahami adalah juga merupakan seni interpretasi. Ia tidak melihat bahwa interpretasi ebagai eksplikasi (Auslegung) niscaya verbal dan karena itu bersifat diskursif.[32]
Fokus sentral suatu penafsiran difiksasikan oleh Schleiermacher pada maksud, kehendak makna, interioritas rohani, dan muatan batin pengarang. Hal itu mengandung kelemahan-kelemahan. Pertama, hilangnya ‘pleasure of reading’ (kenikmatan membaca), karena terlebih dahulu kita sudah dibebani oleh telos yang harus dicapai dalam proses penafsiran. Tradisi logosentrisme filsafat Barat masih kental dalam system pemikiran Schleiermacher. Kedua, apakah maksud si pengarang benar-benar maksud si pengarang? Artinya, apakah maksud pengarang yang dalam kesadarannya bukan timbul dari suatu mekanisme-mekanisme psikologis yang mendistorsi dari maksud sebenarnya yang ia sendiri tidak sadari? Dalam psikoanalisis dikenal adanya manifest content dengan latent content. Manifest content adalah apa-apa yang timbul pada kesadaran dan terungkap melalui berbagai wahan (teks, karya seni, mimpi, dan sebagainya) sedang latent content adalah apa yang tersembunyi dalam alam bawah sadar. Apabila maksud pengarang bukanlah maksud sebenarnya, maka upaya menjadikannya telos, tujuan akhir pemahaman, menjadi mubazir apabila tidak disertai pengetahuan mengenai proses-proses psikologis di dalam diri manusia. Ketiga, untuk menyatu dengan ‘ada’ orang lain atau si penyusun teks, penafsir seakan-akan dipaksa untuk keluar dari keberadaanya sekarang untuk bertualang lintas-waktu ke konteks historis saat teks tersebut disusun. Hal itu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan, karena keberadaan si penafsir tak pernah bisa dilepaskan dari penafsirannya terhadap suatu teks. Penafsiran yang melulu memfokuskan diri pada keberadaan si penyusun teks dan mengabaikan keberadaan kita sebagai penafsir teks, justru akan mempermiskin pemahaman kita. Upaya si penafsir mengenali yang subjektif dari yang objektif, yang tak terbatas dari yang terbatas, yang rohani dari yang mental, haruslah disertai kesadaran bahwa penafsir juga sebagai suatu entitas yang subjektif, terbatas, dan rohani, yang berarti memiliki kepentingan kehendak, kecenderungan yang tak pernah bisa dilepaskan tatkala penafsir mencoba menyelami subjektifitas, interioritas batin penyusun teks.[33]
Bibliografi
*Lili Tjahjadi, SP. “Paper Kuliah ‘Hermeneutika’-F. Schleiermacher”. Jakarta: STF Driyarkara, 2011.
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.
Copleston, Frederick. A History of Philosophy, vol.VII: Fichte to Nietzsche. London: Burns & Oates Limited, 1963.
Marina, Jacqueline (edtr.). The Cambridge Companion to Friedrich Schleiermacher, New York: Cambridge University Press, 2005.
Mueller-Vollmer, Kurt (edtr.). The Hermeneutik Reader. Oxford: Basil Blackwell, 1986.



[1] Makalah ini merupakan pengembangan dari Paper Kuliah ‘Hermeneutika’-F. Schleiermacher, yang diberikan oleh Dr. SP. Lili Tjahjadi, [Jakarta: STF Driyarkara, 2011].
[2] Bdk. Mueller- Vollmer, Kurt &, “Introduction”, dalam buku The Hermeneutik Reader, edtr. Kurt Mueller-Vollmer, Oxford: Basil Blackwell, 1986, hal 12.
[3] Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2006, hal. 200 – 2011.
[4] Bagian ini penulis kembangkan dari dua sumber utama; (1) Paper Kuliah ‘Hermeneutika’-F. Schleiermacher dan (2) dari buku A History of Philosophy, vol.VII: Fichte to Nietzsche, karya Frederick Copleston, SJ. [London: Burns & Oates Limited], hal. 149 – 151.
[5] Pietisme adalah aliran religius yang berkembang di Jerman akhir abad ke-17 yang menempatkan penekanan yang kuat pada aspek pengalaman dari ajaran-ajaran Kristus. Justifikasi dan kelahiran kembali harus dialami secara langsung melalui teks dan exegesis. Lingkungannya itu sedikit-banyak memengaruhi perkembangan intelektual Schleiermacher. Bdk. Adian, hal. 200.
[6] Ia sangat tertarik dengan Spinoza; alam sebagai realitas yang menyatukan dirinya dengan duania fenomena. Sebagai pengagum Spinoza ia dihadapkan dengan tantangan untuk mendamaikan pandangan filosofis Spinoza dengan agama yang harusnya ia ajarkan sebagai pendeta. Ia seorang pietis yang taat, berupaya untuk berpikir di luar kerangka intelektual dari kesadaran religius sebagaimana yang ia pahami dan hidupi. Bdk. Coplestone.
[7] Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1894 menjadi On Religion: Speeches to its Cultured Despisers
[8] Bagian ini sebagian besar penulis ringkaskan dari buku Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, hal. 201 – 203.
[9] Bdk. Mueller- Vollmer, hal 12.
[10] Kritisisme adalah sistem filsafat yang dibangun oleh Immanuel Kant. Dalam sistem pemikirannya, Kant membedakan realitas menjadi fenomena dan noumena. Fenomena menurut Kant adalah dunia penampakan yang ditangkap secara khusus oleh manusia melalui kategori-kategori dengan gerbang terdepan berupa kategori ruang dan waktu. Fenomena adalah dunia objek-objek alam yang ditentukan oleh hukum-hukum mekanis Newtonian. Dunia noumena adalah dunia di balik penampakan ketika akal budi harus menyerah dan memberi tempat pada yang transenden, unik, individual berupa kekayaan batin yang misterius. Kant memang tidak menempatkan gagasan-gagasan transcendental seperti jiwa, dunia dan Tuhan sebagai gagasan-gagasan yang konstitutif, tetapi ia menempatkannya sebagai gagasan-gagasan regulatif yang penting bagi manusia untuk menghindari jebakan materialisme (segala sesuatu adalah materi), naturalisme (alam adalah abadi, tak diciptakan, dan mencukupi dirinya sendiri), dan fatalisme (segala sesuatu di dunia telah ditentukan oleh Tuhan sehingga menihilkan kebebasan manusia).
[11] Protestantisme berakar dari reformasi di abad ke-16 yang diawali dengan berpisahnya Martin Luther dari Gereja Roma pada tahun 1517. Protestantisme muncul sebagai reaksi atas adanya mediasi manusia-manusia suci (priests) anatara umat manusia dan Tuhannya. Mediasi ini menjadi persoalan tatkala terjadi penyalahgunaan wewenang rohaniawan-rohaniawan gereja dalam melakukan kerja ‘rohani’-nya. Perlahan namun pasti protestantisme menyebar ke seluruh Eropa, dibantu pemikiran dari Huldrych Zwingli dan John Calvin di Swiss dan John Knox di Skotlandia.
[12] Romantisisme adalah gerakan kultural yang melanda Eropa dan Amerika antara kurang lebih 1775 dan 1830. Romantisisme adalah reaksi terhadap supremasi rasio di abad pencerahan yang menjadi kaku dan cenderung rasionalistk: mereduksi segala sesuatu menjadi apa yang ditangkap rasio saja dan memarjinalisasikan emosi, kehendak, libido, nafsu, spontanitas sebagai suatu yang subjektif-distortif dan dapat menurunkan derajat kebenaran ilmiah.
[13] Bdk. Lili Tjahjadi, SP., Paper-kuliah Hermeneutika: “F. Schleiermacher”, Jakarta: STF Driyarkara, 2011.
[14] Bowie Andrew, “The Philosophical Significance of Schleiermacher’s Hermeneutics”, dalam buku The Cambridge Companion to Friedrich Schleiermacher, edtr. Jacqueline Marina, New York: Cambridge University Press, 2005, hal. 85.
[15] Kumpulan teks dari masa yang berbeda, yang diterbitkan setelah ia meninggal pada tahun 1838, terutama ditujukan untuk interpretasi Kitab Suci Kristiani. Tapi, ia juga menekankan bahwa interpretasi teks religius dan interpretasi teks secular tidaklah berbeda. Bdk. Ibid.
[16] Hermeneutik Und Kritik, 75, (sebagaimana saya kutip pada, paper-kuliah Hermeneutika – F.Schleiermacher).
[17] Ibid.
[18] Loc.cit. Bowie.
[19] Op.cit. Adian, hal. 205.
[20] Ibid, hal. 205 – 206.
[21] Bdk. Mueller- Vollmer, hal 10.
[22] Pendekatan psikologis merupakan pendekatan yang di kemudian hari lebih ditekankan oleh Schleiermacher dibanding pendekatan gramatikal.
[23] Op.cit. Adian, hal. 207.
[24] Distingsi Schleiermacher ini sebenarnya sulit dibahas secara terpisah dan dibedakan dari distingsi pendekatan yang dibuat sebelumnya. Pembedaan sekarang berdasarkan ‘cara bekerja’, untuk mengungkapkan segi tindakan aktif subjek pembaca, sementara pembedaan berdasarkan gramatika dan psikologi yang lebih mengungkapkan ‘segi dari dalam’. Bdk. Paper-kuliah Hermeneutika – F. Schleiermacher.
[25] Dalam bahasa spiritual, sikap ini kiranya bisa dibandingkan dengan sikap kontemplasi, dimana orang masuk ke dalam suatu teks dengan keterlibatan seluruh panca indra dan perasaan, namun sekaligus juga melampaui batas-batas netra itu, hingga mendapat insight. Bdk. Ibid.
[26] Kitab suci pada Abad Pertengahan dimengerti lewat empat makna: harafiah (historis), alegoris (paradoks), tropologis (makna moral untuk tindakan), dan anagogi (makna abadi yang bersifat eskatologis). Reduksi makna kitab suci menjadi empat makna tersebut membuat teks menjadi tertutup dan cukup pada dirinya sendiri. Hal itu disebabkan karena sumbangan dari ilmu-ilmu lain, apabila tidak dapat dimasukkan pada satu dari keempat lokus makna tersebut, ditolak. Pembakuan tersebut juga menghasilkan elitism, esklusifisme penafsiran teks suci dan membuka peluang untuk apologi. Bdk. Adian, hal. 207.
[27] Op.cit. Adian, hal. 208 – 209.
[28] Ibid.
[29] Bdk. Mueller-Vollmer, hal. 8 – 9.
[30] Bdk. Paper-Kuliah.
[31] Op.cit. Adian, 210 – 211.
[32] Bdk. Mueller-Vollmer, hal. 12.
[33] Ibid.

Komentar

  1. Taipan Indonesia | Taipan Asia | Bandar Taipan | BandarQ Online
    SITUS JUDI KARTU ONLINE EKSKLUSIF UNTUK PARA BOS-BOS
    Kami tantang para bos semua yang suka bermain kartu
    dengan kemungkinan menang sangat besar.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    Cukup Dengan 1 user ID sudah bisa bermain 7 Games.
    • AduQ
    • BandarQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker.
    • Sakong
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • FaceBook : @TaipanQQinfo
    • WA :+62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    Come & Join Us!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t