Langsung ke konten utama

Eko-Filsafat Henryk Skolimowski

Eco-philosophy vis-à-vis Contemporary Philosophy[1]


Filsafat[2], yang megah dengan masa lalu dan juga masa depan yang hebat, pada masa ini larut dalam sebuah penyimpangan akan warisan megahnya. Skolimowski menyebut peradaban kita; “…peradaban yang mengalami skizofrenia dan menganggap diri sebagai peradaban terbaik dari yang pernah ada, padahal manusia yang berjalan di dalamnya merupakan perwujudan dari kesengsaraan dan kecemasan.”[3] Peradaban kini telah kehilangan kepercayaan dan arahnya, serta membutuhkan dasar filsafat yang baru. Sehingga para filsuf, terutama di abad ke-20 yang berorientasikan analitis, perlu berobservasi mengenai masyarakat dan peradaban yang sedang mengarah kepada suatu arah baru.
Pada bab I, Eco-cosmology as a New Point of Departure, Skolimoswski menyatakan bahwa kosmologi dan tindakan memiliki hubungan yang diperantarai oleh nilai dan filsafat. Penafsiran akan alam raya menentukan tindakan yang mengacu pada dasar nilai-nilai. Dan nilai-nilai selalu berakar pada filsafat tertentu yang mempengaruhi dan menentukan konsepsi tentang kosmos (kosmologi).
Pada bagian ini Skolomowski menunjukkan keterbatasan Filsafat kontemporer yang berorientasikan analitik dan mengarahkan ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, Skolomowski kemudian menawarkan metafisika baru yang disebutnya dengan Eco-philosophy.

Filsafat dan Kegagalannya di Era-Kontemporer

Masyarakat dunia dewasa ini merupakan bagian dari suatu zaman mekanistik, dimana manusia kebanyakan terorientasikan oleh pengetahuan spesifik. Zaman mekanistik ini berakar pada ilmu pengetahuan modern yang dijiwai oleh filsafat (kontemporer) dari para empiris, analitis, dan lembaga pendidikan sains. Filsafat Kontemporer yang berorientasi analitik dan bersemi sejak empirisme hingga atomisme logis (mencakup positivisme logis, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat sains, filsafat bahasa, serta filsafat yang secara global mendominasi masa ini) semuanya merupakan pemicu ledakan dari masa mekanistik yang terjadi sekarang.
C.H. Waddington[4] menyalahkan filsafat dan para filsuf karena mengambil suatu arah yang keliru pada awal abad 20. Daripada mengikuti Whitehead dengan filsafatnya yang holistik dan organistik; filsafat mengikuti Russell dengan filsafat atomistik dan matematiknya.
Dalam Sejarahnya, filsafat analitik lahir dari sebuah usaha agresif untuk mengeliminasi semua metafisika dan agama.[5] Pada awalnya, filsafat analitik, terutama Wittgenstein, dengan sangat baik telah memperlengkapi kita dengan kerangka konseptual dan dasar linguistik yang kuat untuk membebaskan kita dari pesona bahasa. Filsafat analitik juga membangun kembali fondasi-fondasi solid dan koheren bagi matematika dan berharap juga melalui logika akan memberikan fondasi-fondasi kokoh bagi semua cabang pengetahuan lain.[6]
Namun, kini filsafat analitik telah menjadi sekumpulan dogma usang. Filsafat analitik tidak mau memperbaharui dirinya dengan sumber inspirasi yang berasal dari pemikiran metafisis. Padahal tanda utama seluruh filsafat adalah pemikiran yang membuka pandangan baru. Dalam hal ini, filsafat kontemporer yang berorientasikan analitis mereduksi kapasitas berpikir kepada sekedar pembedahan analitik atas bahasa.
Oleh karena itu, filsafat analitik, yang mengaku sebagai penjaga rasionalitas, mesti bertanggung jawab atas kesalahannya, yakni destruksi pemikiran. Rasionalitas analitis bersifat destruktif, karena menutup pikiran dari berbagai sisi lain yang mereka tidak ingin dengarkan. Dalam hal ini, tidak ada dialog, hanya ada suatu pengulangan pernyataan dogmatik kebenaran-kebenaran analitik dan dogma-dogma mandul dari masa sebelumnya.[7]
Filsafat analitik kini harus ditentang karena konsekuensi dari hampir sluruh filsafat analitik adalah meremehkan fenomena manusia dan mendegradasikan kehidupan sebagaimana dapat dihidupi. Dengan demikian, filsafat, yang secara orisinil disusun sebagai suatu refleksi terus-menerus, pertumbuhannya terhenti ketika direduksi kepada maksud mekanistik dan teknik semata.

Eco-philosophy sebagai Metafisika Baru

Metafisika, dalam pemahaman filsafat secara umum, merupakan suatu tanggapan kepada tantangan hidup (masalah-masalah aktual) yang tak dapat dielakkan. Metafisika yang orisinil meliputi pemikiran bermakna mengenai problem-problem kemanusiaan dan dunia dalam setiap masanya.
Wittgenstein dengan 'Logika atomisme'-nya mengajukan suatu metafisika orisinil karena berkembang dari problema nyata dan aktual. Pada masa itu metafisika Wittgestein memberikan landasan pengetahuan [state of knowledge] dan memberikan cita-cita pada suatu masa yang masih percaya akan keselamatan melalui sains, logika, dan kemajuan teknologi.
Namun, sekarang atomisme Logis, positivisme logis dan mimpi sistem sains filsafat hanya tinggal sejarah. Dunia dewasa ini merupakan dunia dimana konsep-konsep alam dan ekologi mengasumsikan suatu kepentingan utama yang filosofis dan metafisis. Oleh karena itu, filsafat harus menentang batas-batas dari pemahaman analitik dan empirisistik akan dunia dan menghasilkan suatu kerangkan konseptual dan filosofis yang dapat mengakomodasikan banyak masalah-masalah baru tentang sosial, etika, ekologi, epistemologi dan ontologi.
Dalam konteks ini, Eco-philosophy bertujuan untuk memberikan suatu metafisika bagi masa sekarang. Eco-philosophy memberikan landasan pengetahuan [state of knowledge] dan cita-cita masa sekarang. Eco-philosophy menentang filsafat yang masih cenderung dialihkan kepada suatu sistem logika yang murni. Jadi, Eco-philosopy ingin menggantikan metafisika yang hanya menganalisa struktur logis dari proposisi-proposisi atau berusaha untuk memaksakan berbagai variasi 'ada' ke dalam kotak-kotak semantik.
Dalam hal ini, Eco-philophy ingin melampaui norma-norma dan ajaran-ajaran filsafat kontemporer, sehingga ia melepaskan diri dari kriteria validitas filsafat kontemporer. Eco-philosophy menegaskan bahwa kita butuh melepaskan konsepsi mekanistik dunia, dan mengantikannya dengan suatu konsep alternatif yang lebih luas dan lebih kaya.[8]

Kharakteristik Eco-Philosophy

Skolimowski memberikan dua belas kharakteristik Eco-Philosophy yang terkait dalam perbedaannya dengan kaharakteristik-kharakteristik filsafat kontemporer. Kharakteristik-kharakteristik Eco-Philosophy ini merupakan suatu representasi dari keseluruhan kepercayaan untuk memperoleh suatu skema konseptual yang menyeluruh dan mencakup, yang memungkinkan kita untuk bisa mengakomodasi dan mengartikulasikan variasi dari hubungan-hubungan baru yang niscaya bagi suatu pandangan dunia yang secara ekologis sehat dan secara manusiawi harmonis. Pada akhirnya, keterkaitan essensial dalam perbedaan diantara Echo-philosophy dengan Filsafat Kontemporer menandakan suatu paradigma yang secara total berbeda.
1. Eco-philosophy berorientasikan kehidupan. Sementara itu, filsafat kontemporer berorientasi bahasa. Filsafat analitik sibuk dengan tanggung jawab untuk memberikan bukti yang memuaskan. Padahal filsafat, yang secara essensial bersifat publik dan sosial, pada dasarnya hanya memiliki suatu justifikasi, yakni peningkatan Hidup. Oleh karena itu, menjalani hidup dengan serius adalah tujuan yang lebih penting, ketimbang 'keharusan' memberikan justifikasi atas hal-hal khusus dalam kehidupan.
2. Eco-philosophy memaknakan komitmen kepada nilai-nilai manusia, alam, dan hidup itu sendiri. Sebaliknya, filsafat akademik berkomitmen kepada objektivitas dan fakta-fakta. Padahal hidup, sebagai suatu fenomenologi ontologis, tidak mengenali objektifitas. Objektifitas merupakan suatu bentukan pikiran kita (model penafsiran) dan tidak benar-benar berakar di realitas fisik. Terkait dengan itu, metodologi dalam filsafat akademik menjadi suatu ancaman, karena tidak lagi menjadi suatu sarana yang membantu, namun cenderung menjadi suatu substitusi dari proses berpikir. Terlebih lagi ketika eskatologi diterjemahkan kepada metodologi, makna kehidupan manusia direduksi hanya pada aspek fisik, biologis dan ekonomis.[9] Eco-philosophy berupaya untuk membalik ketidakwajaran ini dan memelihara kehidupan dalam suatu pengertian yang fundamental.
3. Eco-philosophy secara spiritual hidup; karena ia menempatkan dirinya kepada perluasan-perluasan ultim dari fenomena manusia. Perluasan-perluasan ini mengejawantahkan hidup dari roh, yang tanpanya manusia tidak lebih dari binatang. Spiritualitas merupakan suatu instrumen yang memampukan kita untuk mengolah diri kita secara terus menerus dan di sisi lain merupakan suatu state of being.[10] Sebaliknya, kebanyakan filsafat masa sekarang secara spiritual mati, karena menempatkan dirinya kepada problem-problem dan bidang-bidang yang secara sistematik mengekslusikan hidup dari roh. Bahasa, konsep dan validitas filsafat meniadakan segala sesuatu yang berkaitan dengan spiritualitas sebagai sesuatu yang tidak valid dan tidak koheren.
4. Eco-philosophy bersifat komprehensif dan global. Eco-Philosophy bersifat komprehensif bukan karena yakin tidak dapat dikritik sehingga dapat mencakup dan menjelaskan semuanya, melainkan komprehensif dalam arti keniscayaan bahwa kita tak punya pilihan untuk melihat dunia dalam suatu cara yang komprehensif, terkait dan global. Sebaliknya, filsafat kontemporer bersifat analitis dan fisik (terpilah/terpotong). Padahal tekstur ultim kehidupan mengharuskan suatu pendekatan mendalam dan mengasumsikan bahwa ada hal-hal yang tak dapat dianalisis dengan menggunakan sarana analitik (eskatologi bersifat tak-analitis). Pemikiran tentang realitas bagaimanapun tidak dapat dilemahkan dengan mudah oleh bingkai-bingkai pedoman saintifik.[11]
5. Eco-philosophy terkait dengan pencarian akan kebijaksanaan, sedangkan kebanyakan filsafat yang ada terarah kepada penambahan informasi. Kebijaksanaan terletak dalam penggunaan pertimbangan yang senyatanya tak dapat dikuantifikasi. Maka, kebijaksanaan juga secara essensial tak-dapat-dikuantifikasi. Oleh karena itu, pengaruh dari masyarakat dan pendidikan yang bersifat kuantitif dapat mengarah kepada pengambilan keputusan dengan dasar fakta-fakta, bukan dengan pertimbangan.[12]
6. Eco-philosophy sadar akan lingkungan dan ekologis[13], sebaliknya filsafat kontemporer akademik cenderung mengabaikannya. Dengan kediamannya (pengabaiannya) pada ekologi, filsafat kontemporer berpartisipasi dalam konspirasi pengabaian. Di samping itu, filsafat kontemporer secara tidak langsung mendukung pandangan bahwa segala sesuatu merupakan objek observasi bagi para spesialis. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan mengenai lingkungan dan ekologi dihibahkan kepada para spesialis; ekonomikus, politikus, teknisi dan lainnya.
7. Eco-philosopy terkait dengan ekonomi yang meningkatkat kualitas hidup. Sementara, filsafat-filsafat akademik barat terkait dengan ekonomi yang berorientasikan kemajuan material. Filsafat akademik dominan dipengaruhi oleh empirisime[14], yang memberikan suatu justifikasi filosofis bagi kemajuan material dari ilmu ekonomi. Eco-philosophy percaya bahwa suatu ilmu ekonomi yang mendasari kualitas hidup berada dalam konflik dengan hidup itu sendiri. Tuntutan-tuntutan yang mempengaruhi masa depan masyarakat dan individu-individu yang hidup di dalamnya harus menjadi perhatian para filsuf.
8. Eco-Philosophy sadar secara politis[15]; manusia membuat pernyataan politis tidak selalu dengan jalan memberikan suara tapi dengan caranya hidup. Dalam hal ini, apa pun tindakan seseorang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan orang-orang lain. Misalnya, keadaan pekerja-pekerja dari negara dunia ke-tiga secara tak langsung berkaitan dengan cara kerja negara-negara industri mengendalikan usaha mereka.Filsafat kontemporer cenderung secara politis acuh-tak acuh, sehingga hasilnya seringkali benar-benar berujung pada ketidakadilan dan ketidakmerataan.
9. Eco-philosphy memperhatikan atau bertanggung-jawab akan kesejahteraan masyarakat[16], sebab masyarakat harus dilihat sebagai suatu instrument manusia untuk menjadi sempurna; suatu model dari modes of our spiritual being.[17] Sebaliknya, filsafat akademik memperlakukan masyarakat sebagai objek penelitian analitis, dengan sedikit perhatian pada kesejahteraan massayarakat. Banyak filsuf kontemporer menganggap masayarakat sebagai suatu kumpulan mekanistik yang dapat diobservasi dengan memakai hukum-hukum statistik. Suatu perlakuan yang demikian berujung pada ketidakadilan.
10. Eco-philosophy bersikap vokal terhadap pertanggung-jawaban individual.[18] Sebab eco-philosophy percaya bahwa kehendak manusia merupakan suatu manifestasi dari yang-Ilahi. Dengan demikian Eco-philosophy menuntut bahwa manusia harus bertanggung jawab penuh bagi segala sesuatu. Sebaliknya, Filsafat Kontemporer bersikap diam akan pertanggung-jawaban individual. Dunia mekanistis yang dihasilkannya merupakan dunia dimana secara progressif kehendak, imajenasi dan inisiatif kita perlahan-lahan digantikan dengan alat-alat mekanis. Dalam hal ini, kekerasan seringkali merupakan hasil dari kegagalan pencarian kita akan tanggung jawab dan inisiatif.
11. Eco-philosophy bersikap toleran akan fenomena transfisik, sebaliknya filsafat kontemporer bersikap intoleran. Epistemologi saat ini—berorientasikan analitik dan hanya merupakan catatan kaki semata dari epistemologi empiris—selalu menuntut justifikasi dalam kerangka kerja empiris dan berbagai macam metodologinya. Padahal ada banyak fenomena yang tidak dapat dijustifikasi dalam bingkai pemahaman empiris (mis. telepati atau fenomena paranormal). Eco-philosophy mengakhiri monopoli ini, karena ia meyerukan suatu epistemologi pluralistik—berakar pada kehidupan, dan berorientasikan kosmos—yang dirancang untuk menginvestigasi orders of being dan orders of knowledge yang mana bersifat fisik dan transfisik.
12. Echo-philosophy sadar akan pentingnya kesehatan, sebaliknya filsafat kontemporer cenderung menyangkal pernyataan ini. Berada dalam keadaan yang sehat berarti berada dalam hubungan yang baik dengan kosmos. Sebab, manusia dan lingkungannya berada dalam suatu keseimbangan kosmos yang konstan. Oleh karena itu, menjaga dasar kekuatan-kekuatan, baik yang fisik dan transfisik, dalam keseimbangan kosmos yang konstan merupakan kewajiban manusia.[19]
Komponen-komponen individual dalam kharakteristik di atas terkait secara menyeluruh. Tiap kharakteristik secara jelas menentukan yang kemudian dan sekaligus dipengaruhi oleh yang sebelumnya.[20] Eco-Philosophy pada akhirnya memberikan suatu kesimpulan bahwa; objektifitas tidak hadir di alam; kebijaksanaan secara essensial tak dapat dikuantifikasi; hidup yang tak didasarkan pada kriteria kualitatif adalah tidak bermakna; kita membuat pernyataan politis bukan melulu karena cara kita memilih, namun lebih melalui jalan kita hidup; masyarakat adalah satu dari modes of our spiritual being; dan epistemology pluralistik bersifat toleran pada fenomena transfisik dan merangkul variasi dari modes of being.

Kesimpulan

Echo-philosophy merupakan bagian lain dari dialog berkelanjutan kita dengan alam-semesta yang sedang berubah. Dalam menggubah diri kita dan hubungan kita kepadanya, kita sedang mengubah dan bersama membentuk alam semesta.
Filsafat kontemporer yang bercorak analitik secara keseluruhan bersifat terbatas, karena tidak memberikan suatu 'tablo final' dari permasalahan-permasalahan filsafat. Terlebih, dalam perkembangan pemikiran beberapa dasawarsa terakhir, dimana permasalahan-permasalahan filsafat yang muncul tidak pernah bersifat dasar linguistik atau analitik. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan bagian dari bentuk-bentuk kehidupan baru yang muncul, dan dengan demikian mengharuskan penyesuaian diri dalam ontologi dan epistemologi.
Dalam hal ini, Eco-philosophy memberikan landasan bagi suatu sistem pemikiran baru yang sebenarnya menandakan suatu gerakan kembali kepada tradisi agung filsafat. Eco-philosophy memikirkan kembali hubungan-hubungan kita dengan dunia secara luas. Eco-philosophy menginvestigasi perubahan yang harus dibuat untuk menjadikan filsafat sebagai suatu sarana yang sungguh mendukung dalam pencarian kita akan kehidupan yang penuh makna.
Pesan essensial dari echo-philosophy ialah: kita dapat mempengaruhi tiap elemen dari masyarakat, individual, spritual, ekologikal, dan politis, tidak secara terpisah, melainkan bersamaan (menyeluruh).

Catatan Akhir[21]

· Eco-philosophy yang Komprehensif dan Filsafat Kontemporer yang Analitik

Eco-philosophy memberikan landasan bagi suatu sistem pemikiran baru yang sebenarnya menandakan suatu gerakan kembali kepada tradisi agung filsafat. Oleh karena sifat filsafat kontemporer dengan pemikiran yang saintifik, simplistik, linear, atomistik, deterministik, membedah segala sesuatu menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian memaksakan variasi kehidupan kepada kotak abstrak pengetahuan, maka Eco-philosophy memikirkan kembali hubungan-hubungan kita dengan dunia secara luas dan menyeluruh: bersifat global dan komprehensif, serta integratif, melampaui norma-norma dan ajaran-ajaran filsafat kontemporer dan melepaskan kriteria validitasnya. [22]

· Filsafat Kontemporer?

Dalam menunjukkan keterbatasan filsafat kontemporer, Skolimowski terutama merujuk pada arus filsafat barat mulai dari empirisme, analitis, sampai dengan lembaga-lembaga penelitian sains yang tidak hanya mendominasi universitas-universitas Anglo-Saxon, tapi juga secara tidak langsung telah menjadi filsafat yang diterimas secara global. Ia mengakui adanya perbedaan antara atomisme logis dengan fenomenologi Husserlian, antara filsafat yang lebih kemudian dari Wittgenstein dan eksistensialisme Sartre. Namun, ia menyatakan bahwa baik fenomenologi dan eksistensialisme maupun filsafat yang diorientasikan secara empiris oleh para positivis, yang hadir di negara-negara Anglo-Saxon, paling tidak memiliki sedikit pengaruh bagi dunia atau bagi individu-individunya atau bahkan memberikan pembenaran filosofis bagi paradigma yang eksploitatif dan mekanistis yang telah mendatangkan begitu banyak malapetaka bagi ekologi dunia. Ia tidak memaksudkan suatu analisa mengenai filsuf secara khusus atau juga bukan setiap kelompok dari filsuf. Ia lebih cenderung menunjukkan essensi dan melampaui itu; konsekuensi dari keseluruhan cara berpikir filosofis peradaban kontemporer. [23]

· Fenomena Transfisik

Eco-philosophy bersikap toleran akan fenomena transfisik. Fenomena transifisik, sebagaimana misalnya nampak pada telepati atau fenomena paranormal, selama ini tereksklusikan terutama oleh ilmu pengetahuan modern yang dilandasi filsafat kontemporer. Padahal, aspek transfisik, sebagaimana aspek fisik, hanya merupakan salah satu “web” dari banyaknya “webs” yang menyusun kompleksitas hubungan manusia dengan dunia. Skolimowski menyatakan: “We live all the time in a multitude of webs signifying different orders of being and spelling out the complexityof our relationship with the world. In this multitude, the physical web is just one. However, it is this particular web which has become the focus of our attention and the object of intense investigation.[24] Aspek fisik telah menjadi satu-satunya “web” yang coba ditekankan oleh manusia dalam peradaban sekarang, sementara “webs” lainnya yang meskipun tetap hadir, namun tak dipedulikan. Oleh karena itu, Eco-philosophy berupaya secara ontologis dan kosmolgis untuk mencoba mendeterminasi dan memetakan heterogenitas dari alam semesta dan relasi kita dengannya.

· Epistemologi dan Bahasa didominasi kecenderungan Empirisme

Terkait dengan tema di atas, permasalahan yang dihadapi sekarang ialah suatu monopoli khas epistemologi yang kita harus patahkan untuk dapat berbicara tentang “different orders of being”. Epistemologi saat ini salalu menuntut justifikasi dalam kerangka kerja empiris dan berbagai macam metodologinya. Klaim-klaim yang terjustifikasi ini membawa kita kembali pada alam satu dimensi empiris. Dalam hal ini, permasalahan ‘bahasa’ juga menjadi sedikit menyulitkan. Skolimowski mendeskripsikan kesulitan itu: “We are using a different sense of ‘know’, however than the one that is officially acknowledge. We have a great difficulty in expressing, in current language, this different sense of ‘know’, for current language has become monopolized, and in a sense perverted, by the physical web.” [25] Baik epistemologi yang hanya menekankan aspek fisik maupun bahasa yang sulit dalam mengekspresikan perngertian lain dari 'know' pada masa sekarang telah dimonopoli oleh kecenderungan empirisme logis yang mendasari ilmu pengetahuan modern. Eco-philosophy berupaya melampaui keterbatasan ini, menuju suatu epistemologi pluralistik.

· Eco-Philosophy mematahkan dominasi Pragmatisme

Eco-philosophy dalam menggagas suatu metafisika baru, juga berupaya untuk mematahkan dominasi filsafat pragmatis. Skolimowski melihat bahwa peradaban kita yang berorientasi teknologis sangat tidak memperhitungkan konskuensi jangka panjang. Ia menunjukkan bahwa peradaban tekhnologis didominasi oleh filsafat pragmatis yang tidak didasari oleh refleksi yang tak memadai. Teknologi telah memiskinkan kehidupan; teknologi telah merampas kualitas hidup dan menggantikannya dengan spiritualitas alat-alat/ perkakas (gadget). Situasi klise inilah yang ingin dilampaui oleh Eco-philosophy dengan melampaui kesadaran yang menciptakannya. Eco-philosophy ingin melampaui batas pragmatisme yang menjadi sumbernya.[26]

· Eco-philosophy dalam kaitannya dengan Filsafat Proses A.N. Whitehead (1861-1947) [27]
Sudah dikatakan sebelumnya oleh Skolimowski, bahwa C.H. Waddington, seorang ahli biologi, melihat kekeliruan yang hadir pada masa sekarang diakibatkan oleh filsafat dan para filsuf. Ia menyatakan bahwa filsafat mengambil suatu arah yang keliru pada awal abad 20. Akibat tuntutan pencarian solusi melalui logika, filsafat akhirnya cenderung mengikuti Russell dengan filsafat atomistik dan matematiknya, daripada mengikuti Whitehead dengan filsafatnya yang holistik dan organistik.[28]
Pada dasarnya Whitehead menawarkan paham metafisis yang lebih kompleks dan komprehensif, melalui suatu cara berpikir yang dinamis dan ber-proses, dengan mengikutsertakan semua unsur yang ada di jagat raya, khususnya lingkungan hidup dan sesama manusia sebagai “a society of actual entities”. Dalam pemikiran proses menurut Whitehead, realitas dipahami sebagai suatu serikat atau komunitas wujud­-wujud aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Pemikiran Proses yang menekankan model sosial atau ekologis dalam memahami realitas dapat me­numbuhkan sikap-sikap yang menunjang kesa­daran ekologis. Pemikiran ini, seperti menekankan kesalingtergantungan antara manusia dan alam dan bukan sikap eksploitatif yang mengobjekkan dan me­nguras alam.
Sebagai reaksi dan tawaran alternatif terhadap materialisme ilmiah[29] yang menghegemoni pikiran dan sains modern, Whitehead mencanangkan sebuah pemikiran yang mengedepankan keutuhan, integrasi, diantara jejaring-jejaring realitas dalam bingkai pemikiran sistemik.[30] Setiap entitas di dunia ini—Whitehead menyebutnya sebagai satuan aktual—memiliki nilai-nilai intrinsiknya sendiri-sendiri, tak terkecuali manusia. Manusia hanyalah satuan aktual diantara satuan-satuan aktual lainnya. Dunia, dalam konteks ini, adalah rajutan dari satuan-satuan aktual itu, di mana ia eksis karena dalam dirinya mengandung spirit—yang oleh Whitehead disebut sebagai solidaritas (solidarity). Artinya, meskipun setiap satuan aktual dalam dirinya sendiri merupakan suatu proses penciptaan (self-creation), namun proses itu bukan merupakan aktivitas yang terpisah dari yang lain.
Berkaitan dengan paham Eco-philosophy, filsafat Whitehead dengan demikian menunjukkan pentingnya lingkungan hidup manusia dalam proses perkembangan mencapai “kepenuhan diri” (istilahnya: satisfaction). Penghancuran lingkungan hidup adalah penghancurkan kepenuhan diri sendiri. Dalam hal ini, manusia dan semua pengada lain dapat mencapai kepenuhan diri secara kualitatif hanya jika manusia mengikutsertakan seluruh lingkungan hidupnya terkait secara hakiki di dalam prosesnya. Pemikiran proses menumbuhkan sikap hormat terhadap alam.



[1] Paper ini merupakan ringkasan bab II (dengan judul yang sama) dari buku karangan Henryk Skolimowski; Living Philosophy: Eco-Philosophy as a tree of life (London: Arkarna/Penguin Books, 1992), yang digunakan sebagai bahan presentasi dan diskusi mata kuliah ‘Eco-philosophy: Membaca Skolimowski’ yang diampu oleh Rm. Dr. Al. Andang Binawan, SJ., pada Rabu, 2 Maret 2011 (STF Driyarkara 2011).
[2] Filsafat, sebagai suatu refleksi sadar manusia untuk terus-menerus memaknai hidup, melandasi tiap kepercayaan dan asumsi fundamental dari tiap zaman dan masyarakat. Kepercayaan dan asumsi fundamental ini dipandang nyata dan dijadikan dasar bertindak, serta menjustifikasikan berbagai hal.
[3] Bdk. "We are a schizophrenic civilization which deludes itself that it is the greatest that has ever existed, while its people are walking embodiments of misery and anxiety". Skolimowski, Henryk, Living Philosophy: Eco-Philosophy as a tree of life, London: Arkarna/Penguin Books, 1992, hal. 32.
[4] Seorang ahli biologi yang pada masa akhir hidupnya memikirkan kembali dilema-dilema inheren pemikiran biologi masa sekarang yang ia pikir mencerminkan keadaan pengetahuan keseluruhan masa kini.
[5] Kematian metafisika, di satu sisi mengeliminasi banyak bentuk bad philosophy dan di sisi lain meningkatkan kekosongan-imajinasi. Padahal metafisika merupakan sumber utama dari pemikiran spekulatif dan tanpa pemikiran spekulatif tidak ada filsafat baru.
[6]Di samping itu, logika matematika bertujuan untuk mengakhiri kekacauan dalam filsafat dan juga membangun suatu sistem filsafat sains yang jauh mengatasi segala sesuatu yang pernah ada sebelumnya.
[7] Filsafat-filsafat mekanistis yang begitu sering mengembar-gemborkan fajar rasionalitas dan pembebasan manusia dari paksaan dogma, justru berakhir sebagai penindas terburuk yang berusaha mengikat kita dengan dogma-dogma mereka sendiri dan mendekap pemikiran kita pada 'kotak logis'.
[8] Sebab filsafat kontemporer dengan pemikiran yang saintifik, simplistik, linear, atomistik, deterministik, membedah segala sesuatu menjadi potongan-potongan kecil dan kemudian memaksakan variasi kehidupan kepada kotak abstrak pengetahuan.
[9] Padahal makna ultim dan pemenuhan hidup manusia dijamin oleh momen-momen ketika mencapai alam transfisik dari kontemplasi estetik: pengalaman ketika dicintai, religius dan semi-religius. Semua ini merupakan aspek transenden dari eksistensi manusia, oleh karena itu bersifat transfisik dan transobjektif.
[10] Eco-philosophy menggunakan istilah spiritualitas dengan pengertian baru, bahwa spiritualitas merupakan suatu state of mind—sungguh suatu state of being—. Spiritualitas merupakan suatu struktur keseluruhan yang membangkitkan pengalaman transfisik kita. Dilihat dalam skala evolusi, spiritualitas merupakan sebuah instrumen manusia untuk semakin menyempurnakan diri. Di sini spiritualitas bersinonim dengan kualitas kemanusiaan.
[11] Ecologi mengasumsikan suatu bingkai pedoman yang lebih luas daripada dalam fisika atau kimia, namun bukanlah bingkai pedoman yang ultim. Evolusi memberikan suatu bingkai yang lebih luas, secara khusus ketika melingkupi evolusi kebudayaan manusia. Jadi konsep kita akan kebenaran harus dihubungkan dengan bingkai evolusi (bukan kepada suatu deskripsi statis dari teori evolusi). Pada akhirnya menjadi masuk akal untuk menghubungkan hubungan konsep kebenaran dengan cosmic scale dimana evolusi terjadi.
[12] Menuruti fakta berarti menuruti teori dan pandangan-dunia yang mana fakta-fakta itu tunjukkan serta artikulasikan. Dengan demikian fakta-fakta pertimbangan menjadi mutlak dalam paradigma fisik realitas.
[13] Menjadi sadar secara ekologis tidak hanya berarti bijaksana menjaga sumber-sumber daya yang ada dan untuk membuatnya bertahan lebih lama; melainkan juga memberikan penghormatan kepada alam dan suatu penyadaran bahwa kita adalah suatu perluasan dari alam dan alam merupakan perluasan dari kita.
[14] Mereka menganut pandangan-dunia sekular, mengakui perkembangan material sebagai suatu ukuran yang valid dari kemajuan, dan oleh karena itu dengan jelas, meskipun secara tidak langsung, mendukung modus dari pertumbuhan ekonomi.
[15] dalam pengertian Aristotelian: kita adalah mahkluk politis bukan karena kita membutuhkan kekuasaan, namun karena tindakan-tindakan kita penuh dengan konsekuensi-konsekuensi politis.Manusia membuat pernyataan politis tidak selalu dengan jalan memberikan suara tapi dengan caranya hidup.
[16] Eco-philosophy menganggap masyarakat sebagai suatu entitas sui generis yang memiliki hidupnya sendiri. Sebagai konsekuensinya, masyarakat baik tidak dapat direduksi sebagai individual maupun dianggap sebagai suatu pentotalan semata dari individu-individu yang khas.
[17] Kontrak sosial yang mengikat kita bekerja sama dengan keseluruhan masyarakat merupakan suatu pengakuan atas keterlibatan kita dengan skema besar dari seluruh hal yang disebut kosmos. Cukup jelas bahwa suatu konsepsi simbiotik dan kerja sama dari kosmos mengimplikasikan suatu konsepsi kerjasama dari masyarakat, karena masyarakat merupakan salah satu dari bagian dari kosmos dalam evolusinya.
[18] Eco-philosophy tidak hanya menuntut bahwa untuk hak-hak yang dibutuhkan, manusia juga harus terikat dengan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban, namun, juga mengobservasi pemulihan kedaulatan dan otonomi dari individu, sehingga ia dapat mempergunakan hak-hak dan tanggung-jawabnya dengan penuh arti.
[19] Kesehatan manusia perlu diangkat pada suatu proposisi filosofis, karena dalam Eco-philosophy, menjaga kesehatan manusia berarti bertanggung jawab atas bagian terdekat dari alam semesta. Hal ini mengekspresikan suatu penghormatan pada kehidupan melalui diri manusia.
[20] Filsafat kontemporer secara spiritual mati karena seluruh bidangnya mati; berfokus pada benda mati, fakta-fakta fisik, hubungan-hubungan objektif logis. Oleh karena itu secara berturut-turut, filsafat kontemporer tak memiliki tanggung-jawab sosial, karena keprihatinan-sosial bukanlah suatu kategori objektif; politik dipandang terlalu luas untuk cakupan bidang analisinya; bersikap ‘diam’ dengan tanggung jawab individual, karena ide tanggung jawab melampaui bidangnya; informasi menjadi lebih penting daripada kebijaksanaan; bersikap ‘abai’ terhadap lingkungan dan ekologi, karena premisnya menjadikan lingkungan dan ekologi sebagai objek penguasaan manusia dan pengeksploitasian demi keuntungan semata; kemajuan materi menjadi tujuan utama; ‘lupa’ akan pentingnya kesehatan, karena kesehatan merupakan wilayah khusus kajian spesialis medis; dan bersikap intoleran terhadap fenomena transfisik yang dianggap akan merusak keseluruhan bidang wacananya yang niscaya dan universal.
[21] Bagian ini merupakan suatu rangkuman dari tanggapan dan pertanyaan, serta tema-tema penting yang muncul dalam diskusi.
[22] Skolimowski, hal. 37.
[23] Bdk. Skolimowski, hal. 38
[24] Skolimowski, hal. 53
[25] Skolimowski, hal. 54
[26] Skolimowski, hal. 10
[27] Bagian ini saya sarikan dari beberapa sumber; Tjahjadi, S.P. Lili, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 129-139; Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983, hal.131-133; Tucker, Maria Evelyn & John A. Grimm (edt), Agama, Filsafat & Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003, 239-259.
[28] Bdk. Skolimowski, hal. 37
[29] Hampir senada dengan Eco-philosophy, Whitehead meyakini bahwa materialisme ilmiahlah yang telah menjadi cikal-bakal lahirnya dominasi manusia atas alam semesta dan watak eksploitatifnya bersifat imanen dalam dirinya, karena melihat dunia hanya sebagai gugusan materi yang statis, sehingga dapat dikalkulasi secara eksak.
[30] Dalam Process and Reality (1978), dia mengatakan bahwa tujuan dari filsafatnya adalah mencanangkan kosmologi baru yang berbasis pada sistem, di mana unsur-unsur pembentuk sistem tersebut bersinergi menciptakan keteraturan yang padu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t