Langsung ke konten utama

Platon: Polis yang Adil


Sebuah review Platon dalam karyanya Politeia (Republik), buku IV.

Buku ini merupakan teks paralel terakhir sebelum pembahasn tentang keadilan, yang merupakan tema utama Republik. Teks ini berkaitan erat dengan tema ‘hukum positif’. Di sini Platon mengutarakan berbagai macam aturan yang ditekankan kepada wanita dan anak-anak. Semua itu dipaparkan dalam konteks menjaga kesatuan dan keutuhan komunitas para punggawa paripurna. Platon juga akan membahas; persoalan polis ideal (agama), tentang penghilangan keluarga berciri tradisional dan kepercayaan penuh kepada polis untuk memberikan pendidikan.


  1. Kebahagiaan Punggawa

Pada awal buku IV, dalam konteks deskripsi Sokrates mengenai cara hidup para punggawa [419a], muncul lagi pertanyaan; apakah orang yang adil berbahagia atau tidak? Para punggawa yang bekerja untuk kebahagiaan polis, justru ‘menurut Adeimantos’ seperti budak (mis. tak memiliki barang pribadi). Ideal kehidupan orang Yunani pada umunya begitu berkebalikan dengan para punggawa.[1]
Platon kemudian menjelaskan bahwa ‘kebahagiaan para punggawa tidak terletak dalam beberapa perihal keuntungan, tetapi tampak ketika ia memnuhi tugasnya dengan baik. Melalui Sokrates, Plato menjawab argumentasi Adeimantos tersebutt—yang mengulangi Thrasymakhos atau Kallikles dengan pandangan bahwa kebahagiaan dialami lewat terpenuhinya beberapa keuntungan pribadi—bahwa kebahagiaan para punggawa akan tergantung kepada kebahagiaan polis secara keseluruhan. [420d]. ‘Kebahagiaan superior’ para punggawa akan nampak dalam kesetiaan pelayanan kepada polis [420d-e]. Kondisi ini sesuai dengan konsep bahwa ‘setiap orang menjalankan fungsinya masing-masing’ [bdk.421], sehingga tiap golongan kelas memiliki kebahagiaannya masing-masing, tak terkecuali para punggawa. Untuk itu, Platon memberikan sebuah analogi tentang patung. Patung diwarnai dengan beraneka ragam warna, namun dengan satu upaya, yakni agar pewarnaan itu membuat mata patung menjadi meonjol. Dalam analogi ini, bagian paling indah dan menonjol, yakni mata merupakan deskripsi para punggawa. Mata sebagai bagian paling indah, tak perlu diwanai dengan berbagai macam warna, cukup dengan warna klasik, austere: hitam. Dan demikian para punggawa pun tak perlu ‘dihias-hiasi dengan kenikmatan yang mewah’, karena menurut Platon, tidak cocok untuk orang yang memerintah. Dengan model begitu, kelas-kelas lain pun diharapkan menikmati ‘kemewahan’ kehidupan mereka dengan secukupnya, karena semua yang tampak berlebihan akan menghancurkan polis, terutama jika itu terjadi pada para punggawa.[2]

  1. Polis Ideal

Berkenaan dengan polis ideal, Platon melalui Sokrates menyatakan bahwa polis ideal nantinya tidak memiliki banyak hal. Hal ini dinyatakannya dalam deskripsi tentang perang [422a-b]. Kalau bertempur, polis ideal akan bertempur seperti atlet perang (polemou athletai) yang handal. Bahkan Sokrates mengatakan bahwa lebih mudah melawan dua polis daripada saru saja. Mereka akan dengan mudah mengalahkan polis kaya yang pasti tidak tahu caranya berperang. ‘seorang petinju terlatih dengan gampang akan mengalahkan dua orang kaya dan gemuk, tapi tak tahu cara bertinju’. Kalau pun polis kaya mau mencari bantuan, maka polis lain yang dimintai bantuan akan berpikir bahwa ‘lebih baik membantu polis yang tahu bertempur dan atletis, daripada membantu polis yang sekedar kaya tapi pasti kalah jika bertempur’.[3]
Polis yang ideal, menurut Plato, adalah polis yang “sophron”: “so long as your city is governed soberly (sophronos) in the order just laid down, it will be the greatest of cities” [423a].[4] Sebuah polis besar, bukan karena reputasinya atau karena wilayahnya, melainkan karena di situ dimungkinkan munculnya ‘moderasi’ dan ‘keadilan’. Bukan soal jumlah orang atau besarnya wilayah, melainkan bagaimana kota ini bisa menjadi otonom (autarkeia). Dan yang terpenting bagi polis adalah ‘kohesi politik internal’ atau kesatuan (unity) dan otonomi sehingga polis itu terjauhkan dari segala macam perang saudara (stasis).[5]

  1. Prioritas Pendidikan

Kalau di buku sebelumnya, sudah dibicarakan kriteria tentang ‘filsuf alamiah’ bagi para calon punggawa, di sini [423c-d] Platon akan meneruskan bagaimana “ton phulakon tis phaulos” (calon punggawa yang secara alamiah medioker) mesti disingkirkan. Punggawa dituntut memiliki keunggulan (spudaios) [423d], terutama dalam arti moral. Kharakter seperti itu harus dilihat adanya pada anak-anak para punggawa. Bila bakat-bakat kemampuan fisik dan moral tidak ada, maka mereka akan diturunkan kelasnya [423d].[6]
Platon menekankan pentingnya ‘pendidikan dan pengasuhan’ bagi warga negara polis-nya [423c] untuk memungkinkan konstruksi masyarakat yang diidealkannya.Pendidikan dan pengasuhan menjadi syarat bagi terciptanya suatu polis yang ‘baik’. Hal ini bahwa warga negara polis haus mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang baik, yang mana memampukan mereka untuk tetap mengikuti prinsip umum, “dalam segala persahabatan segala sesuatunya menjadi milik bersama”[424a], seperti kata pepatah.[7]
Dalam kerangka prioritas ini, Plato menekankan pentingnya pendidikan; “...jika melalui pendidikan yang baik, warga ngara menjadi bijaksana, maka dengan mudah mereka melihat (pen. memahami) semuanya ini dan berbagai hal lainnya yang kini telah kita hilangkan—seperti memiliki perempuan, perkawinan dan memiliki keturunan...”[8] Pendidikan dan pengasuhan itu penting dalam menghasilkan warga negara yang bijaksana. Di sini Platon juga berbicara mengenai penghilangan struktur keluarga tradisional. Struktur itu telah dihilangkan dan diarahkan pada tujuan yang lebih umum—demi terciptanya kebahagiaan utuh dalam keseluruhan polis—.[9]
Jadi, melalui pendidikan dan pengasuhan yang baik, akan dihasilkan warga-negara yang bijak dan berpikiran sehat, dan pada akhirnya akan sangat memungkinkan untuk menciptakan tatanan kehidupan yan baik dalam polis.

  1. Pentingnya Tradisi dalam Musik dan Gimnastik

Dalam kaitannya dengan prioritas pendidikan bagi warga negara itu, Platon menekankan pentingnya tradisi dalam musik dan gimnastik. Dalam hal ini, tradisi diwariskan kepada kaum muda melalui musik dan gimnastik—yang merupakan bagian dari sistem pendidikan—, sehingga mereka tetap berpegang erat pada hukum dan adat istiadat.
Hal esensial berkaitan denga pendidikan (penekanan tradisi) melalui musik dan gimnastik adalah bahwa ‘tak boleh ada inovasi’ dalam musik dan gimnastik [bdk.424b][10]. Platon menekankan demikian karena menurutnya ‘setiap inovasi (musikal) penuh dengan bahaya bagi seluruh negara dan harus dilarang’ [424c][11], sehingga generasi muda, menurut Platon, harus dilatih dari awal dengan sistem yang lebih keras [bdk.424c]. Oleh karena itu, pelaksanaan dan pengaturan pendidikan harus diserahkan kepada polis [424d].
Berkaitan dengan inovasi, telah disinggung sebelumnya tentang pembusukan yang diakibatkan oleh kekayaan: ‘penyebab orang-orang menjadi busuk (corrupted) atau termanjakan adalah (spoiled) adalah kekayaan dan kemiskinan [421d-e]. Platon memberi contoh; tukang gerabah, jika makin kaya, maka ia akan semakin tidak memperhatikan keterampilannya (seni-nya). Ia menjadi malas dan lebih suka menganggur, sehingga ia menjadi tukang gerabah yang buruk. Sebaliknya, jika ia semakin miskin, maka ia tidak memiliki alat bekerja, sehingga ia akan menjadi tukang gerabah yang buruk.[12]
Demikian juga para punggawa, mereka harus dijaga dari dua bahaya itu: kekayaan dan kemiskinan. Kekayaan membawa “luxury, idleness and innovation” sementaa kemiskinan membawa “illiberality and the evil of bad workmanship in addition to innovation”. Dalam hal ini, inovasi bagi Platon bukanlah sesuatu yang baik. Cara baru ini mengancam stabilitas yang ada dan mengancam ‘kebiasaan-kebiasaan’ baik yang sudah terbangun. Apabila para punggawa terkena ‘penyakit inovasi’ ini, maka mereka dapat berangan untuk memodifikasi program pendidikan yang sudah ada mengenai musik dan gimnastik [422b].[13]
Dalam pembahasan ini ‘tema stabilitas’ tampak jelas. Stabilitas (sistem pendidikan) dalam hal ini, wajib untuk meniadakan perubahan. Pembahasan ini kiranya berkaitan dengan tema yang sama; ‘stabilitas’ dalam sistem pendidikan yang dibangun di buku II-III.[14]

  1. Preskripsi dan Legislasi: batas-batasnya—Hukum yang keras

Setelah berbicara panjang lebar mengenai pendidikan dan sistemnya, Platon mencoba memberikan gambaan mengenai hukum. Platon—melalui Sokrates ketika menjawab pertanyaan Adeimantos mengenai aturan di tempat umum—tidak akan berusaha lebih jauh untuk merincikan hukum [sampai kepada hal-hal tertentu yang relatif kecil], karena para punggawa ‘ideal’ akan menemukan dengan sendirinya hukum atau aturan macam apa yang penting atau menjadi keharusan [bdk.425e].[15]
Platon juga menekankan pendidikan sebagai landasan hukum. Jika pendidikan tidak diterapkan dengan baik maka hukum hanya terbatas pengunannya. Di samping itu, hukum, dalam keadaan tersebut, tidak akan menghasilkan kemajuan dalam suatu kota.
Di sini, Platon mendeskripsikan ‘orang sakit’ yang disejajarkan dengan keadaan polis yang kacau tatanan hukumnya. Platon kemudian seakan memberikan ‘resep’; Reformasi menyeluruh dari suatu kota aktual tak dapat dicapai melalui usaha yang sembarangan dengan hukumnya, tetapi hanya dapat dicapai melalui suatu reformasi sistem pendidikan yang mendasar.[16]

  1. Primasi (Prioritas) Lembaga Religius: Hukum Apollon [427b]

Platon kemudian mengetengahkan aturan penting yang juga harus dilaksanakan oleh suatu polis yang adil. Dalam hal ini, Plato berbicara mengenai prioritas religius. Platon memberikan tempat penting bagi lagislasi religius. Platon kembali ke otoritas tradisional dan “ancestral” pada Apollon, karena dipercaya bahwa Delphoi adalah pusat dunia dan ‘tempat’ bagi orakel.[17]
Platon di sini menyinggung soal mitos pendirian tempat jiarah Apollon di Delphoi [427b], terutama soal “pusar”(omphalou). Dewa adalah ‘nenek moyang penafsir’, menurut Platon. Dewa menjadi penunjuk jalan dan pendiri sebuah kota. Apollon adalah pendiri polis-polis yang ada atau pusat bagi seluruh Yunani. Jadi pendirian polis ideal ini merujuk pada mitos utama orang Yunani tentang Apollon.[18]
Berkaitan dengan Apollo, Dewa Delphi; sebuah polis yang adil, warga negaranya, harus mendirikan kuil dan memberi persembahan, dan seluruh pelayanan terhadap para dewa, setengah dewa dan para pahlawan; juga permintaan akan tempat persemayaman orang mati [bdk.427b]. Hal ini menjadi syarat polis yang adil. Demikian, Platon sebenarnya mengecam ‘pengabaian’ tradisi dalam praktek religius itu, yang diwariskan dari para leluhur.


[1] Bdk. Wibowo, A. Setyo, Naskah Kerja: Seminar Politeia—buku IV (pertemuan ke-6), Jakarta: STF Driyarkara, 2010, hal. 1.
[2] Bdk. Ibid.
[3] Bdk. Ibid. hal. 2.
[4] Ibid.
[5] Ibid. hal. 2-3.
[6] Bdk. Ibid. hal. 3
[7] White, Nicholas P., A Companion to Plato’s Republic, Oxford: Basil Blackwell, 1979, hal. 112.
[8] “...if by being well educated they become sensible men, they’ll easily see to all this and everything else we are now leaving out—that the possesion of women, marriage, and procreation of children...”. Teks terj. Bloom, Allan, The Republic of Plato, New York: Basic Books inc., 1968, hal. 101.
[9] “The Happiness of the city as a whole”, bdk. Op.cit. White, hal 107.
[10] Ibid, hal. 112.
[11] “For they must beware of change to a strange form of music, taking it to be a danger as a whole.” Teks terj. Bloom, hal. 424.
[12] Loc.cit. Wibowo, hal. 1 – 2.
[13] Ibid. hal. 2.
[14] Op.cit. White, hal. 113.
[15] Ibid. hal. 112.
[16] Ibid.
[17] Loc.cit. hal. 5.
[18] Ibid.
..........................................................................................................................................................................
Bibliografi
Bloom, Allan. The Republic of Plato. New York: Basic Books, inc., 1968.
White, Nicholas P. A Companion to Plato’s Republic. Oxford: Basil Blackwell, 1979.
Wibowo, A Setyo. Naskah Kerja: Seminar Politeia—buku IV (pertemuan ke-6). Jakarta: STF Driyarkara, 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t