Langsung ke konten utama

Francis Fukuyama tentang Akhir Sejarah

Francis Fukuyama, dalam artikelnya “The End of History”—dan kemudian dalam bukunya “The End of History and the Last Man”, menyatakan bahwa demokrasi liberal merupakan tujuan akhir dari evolusi ideologi umat manusia dan bentuk final dari pemerintahan manusia. Bentuk-bentuk pemerintahan seperti monarki, fasisme, komunisme dalam kenyataannya memiliki banyak cacat dan kontradiksi internal, sedangkan demokrasi liberal—walaupun ketidakadilan masih ada, tetapi hal itu merupakan implementasi yang belum penuh dari prinsip “liberty” dan “equality”—bebas dari itu semua. Francis Fukuyama dengan begitu menegaskan bahwa demokrasi liberal, sebagai sistem pemerintahan yang telah memperoleh legitimasi yang kuat di seluruh dunia, merupakan “the end of history”.

Unsur-unsur Filsafat Hegel pada Fukuyama

Fukuyama sama seperti Hegel dan Marx, melihat sejarah sebagai proses evolusioner yang satu dan koheren. Hegel dan Marx berpendapat bahwa proses evolusioner akan berakhir ketika bangsa manusia telah mencapai suatu bentuk masyarakat yang memuaskan keinginan terdalam dan fundamental. “Akhir dari sejarah” ini bagi Hegel adalah negara liberal, sedangkan bagi Marx adalah masyarakat tanpa kelas. Kata “akhir” dimaksudkan bahwa tidak ada kemajuan lebih lanjut dalam perkembangan prinsip dan institusi yang mendasari, karena semua masalah besar telah diatasi.
Pandangan Hegel (dan juga Marx) tentang proses dialektis juga mempengaruhi pemikiran Fukuyama. Hegel melihat bahwa motor sejarah manusia adalah perjuangan untuk pengakuan (struggle for recognition). Hal tersebut memungkinkan manusia untuk menyatakan ‘diskontiunitas-diskontinuitas’ yang nampak dalam sejarah, misalnya perang. Hal tersebut juga mendorong manusia untuk memandang perkembangan sejarah sebagai kemunculan kontradiksi-kontradiksi yang mana dipecahkan kembali oleh struktur sosial-politis yang lebih tinggi. Hegel menyebunya sebagai proses ‘dialektis’. Bagi Fukuyama, jika sejarah mencapai suatu puncak di mana tidak ada lagi kontradiksi-kotradiksi, kemudian sejarah berakhir. Dalam masyarakat demokrasi liberal tidak adalah kontradiksi-kontradiksi karena sejarah telah berakhir dan masyarakat hidup dalam keadaan universal dan homogen. (M.C. Lemon, Philosophy of History, hlm. 396).
Bagi Hegel, sejak awal perang dan kematian untuk suatu gensi, didorong oleh suatu hasrat akan pengakuan sebagai manusia bermartabat. Hasil pertempuran itu adalah munculnya pembagian dalam masyarakat ke dalam kelas tuan, yaitu mereka yang mau mempertaruhkan hidupnya; dan kelas budak, yaitu mereka yang menyerah pada ketakutan akan kematian. Hubungan tuan-budak tersebut selalu tidak berimbang. Budak-budak selalu tidak mendapatkan pengakuan dari para tuan; pada saat yang sama, para tuan juga hanya menikmati sebagian pengakuan, karena di antara para tuan ada sebagian yang tidak mendapatkan pengakuan dari sesama tuan lainnya. Ketidakpuasan tersebut menciptakan sebuah kontradiksi yang kemudian melahirkan tahap sejarah selanjutnya. Menurut Fukuyama, Hegel percaya bahwa kontradiksi tersebut dapat diatasi oleh revolusi demokratis yang menghilangkan perbedaan antara tuan dan budak melalui penyusunan prinsip kedaulatan rakyat dan kekuasaan hukum di mana budak menjadi tuan. Kontradiksi itu diganti oleh saling mengakui antara tuan dan budak yang bersifat universal, di mana setiap warga mengakui martabat dan kemanusiaan setiap warga lainnya dan martabat itu diakui oleh negara melalui pemberian hak. Fukuyama menegaskan bahwa Hegel melihat hak ini adalah puncak dari pencarian hasrat tersebut. (M.C. Lemon, Philosophy of History, hlm. 402)
Berkaitan dengan Amerika dan Revolusi Perancis Fukuyama juga mencatat, Hegel menegaskan bahwa sejarah telah sampai pada sebuah akhir karena kerinduan yang mendorong proses sejarah, yaitu perjuangan untuk diakui telah dipenuhi dalam masyarakat yang ditandai oleh saling mengakui secara universal tadi. Tidak ada pengaturan lembaga masyarakat yang dapat lebih baik untuk memenuhi kerinduan ini, dan olehnya tidak ada perkembangan perubahan sejarah yang mungkin lagi. (Philosophy of History, hlm. 402).

Thymia, Isothymia, dan Megalothymia dalam Perkembangan Sejarah

Fukuyama menyatakan bahwa keinginan untuk diakui sebagai manusia (the desire of recognition) menkondisikan manusia pertama untuk mempertaruhkan hidup dalam sebuah pertarungan terus menerus untuk mendapatkan martabat. Inilah yang disebut thymos, yang diambilnya dari pandangan Plato tentang triparti jiwa (nous, thymos, epithumia). Konsep ini dimengerti oleh Plato sebagai kondisi psikologis manusia yang menciptakan kesadaran akan self esteem (harga diri). Apabila seseorang diperlakukan tidak sesuai dengan nilai yang dipegangnya, maka ia akan marah. Apabila orang tersebut tidak mampu untuk hidup menurut nilai yang diyakini itu, maka ia akan merasa malu. Dan, apabila dia merasa hidupnya telah sesuai dengan nilai tersebut, maka ia akan merasa bangga. Hasrat untuk mendapatkan pengakuan yang diikuti oleh perasaan marah, malu dan bangga merupakan bagian penting dalam kepribadian manusia bagi kehidupan politik.
Fukuyama melihat bahwa menurut Hegel, hasrat itulah yang mendorong seluruh proses sejarah. Dalam Hegel hal itu tercermin pada relasi tuan-budak. Tuan memelihara budak supaya diakui, tetapi dalam relasi tersebut yang menang adalah budak, karena ia dapat mentransformasikan dunia melalui kerja dan menguasai waktu. Dengan demikian manusia diakui sebagai manusia. Jadi, sejarah adalah perjuangan manusia untuk mendapat pengakuan sebagai manusia (desire for recognition). Menurut Fukuyama, dalam negara-negara komunis seperti Uni-soviet, Eropa Timur dan China, thymos mendapat tekanan. Dengan adanya desire of recognition sudah berjalan peran kritik tentang anti-komunis. Revolusi Prancis dan deklarasi HAM merupakan aktualisasi dari desire of recognition. (M.C. Lemon, Philosophy of History, hlm. 398-400).
Di samping itu keinginan untuk mendapat pengakuan tersebut dapat juga mengarah kepada suatu perjuangan untuk diakui lebih dari yang lain. Inilah yang disebut megalothymia (the desire recognized as superior). Fukuyama melihat bahwa megalothymia inilah yang mendorong terjadinya pemerintahan tirani dan pengembangan masyarakat-masyarakat komersial. Megalothymia ini menjadi konkret dalam pemerintahan otoriter dan imperialisme. Megalothymia pada umumnya menyatakan diri dalam suatu kompetisi atau persaingan dalam berbagai factor. (M.C. Lemon, Philosophy of History, hlm. 400-401).
Megalothymia dapat ditaklukkan dengan kecenderungan lain pada manusia, yaitu isothymia, pengakuan diri untuk menjadi sama atau sederajat. Jadi, isothymia lewat sistem pemerintahan yang demokratis karena dalam sistem tersebut semua diakui sama dan sederajat. Isothymia sekarang dapat diwujudkan dalam mayarakat demokratis liberal. Demokrasi liberal dapat memecahkan masalah megalothymia dengan mengendalikannya dan mensublimasinya melalui serangkaian peraturan institusional—prinsip kedaulatan rakyat, pengakuan hak, pemisahan kekuasaan dan sebagainya. (Philosophy of History, hlm. 401-403).

Interpretasi M.C. Lemon terhadap Pemikiran Fukuyama

· M.C. Lemon melihat arti penting dari keseluruhan perspektif Fukuyama dengan membandingkan pemikirannya tentang makna sejarah dengan pandangan-pandangan Marx muda. Marx menetapkan bahwa sejarah manusia didorong oleh aktivitas manusia dan penyempurnaannya terjadi dengan memuaskan kodrat atau kondisi manusia. Berbeda dengan Fukuyama, Marx mendasarkan sejarah manusia pada kepemilikan komunal dan kontrol terhadap sumber-sumber ekonomi yang dikombinasikan dengan masyarakat tanpa kelas. Sejarah bagi Marx adalah perjuangan orang membebaskan diri dari paksaan ekonomi dan politik, orang bebas mengeksplorasi dan memenuhi potensi mereka yang bermacam-macam. Dalam hal ini, Marx tidak mengatakan apa makna dari hidup (the meaning of life), tetapi dia mengatakan pra-kondisi dari manusia untuk merealisasikan kebebasan. (Philosophy of History, hlm. 426)
· M.C. Lemon melihat bahwa Fukuyama memandang bahwa hal yang esensial dari human nature adalah desire, reason dan thymos. Akhir dari sejarah adalah pemuasan dari ketiga komponen human nature ini. Desire berarti kebutuhan-kebutuhan ekonomi manusia, reason adalah kapasitas untuk memahami dan memanipulasi lingkungan sosial dan natural untuk mencapai tujuan seseorang, dan thymos adalah dorongan untuk mendapat penghormatan dari seseorang atau yang lain sebagai manusia. (Philosophy of History, hlm. 426).
· M.C. Lemon mengkritik Fukuyama karena terlalu menekankan reason sebagai reason yang instrumental. Fukuyama mengakui kegunaan instrumental dari reason untuk mencapai sisi praktis dari kehidupan. Aktivitas intelektual dilakukan bukan demi pemenuhan diri tetapi supaya keluar dari thymos, sebagai ekspresi dari dorongan untuk dihargai sebagaimana dalam megalathymia(dihargai sebagai yang paling super). (Philosophy of History, hlm. 427-428)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t