Langsung ke konten utama

Tentang Sejarah ~ Hegel


Hegel, dalam bukunya “Lectures on the Philosophy of World History”, berusaha menggambarkan perkembangan sejarah secara komprehensif dan berusaha untuk mendamaikan pikiran dengan realitas. Pada akhirnya realitas dan pikiran adalah identik, dimana tidak ada perbedaan antara pikiran atau idea dengan kenyataan. Yang “aktual” adalah yang “rasional” dan yang “rasional” adalah “yang aktual”. Rekonsiliasi pikiran dan realita tercapai dengan perkembangan idea atau pikiran itu sendiri. Seluruh kenyataan merupakan proses yang berjalan menurut hukum dialektik.

Hegel dipengaruhi pikiran Neo-Platonisme yang melihat bahwa pada awal mula seluruh kenyataan ini berasal dari The One (“yang satu”). Yang satu ber-emanasi atau mengalirkan diri ke dalam kenyataan yang majemuk, yang pada akhirnya kembali diserap ke dalam “yang satu”. Filsafat Kant juga sangat berpengaruh pada Hegel. “Idealisme” Hegel dapat dikatakan sebagai radikalisasi idealisme transendental Kant. Bila dunia yang kita ketahui adalah dunia yang sesuai dengan forma/kategori pengertian kita, maka dunia tentunya memiliki corak yang lebih sesuai dengan rasio dari pada dengan apa “yang melulu materi”. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa Hegel menyangkal eksistensi realitas eksternal atau material, sebagaimana halnya idealisme transendental Kant juga tidak menyangkal. Idealisme mutlak berarti bahwa tak ada sesuatu pun yang ada yang bukan merupakan manifestasi Idea, suatu keharusan rasional. Semua yang ada memiliki tujuan, yaitu terjadinya kesadaran-diri rasional. Idealisme Hegel pada hakekatnya teleologis: realitas hanya dapat dipahami dalam kerangka maksud atau tujuan akhir, perwujudan kesadaran-diri roh.

Bagi Hegel “yang satu” itu adalah Roh Subjektif yang mengalami perkembangan dalam tiga tahap. Pertama, yang disebut tesis, yaitu Roh-dalam-dirinya-sendiri. Kemudian tahap kedua disebut anti-tesis, Roh itu meng-eksternalisasikan-dirinya dalam kenyataan yang lain, yaitu dalam kenyataan “alam semesta atau jagat raya”. Inilah sejarah, yaitu eksternalisasi Roh atau objektivasi Roh. Dan tahap terakhir, dimana seluruh kenyataan historis ini diangkat ke tataran yang lebih tinggi (aufgehoben) ke dalam Roh yang Mutlak, yaitu tahap sintesis. Proses ini disebut proses dialektis. Jadi, sejarah tidak lain adalah proses “menjadinya” Roh Subjektif ke dalam kenyataan objektif (Roh Objektif), yaitu dalam berbagai kenyataan objektif, intuisi, ilmu, teknologi sebagai hasil evolusi rasio manusia, agama, filsafat, hukum, moralitas dan kehidupan negara di mana semua dileburkan.
Dalam negara kesadaran individual diangkat ke dalam tataran yang lebih tinggi menjadi kesadaran sosial dan akhirnya kesadaran universal. Negara dalam filsafat Hegel diartikan sebagai suatu kompleks budaya yang mengintegrasikan seni, agama, politik, ilmu dan teknologi ke dalam “kesadaran-diri” yang universal. Manusia mendapatkan artinya dan kebebasannya dalam negara. Komunitas ethis dari negara, seni dan agama merupakan tahap-tahap menuju kepada “pengetahuan mutlak”. Dialektika memuncak dalam pengintegrasian segala proses dialektika dari roh oleh filsafat. Filsafat membawa roh ke dalam kesadaran-diri yang paling penuh dan rasional. Pengetahuan filsafati bersifat mutlak, karena filsafat merupakan bentuk kesadaran tanpa kontradiksi internal. Dalam pandangan Hegel, pengetahuan kita tentang dunia hanyalah satu momen dalam perkembangan kesadaran-diri roh dalam berbagai bentuk.
Hegel berpendapat bahwa seluruh arah perkembangan dialektis merupakan kemajuan kebebasan. Menurut Hegel dalam dunia Timur hanya “satu” orang bebas, yaitu diktator, rakyat tidak bebas. Di dalam dunia Yunani dan Romawi hanya “beberapa orang bebas, yaitu warganegara, yang lainnya adalah budak. Di Barat, di Jerman, “semua” orang bebas. Perjalanan keseluruhan sejarah yang meningkat secara dialektis dapat dipahami sebagai kemajuan kebebasan. “Sejarah dunia tidak lain adalah kemajuan kesadaran akan kebebasan. Melalui dialektika sejarah, roh – komunitas konkret yang dipandang sebagai perwujudan suatu pandangan dunia atau konsepsi kehidupan – menjadi semakin rasional dan sadar-diri.
Segala aspek kehidupan berkembang ke dalam kenyataan objektif dan kemudian didematerialisasikan dalam tataran yang lebih tinggi. Menurut Hegel: “Sejarah Dunia berjalan dari Timur ke Barat” dan Eropa merupakan tujuan akhir dari sejarah. Perjalanan sejarah ini merupakan perjalanan Roh, Idea, Kesadaran, Kemerdekaan. Sebagai contoh dapat diambil seni. Seni berawal dari ide, dituangkan dalam pikiran dan diekspresikan dalam bentuk tertentu. Seni di Timur masih didominasi oleh simbolisme (unsur bentuk/materi) dan terekspresi dalam arsitektur. Di Barat (Yunani-Romawi) seni klasik mencari keseimbangan antara bentuk dengan materi yang diobjektivasikan dalam seni lukis. Di jaman Romantik (masa Hegel hidup), terjadi pembatinan dari yang lahiriah dan itu diekspresikan dalam musik. Dengan demikian seni berkembang sebagai mencerminkan taraf-taraf “kerohanian” yang semakin tinggi. Dalam seni “Yang Mutlak” diamati, di dalam agama “dianggap” dan di dalam filsafat “dimengerti”.

Kritik Terhadap Filsafat Sejarah Hegel

· Hegel sangat mengabaikan kebebasan manusia. Sejarah sebagai eksternalisasi Roh mengarahkan manusia dan dunia ke satu tujuan, sehingga kebebasan manusia diabaikan. Hal ini juga memberikan suatu legitimasi atas peristiwa perang dan kekerasan, sebagai suatu keharusan sejarah dan sesuatu yang bersifat rasional.

· Pandangan Hegel bahwa Roh Absolut sebagai yang supranatural menggerakkan sejarah. Jadi, sejarah ditentukan oleh yang Supranatural.

· Hegel dalam filsafatnya terlalu idealistik, sehingga cenderung mengabaikan aspek material. Karl Marx, tidak puas dengan realitas idealistic dari Hegel karena ia melihat adanya ketidakcocokan antara pemikiran dan kenyataan yang terjadi di Prusia pada masa itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t