Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2010

Filsafat, Ilmu Kritis

Filsafat, sebagai metode pemikiran yang bertanya tentang sifat dasar dan hakiki dari realitas, merupakan suatu ‘seni kritik’. Filsafat pada dirinya sendiri mempertanyakan segala sesuatu secara terus menerus. Ia selalu mengusik apa yang ‘mapan’, mempertanyakan segala sesuatu yang kelihatannya sudah jelas. Ia menggali segala sesuatu secara fundamental, untuk menemukan pusat permasalahan yang harus dipecahkannya secara rasional dan bertanggung jawab. Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hal-hal mendasar dan menyeluruh. Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, filsafat mengkaji segala sesuatu secara menyeluruh. Ia terus-menerus mempertanyakan dan berupaya menjawab berbagai macam permasalahan yang tak dapat dijawab oleh cabang ilmu lainnya—dan juga pertanyaan lintas ilmu—secara rasional dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, filsafat tidak dapat tidak bersifat kritis. Kritis di sini dalam artian terus menerus bertanya—secara eksternal mempertanyakan hal-hal di luar dirinya (lingkup il

Perspektif Baru dalam Pendidikan non-Barat

’ Dalam satu dasawarsa terakhir ini, sebagaimana diungkapkan oleh Setiono Sugiharto dalam artikelnya Understanding Students’ Rhetorical Tradition [1] , ungkapan ‘pendidikan karakter’ menjadi perhatian utama, khususnya dalam dunia pendidikan kita. Kenyataan ini pada dasarnya didorong oleh situasi dunia pendidikan nasional yang dianggap tidak dapat mewujudkan visi pendidikan yang ‘benar’—masalah utamanya mengenai kebiasaan dalam men contek dan meng copy karya orang lain tanpa ijin—bagi para pelajar. Dalam hal ini, ‘pendidikan karakter’ dipercaya sebagai ‘obat mujarab’ bagi para pelajar untuk mulai melihat dan memahami pentingnya membinan ‘kejujuran akademik’. Setiono Sugiharto dalam artikelnya kemudian mengungkapkan ‘pendidikan karakter’, yang juga telah tercantum dalam garis besar kurikulum nasional, tak mungkin menghasilkan hasil-hasil yang manjur bagi upaya peningkatan dunia pendidikan kita—berkaitan dengan hal ihwal ‘kejujuran akademik’—. Dia menyatakan bahwa sekurang-kuragny

Siapakah Manusia?

--> Filsafat sebagai metode pemikiran yang bertanya tentang sifat dasar dan hakiki dari realitas, mencoba mengupas apa arti manusia dalam bidang yang lebih khusus, yakni Filsafat Manusia. Dalamnya, manusia mencoba untuk memenuhi salah satu dorongan dasarnya, yakni dorongan bertanya khususnya mempertanyakan dirinya sendiri, dengan mendefiniskan siapakah yang disebut manusia itu? Bidang khusus ini dahulu seringkali dikenal dengan istilah “psikologi rasional” atau “psikologi filosofis” sebagai lawan dari “psikologi empiris”. Namun, istilah psikologi kiranya membawa kerancuan pada spesifikasi filsafat ini bilamana orang berpegang pada etimologinya saja, karena hanya akan nampak satu aspek, yaitu jiwanya ( psyche , Yunani). Istilah “Filsafat Manusia “ atau “Antropologi Filosofis” kiranya lebih tepat melukiskan bidang filsafat tentang manusia dalam keutuhannya. Namun, dewasa ini dapat disimpulkan tiga alasan yang sepintas lalu menjadikan Filsafat manusia tidak berguna lagi. Pet