Langsung ke konten utama

Filsafat, Ilmu Kritis

Filsafat, sebagai metode pemikiran yang bertanya tentang sifat dasar dan hakiki dari realitas, merupakan suatu ‘seni kritik’. Filsafat pada dirinya sendiri mempertanyakan segala sesuatu secara terus menerus. Ia selalu mengusik apa yang ‘mapan’, mempertanyakan segala sesuatu yang kelihatannya sudah jelas. Ia menggali segala sesuatu secara fundamental, untuk menemukan pusat permasalahan yang harus dipecahkannya secara rasional dan bertanggung jawab.
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hal-hal mendasar dan menyeluruh. Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, filsafat mengkaji segala sesuatu secara menyeluruh. Ia terus-menerus mempertanyakan dan berupaya menjawab berbagai macam permasalahan yang tak dapat dijawab oleh cabang ilmu lainnya—dan juga pertanyaan lintas ilmu—secara rasional dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, filsafat tidak dapat tidak bersifat kritis. Kritis di sini dalam artian terus menerus bertanya—secara eksternal mempertanyakan hal-hal di luar dirinya (lingkup ilmu khusus) dan juga secara internal mempertanyakan diri sendiri, sehingga tidak berhenti pada sebuah klaim kebenaran—tentang hal-hal fundamental dan mencari jawaban secara rasional dan bertanggung jawab.
Menurut Franz Magnis Suseno, sifat kritis merupakan merupakan tuntutan internal dari berpikir filosofis itu sendiri. Filsuf harus selalu kritis, bertanya dan mencari jawaban-jawaban rasional. Berfilsafat dengan demikian merupakan berpikir kritis; selalu harus bertanya secara fundamental dan mencari jawaban rasional. Di sinilah terletak tanggung jawab filsafat, yakni dimana Filsafat secara kritis terus menerus mempertanyakan dan juga harus berani menawarkan jawaban-jawaban rasionalnya bagi permasalahan-permasalahan manusia. Filsuf bertanggung jawab dalam mempertanyakan apa yang nampaknya sudah jelas dan juga berani mengajukan jawaban-jawaban rasionalnya, serta terbuka pada kritik dan pertanyaan. “Filsafat berusaha memberikan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.”[2] Dalam hal ini, filsafat juga terbuka terhadap segala kritik yang menyangkal jawabannya dan berani mengajukan argumentasi rasional secara objektif, sehingga jawaban yang diberikan bisa dimengerti secara intersubjektif.
Dengan demikian, filsafat memang sebuah ilmu kritik, seni kritik. Secara eksternal, ia terus-menerus mengajak ilmu-ilmu lain untuk beranjak dari kemapanan dengan mempertanyakan klaim-klaim merek;, dan secara internal, ia tidak ‘ajek ‘dalam suatu klaim kebenaran dengan selalu mempertanyakan dirinya sendiri.

Dialektika sebagai suatu metode berfilsafat

Filsafat, yang tidak dapat tidak harus ‘kritis’, pada hakikatnya dialektis. Dalam filsafat, klaim kebenaran pasti selalu tunduk pada proposisi-proposisi yang lebih besar, dan proses ini berlangsung terus menerus dalam putaran ‘tesis - anti-tesis’. Filsafat sebagai dialektika selalu berada dalam hubungan dialogal (dua arah). Klaim kebenaran selalu dipertanyakan dan diusik kemapanannya oleh klaim rasional lainnya. Dengan demikian berpikir kritis—sebagai tuntutan internal dalam filsafat—ialah berpikir dialektis.
Dialektika, sebagai sebuah metode untuk berfilsafat, merupakan metode paling khas dalam filsafat. Dialektika merupakan sebuah ‘wadah’ bagi klaim-klaim rasional dari para filsuf dalam upaya memurnikan ide sebagai pengetahuan. Di dalamnya, klaim-klaim para filsuf saling menguji dan menyangkal, serta menyimpulkan suatu klaim baru yang tidak mungkin tidak akan dimurnikan lagi dalam proses yang sama. Proses itu teru berputar di kisara tesis dan anti-tesis. Dengan demikian, dialektika merupakan metode yang memungkinkan sifat kritis sebagaimana tuntutan berpikir filosofis. Oleh karena itu, dialektika merupakan metode khas dalam filafat.
Dalam sejarah filsafat, dialektika nampak menjadi metode khas dalam berfilsafat. Bagi Platon, dialektika berarti suatu dialog yang mana di dalamnya ide dimurnikan dari yang sekadar inderawi dan partikular ke ide yang murni. Dialektika berasal dari kata “dia-legein (lekton-lekta)”, yang artinya melalui kata-kata, melalui perbincangan, dialog. Dalam karya-karyanya yang berbentuk dialog, Platon akan mengajak orang (mitra wicara) berproses tahap demi tahap untuk akhirnya sampai ke ‘definisi’tentang tema dialog. Dalam proses dialog ini akan diajukan tesis-tesis, penyangkalan-penyangkalan yang diajukan kepada tesis tersebut, dan semacam ‘kesimpulan’ yang bisa ditarik sendiri dari keseluruhan proses dialog yang kadang-kadang bersifat “aporetik” (jalan buntu).
Disamping itu, raksasa paling akbar dari idealism Jerman, Hegel juga menyajikan dialektikanya. Bagi Hegel, dialektika merupakan ‘gerak pemikiran itu sendiri yang selalu bernegasi’. Pemahaman atas dialektika Hegel harus bertitik tolak dari keyakinan Hegel bahwa “Only the Whole is True”. Untuk sampai ke “the Whole” itu tentu ada tahapan, ada momen yang “partially true”. Namun hanya dalam “the Whole” itulah ‘tiap tahapan’ akan ‘diambil kebenarannya’ dan ‘dilampaui kesalahannya’. “The Whole” sebagai yang benar tampak dalam ‘pengambilan/pelestarian’ dan ‘pelampauan’ dari momen-momen yang dilewatinya. Kebenaran, menurut dialektika Hegel, dengan demikian tampak sebagai ‘gerakan dinamis’. Hanya dalam totalitas (keseluruhan) maka pengatahuan yang sebenarnya terpahami.

Dialektika adalah metode berfilsafat itu sendiri.

Sebagaimana berpikir kritis merupakan berpikir dialektis, Berfilsafat dengan demikian harus dialektis. Berfilsafat mengandaikan suatu cara berpikir yang kritis, dan oleh karena itu bersifat dialektis. Filsafat mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya dengan metode kritisnya, dalam dialektika.
Berpikir dialektis tidak lain merupakan berpikir historis. Berpikir dialektis mengandaikan adanya beberapa pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, filsafat jelas tidak berangkat dai ‘nol’. Pemikiran-pemikiran itu kemudian dikaji, dikritisi; dilengkapi dan dilampaui. Dalam hal ini, perbandingan pemikiran meliputi dimensi historis. Jadi, dialektika selalu merupakan model berpikir historis. Metode dialektis berkaitan erat dengan metode historis.
Bagi Aristoteles, Filsafat haruslah dialektis. Pendahulu haruslah dilampaui dan dilengkapi. Dalam karya-karyanya, Aristoteles selalu mengungkapkan apa yang telah ada sebelumnya, karena baginya hal-hal itu merupakan pencapaian yang berguna bagi pembentukan atau pengolahan pemikirannya sendiri. Ia mengutip otoritas-otoritas pendahulunya untuk ia kritik sesuai optik yang ia miliki. Ide-ide besar yang diikuti jamannya perlu dikatakan, dipresentasikan, tetapi bukan hanya untuk direpetisi. Di sini ia meletakkan, ‘perpektif kontinuitas berpikir’ dimana ia tidak sekedar mengulang apa yang sudah ada, tetapi ia menawarkan perspektif baru pemikirannya dalam kontinuitas dengan pendahulu-pendahulunya.
Louis Leahy juga melihat bahwa filsafat harus bersifat kritis, dalam arti berpikir historis. Filsafat tidak mungkin tidak berangkat dari pengetahuan yang sudah ada terdahulu. Oleh karena itu, filsafat harus bersifat kritis dalam kajian historisnya; melanjutkan dan terus bertanya serta menemukan jawabannya, atau dengan kata lain Filsafat bersifat interrogatif (anti kemapanan).
Berfilsafat dalam Perbedaan ‘Barat-Timur’.
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, berfilsafat dengan metode dialektisnya tidak dapat tidak harus bersifat kritis. Sifat kritis dalam metode dialektika merupakan tuntutan internal dalam berfilsat. Dan tanpanya, filsafat bukan lagi merupakan upaya pencarian fundamental yang berlandaskan ‘cinta akan kebijaksanaan’.
Dari kenyataan yang terungkap di atas, nampaknya muncul suatu tantangan berat bagi proses belajar Filsafat dalam kaitannya dengan perbedaan metode pendekatan antara ‘barat dengan timur’. Perbedaan metode pendekatan yang melekat dalam ‘manusia barat-timur’ menghadirkan suatu tantangan baru, khusunya bagi orang-orang dari wilayah dengan label timur yang kecendrungannya cukup sulit beradaptasi dengan ‘sikap kritis’.
Perbedaan ‘barat-timur’ pada dasarnya tidak terletak pada “isi-nya”—sebagaimana sering diungkapkan bahwa perbedaan itu nampak dalam distingsi rasio-intuisi—tetapi pada “metodenya”. Perbedaan yang lebih relevan itu kiranya nampak dalam metode pendekatan yang argumentatif yang dominan di barat dan metode mendekatan yang lebih otoritatif di dunia timur. Di barat, metode argumentatif lebih memungkinkan untuk berfilsafat dengan ‘kultur kritisnya’ dibandingkan dengan kekakuan yang hadi dalam metode otoritatif yang melekat erat di timur. Di timur, otoritas diagungkan sebagai pemegang legitimasi yang tak dapat diganggu gugat. Otoritas diandaikan ‘sangat benar’ dan tak ada kemungkinan lain darinya. Kepatuhan naïf ini kiranya merupakan suatu hambatan terberat dalam wilayah timur ketika berhadapan dengan metode berfilsafat.
Akan tetapi dalam konteks permasalahan ini, ‘orang timur’, di satu sisi kurang diuntungkan dalam berfilsafat, namun di sisi lain juga terbuka terhadap kemungkinan perkembangan baru. Di satu sisi, ‘Dialektika-kritis filsafat’ pada umumnya berbenturan dengan kecenderungan ‘otoritatif’, keajekan dalam bersikap ‘nrimo. Kiranya cukup sulit meninggalkan ‘keajekan’ dealam suatu perubahan perspektif, akan tetapi akan selalu ada jalan untuk beradaptasi. Di sisi lain, nampak peran nyata dari “Filsafat sebagai Ilmu Kritis”. Filsafat sebagai ilmu kritis pada akhirnya akan memampukan setiap manusia untuk bersikap kritis. Dengan filsaat, orang-timur tidak lagi terbatasi oleh kecenderunganya yang ‘terkungkung dalam bejana otoritatif’, tapi dapat mengembangkan masyarakatnya dengan sikap kritis.

[1] Tulisan ini disarikan dari bahan kulian “Filsafat sebagai Ilmu Kritis”, m.k. Pengantar Filsafat yang diampuh oleh A.Ssetyo Wibowo.
[2] Magnis-Suseno, Franz, “Filsafat sebagai Ilmu Kritis”, dari buku Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: kanisius, 1992, hlm.10.

Komentar

  1. tanpa mengurangi rasa hormat pada filsafat yg agung itu, perlu diketahui bahwa Orang Timur juga percaya takhayul...sementara itu keduanya mesti disejejarkan, diakui, dan dibersihkan dari konsep2 org picik, 3 di antaranya adalah org modernis, org monoteis, n org militeris...(baca bil fu untuk lebih mengerti)

    BalasHapus
  2. filsafat agung?? mungkin mengagumkan...'manusia mengagumi diri sendiri lewat filsafat...!!!

    orang timur dan barat mengenal takhayul...niscaya saya kira...jelasnya dalam mitos mungkin!!!

    sejajar, bisa jadi...namun tak dapat dipungkiri...tolak ukur barat jadi dominan..!!!

    orang modernis...ga laku!!! Jean F. Lyotard, sudah dengan tepat mendeskripsikan kejatuhan modernitas...
    proyek2 dengan 'the idea of progress'pada akhirnya harus mengakui keangkuhan prematurnya...kamp-kamp Nazi dan kerusakan Lingkungan jadi saksi...
    tawaran modernitas...belum bisa menjamin kesempurnaan hidup manusia...narasi-narasi besar (grand recits) terbukti meramalkan apa yang diharapkan manusia saja...bukan yang 'akan' dilakukannya...!!! Hegel mungkin terlalu mengawang...Sosialisme bahkan komunisme...belum terlalu Marxis mungkin...apaLagi kaPitalisme yang sedikit liar mengarahkan aroma neraka ke hidung bumi...
    he...entahlah...
    mungkin monoteis dan militeris tercakup dalam narasi-narasi warkop itu...
    sebatas menyingkap kebenaran...atau menciptakan kebenaran??
    mungkin tidak jauh berbeda dari obrolan nak2' STF di pojok warko teh meY...!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t