Langsung ke konten utama

Siapakah Manusia?


-->

Filsafat sebagai metode pemikiran yang bertanya tentang sifat dasar dan hakiki dari realitas, mencoba mengupas apa arti manusia dalam bidang yang lebih khusus, yakni Filsafat Manusia. Dalamnya, manusia mencoba untuk memenuhi salah satu dorongan dasarnya, yakni dorongan bertanya khususnya mempertanyakan dirinya sendiri, dengan mendefiniskan siapakah yang disebut manusia itu? Bidang khusus ini dahulu seringkali dikenal dengan istilah “psikologi rasional” atau “psikologi filosofis” sebagai lawan dari “psikologi empiris”. Namun, istilah psikologi kiranya membawa kerancuan pada spesifikasi filsafat ini bilamana orang berpegang pada etimologinya saja, karena hanya akan nampak satu aspek, yaitu jiwanya (psyche, Yunani). Istilah “Filsafat Manusia “ atau “Antropologi Filosofis” kiranya lebih tepat melukiskan bidang filsafat tentang manusia dalam keutuhannya.
Namun, dewasa ini dapat disimpulkan tiga alasan yang sepintas lalu menjadikan Filsafat manusia tidak berguna lagi. Petama, Ada beraneka ragam ilmu-ilmu khusus yang menyediakan aneka ragam sumber keterangan tentang manusia yang juga berkaitan dengan kajian filsafat manusia. Kedua, berbagai konsep yang dipatenkan oleh para filsuf dari masa ke masa pada kenyataannya nampaknya menimbulkan keragu-raguan karena seringkali saling bertentangan. Dan ketiga, para filsuf juga nampaknya menimbulkan ketidakpercayaan karena seringkali melakukan kesalahan-kesalahan yang mengecewakan.
Berkaitan dengan tiga alasan di atas, di sini akan ditegaskan kenyataan akan pentingnya filsafat tentang manusia. Berkaitan dengan alasan pertama, dapat dinyatakan bahwa seluruh spesifikasi ilmu itu sungguh mengajarkan banyak hal mengenai aspek-aspek manusia dari paradigma keilmuan masing-masing spesifikasi tersebut. Namun hanya Filsafatlah yang mampu bertanya dengan radikal dalam keseluruhan aspek dari manusia. Alasan kedua kiranya dapat dijelaskan bahwa pertentengan-pertentangan dapat membawa manfaat, asalkan saja orang mampu mengatasinya dan menemukan titik-titik pandangan yang mendamaikannya. Alasan yang ketiga lebih cenderung sebagai suatu gambaran hiperbola dari apa yang telah dikerjakan para filsuf. Lagipula, dalam kenyataannya Filsafat dari masa ke masa mengatasi sendiri kesulitannya dan mencapai pengertian yang semakinmendalam tentang manusia.
Filsafat manusia, dalam mengkaji realitas manusia, menjadikan watak dan sifat manusia sebagai sasarannya. Watak dan sifat ini memungkinkan adanya distingsi ketat antara manusia dan mahkluk-mahkluk lainnya. Jadi, tanpa adanya watak-sifat umum yang dimiliki bersama—sebagai identitas dasar—oleh semua manusia filsafat dan setiap ilmu pengetahuan manusia tidak dapat berjalan. Namun, Filsafat manusia berbeda dengan ilmu kemanusiaan. Ilmu kemanusiaan berupaya menemukan hukum objektif dari tindakan manusia, sejauh tindakan itu dapat dipelajari secara inderawi, sedangkan Filsafat mengarahkan penyelidikannya kepada segi yang lebih mendalam; abstrak dan universal.
Filsafat manusia bertitik tolak dari pengetahuan dan pengalaman tentang manusia serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu (universal dan abstrak) dan juga sekaligus titik tolak berbagai macam kajian manusia lainnya. Berkaitan dengan itu, Filsafat manusia menjadikan manusia sebagai objek materialnya dan inti manusia, strukturnya yang fundamental sebagai objek formal dari kajian keilmuannya. Dalam hal ini, metode yang digunakan pada dasarnya bersifat interogatif. Filsafat manusia mengajukan persoalan dan mempertanyakan apa yang tampak sudah jelas. Dan kekhasan dari interogasi yang diajukan oleh bidang filsafat adalah bahwa interogasinya diarahkan kepada hal yang paling fundamental. Filsafat di sini menunjukkan sifat radikal-nya. Namun tujuannya tidak dicapai secara singkat dan langsung, karena dalam upaya kajiannya Filsafat selalu bersifat dialogal, yang selalu larut dalam suatu dialektika.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t