Langsung ke konten utama

STF Driyarkara, Memang Beda




Sejauh pengalamanku, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara terasa “beda”. STF Driyarkara sungguh berbeda jika dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya di seantero Jakarta, atau mungkin bahkan setanah air.

Paling tidak perbandinganku berdasar pada pengalaman ketika bertandang ke kampus lain, sharing dengan kawan-kawan dari perguruan tinggi lain atau bahkan dari pengamatan acara-acara yang ditayangkan di TV (termasuk dari film, sinetron, dan sejenisnya).

Namun, dalam perbedaan itu hadir suatu rasa bangga ketika menyadari kesempatanku untuk mengenyam pendidikan di STF Driyarkara. Atau mungkin bahkan sedikit kesombongan mengendap dalam diri ketika menyandang status mahasiswa dari sekolah tinggi bergensi ini. Mungkin rasaku ini terlalu berlebihan, tapi siapa sih yang tidak bangga menjadi mahasiswa STF Driyarkara. Sekolah Tinggi Filsafat prestisius yang dipenuhi dosen-dosen kaliber nasional dan berakreditasi “terbaik”!!!

Menjadi seorang mahasiswa dengan spesifikasi dalam bidang filsafat sebenarnya sudah menjadi modal awal untuk mengundang decak kagum dan komentar “beraroma” pujian dari orang-orang di sekitarku. Apalagi (bayangkan!!!), menjadi bagian dari institusi pendidikan “elit” yang senantiasa menggemakan pemikiran-pemikiran mencerahkan di wacana nusantara—walaupun memang banyak “orang awam” yang sama sekali tidak mengenal dan masih asing dengan isntitusi pendidikan ini—.

Kebanggaan yang larut dalam sedikit kesombonganku itu mungkin hanyalah rasa naïf yang hadir dalam perjumpaan dengan orang-orang di luar lingkungan kampus. Namun dibalik rasa dominan itu, ada sedikit ke-iri-an tersembunyi di sela rasaku—mungkin mirip dengan rasa tidak beruntung—. “Ekses” dari pilihan atas keberadaanku saat ini; menjadi bagian dari institusi ini. Sekali lagi harus kuutarakan—masih dengan pendasaran perbandingan yang sama; “pengalamanku”—STF Driyarkara memang berbeda. Suasana, komposisi pelajar, dan “ritme” perkuliahan terasa sangat berbeda dengan apa yang ada di perguruan tinggi lain.

Menatap tajuk institusi pendidikan dengan bidang filsafat mungkin tidak menjadi minat utama bagi kaum muda Indonesia. Apalagi dalam kultur pendidikan di Indonesia saat ini, jalur filsafat mungkin menjadi pilihan bontot dalam upaya pembekalan diri menghadapi zaman depan.

Dengan alasan pragmatis, “pendidikan” tereduksi sebagai sarana formal untuk mendapatkan pengakuan dalam masyarakat, khususnya dalam lingkungan kerja. Institusi pendidikan menjadi tempat untuk mendapatkan ijazah—yang merupakan legitimasi dasar untuk ikut serta dalam dunia kerja bergengsi dan “memapankan hidup”—.

“Milih jurusan Filsafat? Mau jadi apa nantinya?”

Mungkin pertanyaan itu yang mendeskripsikan rasa skeptis dalam benak banyak orang ketika berhadapan dengan pilihan jurusan filsafat. Tak heran jika jurusan filsafat, yang di satu sisi dianggap mengagumkan—bahkan “menakutkan”—dengan berbagai terminologi “asing” dan bahasa yang cenderung sulit dipahami, kurang laris sebagai pilihan dalam pengembangan pengetahuan para “peserta didik” di Indonesia.

Mungkin, sekali lagi mungkin saja, banyak orang yang meminati filsafat—mulai dari yang penasaran sampai yang mengagumi tokoh filsafat—, namun kurang berani untuk menolak kecendrungan pragmatis dalam dunia pendidikan saat ini. Efek nyatanya nampak dalam jumlah mahasiswa jurusan filsafat yang relatif kecil, padahal institusi pendidikan dengan pilihan bidang filsafat tak banyak.

Tak terkecuali dengan STF Driyarkara, kenyataan itu juga berlaku. Setiap tahun jumlah mahasiswa barunya relatif kecil dengan sebagian besarnya merupakan rohaniwan-rohaniwati Katolik yang entah suka atau tidak, terharuskan untuk menempuh pendidikan filsafat dan teologi. Belum lagi ‘ada’ teman-teman mahasiswa yang kehadirannya “timbul-tenggelam” – eksistensinya di kampus “antara ada dan tiada”—. Hari ini ada, besok tidak ada; minggu ini ada, minggu depan tidak jelas; bulan ini ada, bulan depan absen: dan semester ini kuliah, semester depannya cuti. Akumulasi “fakta lapangan” ini menambah kesan beda pada kampus STF Driyarkara.

Dilihat dari komposisi peserta didiknya, STFD terbilang unik. Jumlah mahasiswa jauh “mengatasi” jumlah mahasiswi—perbandingannya mungkin 10:1—. Kenyataan ini mungkin masih merupakan efek wangi penuh pesona globalisasi dalam pragmatisme pendidikan. Atau mungkin, sekali lagi mungkin, pengaruh antik kesadaran kolektif yang bias gender; “mereka kurang pantas di dunia filsafat”!!!—Itu hanya spekulasi dalam “kepala subjektif-ku” saja—. Entah apa penyebab pastinya, tapi bagiku kenyataan ini membuat STFD terasa “kering”—walapun ‘beberapa teman’ tidak mempermasalahkannya—.

Suasana perkuliahan di STFD yang “cukup sepi” itu, mungkin memberi kesan ‘nyaman’ bagi para “pencinta kebijaksanaan” untuk berabstraksi dalam ketenangan. Paling tidak kampus STFD bisa menjadi tempat untuk mengambil jarak dari keriuhan ibukota.

Namun, dalam kenyamanan akan ketenangan itu muncul “kerinduan” dalam hatiku akan kenyamanan bercengkrama bersama teman-teman dan larut dalam perbincangan yang penuh canda dan tawa. Tapi bukannya di lingkungan kampus STFD tak ada waktu untuk bercengkrama bersama rekan mahasiswa. Ada waktu untuk itu; dalam tiap jeda pergantian “jam mata kuliah”, ketika tak ada kuliah atau selepas kuliah masih terlihat sedikit mahasiswa-mahasiswa dan lebih sedikit lagi mahasiwi yang “kongkow-kongkow”­—walaupun telah dianjurkan untuk mengurangi waktu “konkow”, dan memperbanyak waktu untuk “memaku pantat”, mencerap “sari” buku-buku bermutu sembari berimajenasi hangat nan mesra bersama para filsuf—. Akan tetapi, bagiku keadaan di STFD cukup “beda”.

Di samping itu, ada satu kecendrungan antik ketika nongkrong bersama di lingkungan kampus; dimana terdapat “kerumunan-kerumunan wajib” yang terdistingsikan satu sama lain berdasar kesamaan-kesamaan tertentu; tempat asal, bahasa, tempat tinggal, hobi, dan kebiasaan yang sama. Walaupun keadaan turun-temurun ini mungkin menjadi sesuatu yang nampaknya wajar, namun bagiku mungkin terasa janggal dalam lingkungan kampus para “pencinta kebijaksanaan”.

Begitulah Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara—sejauh refleksi atas pengalamanku—; STFD terasa “beda”!!! Menjadi beda atau terbedakan senyatanya menjadi hal yang wajar atau bahkan niscaya. Dan dalam perbedaannya itu, harus ku akui STFD telah memberikan kenyamanan dan kebanggaan sebagai seorang mahasiswa, sekaligus menghadirkan “ketidakpuasan” yang mungkin menjadi bagian dari naluri dasarku sebagai manusia yang tak pernah merasa puas.

Ada kelebihan dan juga ada kekurangan. Dua kenyataan yang tidak mungkin tidak selalu menyertai detik demi detik petualangan hidupku—bukan hanya dalam “masa pengembangan diri” di STFD!!!—. Tapi satu hal yang pasti menjadi “keharusan”-ku dan segenap warga intelektual “mazhab Driyarkara” adalah berusaha sedemikian rupa untuk menciptakan dinamika perkuliahan yang kondusif bagi setiap pribadi—tanpa ada yang tereksklusi—, sehingga setiap mahasiswa dapat beraktualisasi secara utuh. Dan STF Driyarkara pun sungguh-sugguh menjadi “cadas akal budi dan benteng hati nurani” bagi masyarakat nusantara.

Komentar

  1. setiap org harus bangga dgn apa yang dia miliki termasuk kampusnya...

    BalasHapus
  2. no, masih kurang edit2 tampilanx...buat kotak2 spya org2 k;o ma;as koment bisa centang2 di "rekasi" licu, keren, gokil dll,....itu kita bisa buat sendiri..ntar gw bantu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t