Langsung ke konten utama

Memahami Pengalaman Perempuan di dalam Film “OSAMA”



“Dahulu kala ada cerita, ketika lelaki melawati pelangi, ia menjadi perempuan. Dan, ketika perempuan berjalan di bawah pelangi, ia menjadi lelaki,” dongeng nenek si bocah perempuan di setiap malam.

Dibuka dengan kutipan pidato Nelson Mandela “I cannot forget, but I can forgive”—sebuah ungkapan dengan arti manis sekaligus sangat applikatif untuk memulai era baru di Afganistan—, OSAMA mengangkat kisah yang menggelitik kesadaran sekaligus memilukan. Aneh tapi nyata.

Film pertama yang dibuat di Afganistan setelah kejatuhan rezim Taliban itu mepertontokan hegemoni tangan besi penguasa telah merenggut hak-hak perempuan. Tersirat pesan bahwa siapapun yang terlahir sebagai perempuan pada lingkungan itu adalah sebuah kutukan.
OSAMA mengangkat kisah nyata tentang kemalangan dan drama seorang gadis muda tak bernama berusia 12 tahun. Dia terpaksa menyamar sebagai anak lelaki untuk menyambung hidupnya dan keluarganya.

Pasalnya, tempat untuk semua perempuan pada rezim Taliban adalah di dalam rumah. Kaum Hawa wajib ditemani suami atau paling tidak kerabat laki-laki saat berada di luar rumah. Jika tidak, perempuan yang berjalan sendirian itu akan dianggap seperti 'barang tak bertuan'. Bisa dengan segera ditangkap Taliban dan dimasukan ke penjara khusus perempuan.

Taliban bahkan melarang seorang perempuan berbicara dengan laki-laki yang bukan suaminya. Dan, tentu saja masih banyak lagi larangan lainnya dengan legitimasi agama.
Hukum Taliban menempatkan perempuan di rumah, tidak boleh bekerja, tidak boleh memperlihatkan wajah dan lekuk tubuhnya. 

Tetapi apabila mereka tertangkap mereka akan menjadi ‘sajian’ bagi para Mullah dan agen-agen Taliban. Suatu kenyataan yang sangat kontradiktif. Apalagi, perempuan menyamar sebagai lelaki.

Nampak hukum berlegitimasi agama begitu banyak memberangus kemerdekaan perempuan di negeri itu. Perbedaan menjadi sebuah pelanggaran terhadap asas kesamaan. Wanita menjadi korban.

Pengalaman Perempuan dan Konstruksi Sosial

Pengalaman seorang gadis, ibu dan nenek dalam OSAMA merepresentasikan sebuah konstruksi yang disepakati bersama secara turun-temurun, kemudian dinamai konvensi. Konvensi tersebut dibangun, diciptakan sedemikian rupa untuk mengatakan bahwa anak perempuan tidak pantas dan bernilai lebih rendah.

Anak perempuan yang melakukan 'kegiatan laki-laki' berarti telah melanggar konvensi. Dia mesti dicegah atau sesudahnya harus dihukum, agar kembali pada kesepakatan yang ada. Sungguh jelas , konstruksi sosial mewujudkan diri sebagai sarana penindasan yang hadir dalam pengalaman perempuan. Dengan kata lain, ketimpangan konstruksi sosial menghadirkan penindasan dalam pengalaman eksistensial perempuan.

Pengalaman perempuan, sebagaimana terlukiskan dalam OSAMA, merupakan pengalaman korban yang tertindas oleh konstruksi sosial yang menginterpretasikan ‘perbedaan khas’ antara perempuan dengan laki-laki dalam tingkatan atau kelas yang berbeda. OSAMA menggambarkan realitasnya: perempuan (Afganistan) yang tereksklusikan di seluruh bidang kehidupan.

Padahal, jenis kelamin manusia sejatinya terbedakan atas dua, lelaki dan perempuan. Dalam hal ini, lelaki dan perempuan adalah dua mahluk ‘yang berbeda’ karena beberapa komponen-komponen tubuhnya, khususnya alat reproduksi dengan fungsi masing-masing.
Namun, perbedaan esensial biologis dan reproduktif tersebut menjadi tidak sekadar istimewa dan berbeda. 

Perbedaan itu menjadi sebuah interpretasi manusia, menjadi apa yang dinamakan kebudayaan, kebiasaan, keyakinan, mitos, cerita-cerita misteri, dan seperangkat cara interpretasi lainnya.

Sejumlah interpretasi tersebut disepakati atau dijadikan konvensi dan dimasukkan ke dalam wilayah hukum, pendidikan, ekonomi, peran-peran sosial, pekerjaan, rumah tangga, bahkan ilmu pengetahuan dan cara berpikir. Inilah yang dinamakan ‘gender’, yaitu konstruksi sosial dan interpretasi manusia atas perbedaan seks atau jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki.

Di sini lah letak persoalannya, sebagaimana nampak dalam OSAMA, adalah terjadinya sikap-sikap ‘pembedaan’, terutama terhadap perempuan. Pasalnya,  konvensi atau kesepakatan atas asas kesamaan tersebut pada akhirnya membatu menjadi sejarah manusia yang sudah sekian ribu tahun bergulir dalam sekian peradaban.

Jika yang disebut manusia adalah laki-laki, maka perempuan adalah ‘yang berbeda’, ‘yang tidak sama’, ‘yang misterius’, ‘yang lain’, ‘yang asing’, ‘yang aneh’.

Perbedaan jenis kelamin, yang tadinya merupakan 'komponen tubuh yang khas perempuan dan khas laki-laki', ditafsirkan dan dilegitimasikan sebagai peran-peran lelaki dan perempuan dalam ranah sosial dan seluruh aspek kehidupan. Konstruksi itu bahkan seakan-akan telah ‘tersepakati’ oleh peradaban dan bahkan dalam alam bawah sadar manusia.

Perempuan-perempuan Afganistan dalam OSAMA tersituasikan dalam konstruksi timpang seperti itu. Perbedaan jenis kelamin telah terinterpretasikan secara ‘timpang’ dan terkonstruksikan (oleh rezim Taliban) dalam nilai-nilai budaya, keyakinan, dan lain sebagainya, yang kemudian berdampak pada kehidupan, terutama pada ‘penindasan’ perempuan.

Jenis kelamin perempuanlah yang telah lama tersubordinasi atau tertindas oleh jenis kelamin laki-laki akibat konstruksi. Wanita harus berada di rumah, tidak boleh berkarir dalam pekerjaan, tidak boleh keluar sendiri tanpa laki-laki, tidak boleh berbicara dengan lelaki asing, tidak boleh keluar tanpa mengenakan burqa, tidak boleh ada bagian tubuhnya yang terbuka dan masih banyak 'ketidakbolehan' lainnya.

Kalau adanya begitu, mungkin benar ungkapan pesimistis ibu gadis dalam OSAMA: “Lebih baik, kalau Allah tidak menciptakan wanita.”

Namun, mungkin juga benar ungkapan optimistis neneknya: “Laki-laki dan perempuan adalah sama. Kadang perempuan berharap terlahir sebagai laki-laki dan sebaliknya laki-laki berharap terlahir sebagai perempuan”.

Dan, mungkin semuanya masih tetap abu-abu, sampai awan kelabau mengantarkan pelangi setelah hujan. Pelangi seperti yang ada di dalam dongeng nenek dalam OSAMA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Driyarkara: Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Dewasa ini masyarakat dunia menghadapi sebuah perubahan global . Hal ini ditandai antara lain oleh semakin maraknya pertumbuhan industri kapitalisme dunia. Semua bidang kehidupan tidak bisa tidak terjerat dengan pengaruh global ini. Tidak terkecuali dengan pranata pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kecenderungan dimana h ukum pasar yang berlaku diantara para pesaing industri pada tingkat global dapat mengarahkan pendidikan yang berorientasi pragmatis. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan , pendidikan hanya didasarkan pada aspek ekonomi. Jadi, ada kecenderungan bahwa pendidikan cenderung hanya mengarahkan anak-didik kepada gambaran manusia yang cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang, jadi bukan gambaran manusia yang sebenarnya. Berhadapan dengan g ejala ini, pemikiran seorang filsuf, Nicolaus Driyarkara dapat dijadikan suatu bahan permenungan. Bagi Driyarkara pendidikan merupakan kegiatan sadar untuk memanusiakan manusia muda, yang dia sebut sebagai “hominisasi

Konformitas Dalam Pergaulan Sekolah

Tulisan ini bertujuan untuk memahami dinamika perilaku konformitas dalam pergaulan pelajar di sekolah formal. Bagaimana bentuk konformitasnya? Mengapa hal tersebut terjadi dan mempengaruhi tindakan-tindakan pelajar, serta bahkan dapat membentuk pola kepribadian?  Tulisan ini mengemukakan, bentuk konformitas dalam pergaulan pelajar yang lebih berupa akibat tekanan antar teman (peer pressure) yang terjadi dalam lingkungan yang homogen (sebaya). Kecenderungan untuk mengikuti suara terbanyak akan terjadi karena tekanan untuk menjadi sama terasa semakin besar. Dalam pergaulan sekolah anak didik terbiasa untuk selalu sama, bersikap konformis, sehingga selalu merasa tidak nyaman bila harus beda. Sikap ini dapat terus berlanjut dan membentuk pola kepribadian yang tidak mandiri. Kata kunci : Konformitas, peer group dan peer presure      S ebagai makhluk hidup yang tidak dapat hidup sendiri, sudah pasti kita sebagai manusia membutuhkan keberadaan orang lain untuk melangsungkan

Bisnis sebagai Profesi Etis?

Bisnis dan moralitas atau etika berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali dan etika justru bertentangan dengan bisnis. Orang bisnis tidak perlu memperhatikan norma-norma dan nilai moral karena bisnis adalah suatu persaingan yang menuntut pelaku bisnis berusaha dengan segala cara dan upaya untuk bisa mencapai ‘keuntungan maksimal’. Ungkapan skeptis di atas sekiranya menggambarkan hubungan bisnis dan etika sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain. Hal ini juga nampak dalam fenomena umum dunia bisnis o utsourcing . Outsourcing seringkali dibahasakan sebagai sebuah strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada inti bisnisnya, namun dalam praktek pada umumnya didorong oleh ‘ketamakan’ sebuah perusahaan untuk menekan cost serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Namun, diskrepansi dua ranah sebagaimana terdeskripsikan di atas oleh Richard T. De George disebut sebagai ‘Mitos Bisnis Amoral’. Bisnis pada dasarnya tidak terpisahkan dari moral. Bisnis t